Di sebuah kepulauan tersembunyi yang tidak terdapat dalam peta manapun. Pagi hari. Ratusan penduduk Kandanghaur telah mendarat di pulau itu dengan selamat, mereka di tempatkan di barak-barak yang telah dibangun sebelumnya. Lahan pertanian telah tersedia lengkap dengan berbagai tanaman. Pohon-pohon di sepanjang jalan berbuah lebat. Air jernih mengalir di sepanjang jalan menuju barak-barak itu.
Cornelis de Bagijn menerima daftar nama-nama penduduk dari Siva dan menyuruhnya untuk menempatkan mereka sesuai dengan daftar pada barak yang sudah ditentukan.
Cornelis segera memerintahkan dua puluh pasukan VOC bawahannya untuk segera menempatkan penduduk sesuai yang sudah ditentukan pada daftar nama itu.
Sementara itu Siva didampingi oleh Herman Bondervijnon dan Otto Vollehaven memandangi ratusan orang Kandanghaur yang mulai ditempatkan di barak-barak itu.
“Kalian sudah tahu apa yang harus dikerjakan?” tanya Siva memandang tajam pada Herman dan Ot
Siang hari di rumah Pieter Cortenhoef. Batavia. Jampang, Pitung, Rais, Ji’i, dan Ballan sudah menempati rumah itu. Rumah dengan model Belanda yang kokoh itu cukup nyaman bagi mereka.“Bagaimana elu bisa kenal pemilik rumah ini?” tanya Jampang sambil tiduran di sebuah sofa yang cukup empuk pada Ballan.“Eh, aku kan sudah lama jadi budak dan tinggal di benteng, jadi kenal semua penjaga benteng. Bahkan sebelum Pieter jadi penjaga, aku sudah lebih dulu ada di sana,” jawab Ballan.“Hubunganmu cukup baik?” tanya Jampang.“Aku berhubungan baik dengan banyak serdadu VOC, aku yang melayani kebutuhan mereka!”“Tetapi elu kan yang bunuh salah satu dari mereka?” desak Jampang.“Aku tidak tahu siapa yang kutusuk dan nasibnya seperti apa, apakah terbunuh atau terluka. Waktu itu yang ada dalam pikiranku adalah melarikan diri karena takut disuntik cairan merah itu!”Jampang
Batavia. Rumah Pieter Cortenhoef. Ballan tiba-tiba jatuh tersungkur dengan tubuh berubah berwarna kemerahan dan dua tanduk tumbuh di dahinya. Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i kebingungan, tidak tahu harus menolong dengan cara apa.“Ambil air!” teriak Pitung pada Rais.Rais segera berlari ke belakang mengambil air dalam sebuah ember.“Ini!” teriak Rais, sambil menyerahkan seember air itu pada Pitung.“Maksudku air minum!” teriak Pitung.“Oh!”Rais berlari lagi ke dapur untuk mengambil air minum.“Ini!” Rais menyerahkan segelas air minum kepada Pitung.“Terima kasih!” Pitung mengambil gelas yang diberikan Rais dan langsung meminumnya.Rais memandang dengan heran.“Bajigur!, kukira untuk Ballan,” protes Rais.“Siapa yang bilang, aku kan minta air minum,” kata Pitung sambil meringis.“Argh!” B
Hutan Rungsep. Menjelang siang. Tumenggung Jatibarang yang berhasil dibebaskan dari penjara berkumpul di tepi hutan Rungsep bersama pasukan yang dipimpin oleh Lasmini anak perempuannya. Mereka berhasil keluar dari penjara Rungsep dengan melalui lorong rahasia yang hanya diketahui oleh Tumenggung Jatibarang.“Apa rencana ayahanda selanjutnya?” tanya Lasmini pada ayahnya.“Tentu saja kita harus mengumpulkan kekuatan dan merebut kembali Jatibarang. Aku tidak rela Jatibarang dikuasai oleh Karta Sentana dan orang-orang VOC!” kata Tumenggung Jatibarang dengan berapi-api.Tentu saja dia sangat marah dan dendam pada Karta Sentana yang telah mengkhianatinya. Orang yang sangat dipercayanya ternyata bekerjasama dengan VOC untuk mengambil alih kekuasaan di Jatibarang.“Kira-kira berapa orang yang dapat kita kumpulkan untuk melawan Karta Sentana?” tanya Tumengggung Jatibarang pada Lasmini.Lasmini tidak bisa menjawab, karena
Hutan Rungsep. Matahari sudah hampir tepat di atas ubun-ubun. Pasukan Karta Sentana dibantu oleh pasukan VOC mengepung rombