Share

PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA
PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA
Penulis: Yoyok RB

PERTEMUAN RAHASIA

April 1628. Senja hari. Seorang penunggang kuda tampak memacu kudanya dengan kecepatan penuh dari arah ibukota Mataram. Dia adalah Kyai Rangga, bupati Tegal. Dia baru saja dipanggil oleh Sultan Agung. Ada tugas penting yang harus dilaksanakan. Sebuah surat tampak terselip dipinggangnya. Surat kepada penguasa Batavia JP. Coen. Besok pagi Kyai Rangga harus sudah berangkat menuju ke Batavia untuk menyampaikan surat itu. Sekarang dia bergegas menuju ke rumahnya untuk menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan.

Kyai Rangga terus memaju kudanya sampai memasuki gerbang kadipaten. Beberapa prajurit tampak terkejut melihat kehadiran bupatinya yang tampak tergesa-gesa. Tetapi Kyai Rangga tidak menghiraukan mereka dia terus memaju kudanya menuju kandang kuda. Setelah menyerahkan kuda pada juru rawat kuda, Kyai Rangga menuju dalem kadipaten dan langsung menuju ke taman sari untuk menemui istrinya.

“Nyai!!” teriak Kyai Rangga memecah kesunyian taman sari.

“Dalem, Kanjeng Tumenggung,” seorang wanita berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Kyai Rangga. Dia adalah Nyai Satumi, isteri Kyai Rangga.

Kyai Rangga duduk di sebuah bangku di taman itu, sementara Nyai Satumi atau Nyai Rangga duduk bersimpuh di bawahnya.

“Aku baru saja menerima tugas dari Kanjeng Sultan Agung untuk memberikan surat kepada Gubernur Batavia. Besok aku harus berangkat pagi-pagi. Aku tidak tahu akan berapa lama berada di Batavia. Sultan berpesan, jika Gubernur Batavia menolak tawaran damai, aku harus tetap di sana untuk mengatur persiapan penyerangan sambil menunggu datangnya pasukan Mataram. Tugas ini sangat penting dan berat, aku harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tolong persiapkan seluruh perlengkapan yang harus kubawa, sekarang aku akan mengumpulkan beberapa prajurit yang akan mendampingiku,” Kyai Rangga mengakhiri penjelasan panjangnya sambil beranjak dari tempat duduknya.

“Sendiko dawuh,” kata Nyai Rangga sambil mengatupkan kedua tanggannya.

Kyai Rangga bergegas menuju kepatihan yang tak jauh dari taman sari. Di sana tampak Patih Sindurejo sudah menunggu di pendopo kepatihan. Melihat kedatangan Kyai Rangga, Sindurejo bergegas menyongsongnya. Dia ingin segera tahu perintah apa yang diberikan Sultan pada Kyai Rangga.

“Silahkan Kanjeng Tumenggung,” kata Sindurejo mempersilahkan Kyai Rangga duduk di pendopo, setelah dia memberikan penghormatan pada Kyai Rangga.

“Sindurejo, Sultan telah menitahkan aku untuk pergi ke Batavia,” kata Kyai Rangga setelah duduk dan mengambil napas sejenak.

“Untuk apa?” tanya Sindurejo.

“Aku harus memberikan surat dari Sultan untuk Gubernur Belanda. Besok pagi aku akan berangkat. Waktuku mendesak, kuminta kamu segera menyiapkan sepasukan prajurit untuk mengiringi kepergianku. Pemerintahan Tegal untuk sementara kuserahkan padamu. Sekarang juga kamu harus mengumpulkan prajurit yang akan menemaniku,” perintah Kyai Rangga tegas.

“Maaf, kanjeng Tumenggung, sebenarnya saya ingin ikut ke Batavia. Saya khawatir terhadap keselamatan kanjeng tumenggung,” kata Sindurejo.

“Tidak, kamu harus ada disini. Aku sanggup menjaga diriku sendiri, kamu punya tanggung jawab untuk memimpin Tegal selama aku tidak ada!”

“Sendiko dawuh,” kata Sindurejo, tidak berani membantah lagi.

Kyai Rangga kemudian bergegas menuju gedung pusaka, tempat segala jenis senjata dan perlengkapan perang. Gedung yang megah itu terletak kira-kira 500 meter dari kepatihan.

Dua orang penjaga gedung pusaka memberi penghormatan dengan menegakkan tombak yang mereka pegang ketika Kyai Rangga masuk ke gedung pusaka. Gedung yang besar itu tampak terawat dengan baik. Puluhan senjata tajam dan perlengkapan perang tampak berjajar dengan rapi di sepanjang ruangan. Ada keris, pedang, tombak, cemeti, ruyung, perisai, dan ada juga senapan dan pistol.  Kyai Rangga berjalan sambil memperhatikan sekelilingnya, tetapi sebenarnya tujuannya hanya satu menuju ke ujung ruangan. Sebuah pistol emas tampak berada di sebuah kotak kaca, Kyai Rangga menatap sejenak kotak kaca itu sebelum membukanya. Pistol berlapis emas itu dipegang oleh Kyai Rangga dengan hati-hati seolah takut rusak. Kemudian dia juga mengambil serbuk mesiu yang terletak di kotak kaca itu juga. Dengan perlahan Kyai Rangga memasukkan bubuk mesiu ke dalam pistol. Setelah bubuk mesiu dimasukkan, Kyai Rangga perlahan mengangkat pistol itu dan diarahkan ke kepalanya sendiri! Tanpa ragu, Kyai Rangga menarik pelatuk pistol itu. Terdengar ledakan yang keras, asap mesiu memenuhi ruangan. Kyai Rangga tetap berdiri tegak sambil memegang pistol yang terarah ke kepalanya. Setelah asap perlahan menghilang, terlihat dengan jelas wajah Kyai Rangga menghitam akibat tembakan itu. Tetapi dia tidak terluka sedikitpun. Kyai Rangga mengusap wajahnya yang terkena asap hitam, dia tampak tersenyum puas. Senjata Belanda tidak mampu melukainya, sekarang dia semakin mantap untuk melaksanakan tugas dari Sultan Agung.

Sementara itu, Patih Sindurejo, yang ditugaskan untuk mengumpulkan beberapa prajurit atau pengawal yang akan menyertai perjalanan Kyai Rangga, bergegas menuju bangsal prajurit. Beberapa prajurit tampak terkejut melihat kedatangan Sindurejo, mereka segera memberi hormat.

“Aku mencari Bayu Suta!” kata Sindurejo dengan lantang.

Seorang pemuda gagah berambut lurus muncul sambil bersujud memberi hormat.

“Ada apa kanjeng patih?” tanya pemuda yang bernama Bayu Suta itu.

“Ikut aku, ada satu hal yang harus kamu kerjakan.”

“Baik,” kata Bayu Suta dengan patuh.

Sindurejo segera meninggalkan tempat itu diiikuti oleh Bayu Suta. Pemuda kepercayaan Sindurejo itu memang sudah biasa mendapat tugas mendadak, sehingga dia tidak merasa aneh kala Sindurejo memintanya untuk mengikutinya. Sindurejo berjalan menuju sebuah bangunan disebelah gedung kepatihan. Gedung itu adalah tempat Sindurejo berlatih beladiri dan olah senjata. Pintu gedung itu terbuat dari baja sehingga terlihat kokoh. Ketika Sindurejo dan Bayu Suta sudah memasuki gedung itu, Sindurejo menutup dan mengunci pintu dari dalam.

“Waktuku hampir tiba, sudah saatnya bagiku untuk merebut kekuasaan di Tegal ini,” kata Sindurejo setelah dia duduk di kursi yang tersedia di situ. Sementara Bayu Suta duduk bersimpuh di bawahnya.

Bayu Suta tidak terkejut mendengar kata-kata Sindurejo itu, karena dia sudah sering mendengar kata-kata itu, entah berapa kali, Bayu Suta tidak pernah menghitungnya. Sindurejo memang sudah sangat ingin menggantikan kedudukan Kyai Rangga sebagai Bupati Tegal. Akan tetapi kesempatan tidak pernah datang, selalu ada saja halangan yang menyebabkan dia gagal mewujudkan ambisinya.

“Besok, Kyai Rangga akan berangkat ke Batavia, kekuasaan Tegal sementara diserahkan padaku. Tetapi aku ingin tidak hanya sementara, tetapi seterusnya Tegal dalam kekuasaanku,” kata Sindurejo meneruskan ocehannya.

“Apa yang harus saya lakukan?” potong Bayu Suta. Rupanya dia tidak ingin Sindurejo terus mengoceh, mengutarakan tentang impian dan cita-citanya.

“Aku tidak ingin dia selamat, kita harus menghabisinya dalam perjalanannya menuju Batavia,” kata Sindurejo menuturkan rencananya walau agak jengkel kata-katanya dipotong oleh Bayu Suta.

“Berapa orang yang dibutuhkan?” tanya Bayu Suta.

“Bukan hanya beberapa orang, tapi tiga pasukan. Pasukan panah, pasukan tombak, dan pasukan khusus. Kyai Rangga memiliki kesaktian yang luar biasa, tidak mudah untuk mengalahkannya,” Sindurejo mengutarakan rencananya.

“Mohon maaf, kanjeng Patih, menurut kabar, Kyai Rangga kebal terhadap senjata tajam bahkan terhadap pistol sekalipun,” kata Bayu Suta.

“Aku sudah memperhitungkan hal tersebut. Aku sudah punya senjata rahasia, berupa panah dan tombak berlapis emas, itu adalah kelemahan Kyai Rangga. Tubuhnya pasti terkoyak oleh mata panah dan tombak berlapis emas yang kusediakan!” kata Sindurejo dengan bersemangat, seolah Kyai Rangga sudah pasti dapat dikalahkan.

“Kapan penyerangan akan dilakukan?” tanya Bayu Suta.

“Begitu Kyai Rangga dan rombongannya keluar dari Kotagede, kita langsung habisi mereka!”

“Mengapa harus menunggu keluar dari Kotagede? Tidak langsung saja setelah keluar dari Tegal?”

“Terlalu berbahaya, banyak pengikut setia Kyai Rangga yang akan dapat merepotkan kita. Mereka pasti akan cepat dapat mengumpulkan pasukan dan akan ganti menghabisi kita. Apalagi Senapati Adijaya adalah salah satu pendukung setia Kyai Rangga. Dia dapat menjadi penghalang kita paling utama,” jelas Sindurejo.

“Kalau begitu, apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanya Bayu Suta mengulangi pertanyaan pertamanya.

“Sekarang kamu temui Wirayuda, Kanigoro, dan Aryo Pamungkas, tiga pemimpin pasukan khusus, suruh mereka datang malam ini juga di tempat ini! Bawa cincin ini agar mereka percaya bahwa aku yang memerintahkan!” kata Sindurejo, sambil memberikan cincin simbol kepatihan kepada Bayu Suta.

Bayu Suta menerima cincin itu di atas kepalanya kemudian mencium dan meletakkannya di ikat pinggangnya. Tanpa banyak bicara lagi Bayu Suta segera beranjak dari tempat itu. Kegelapan malam menaungi Bayu Suta ketika keluar dari gedung itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status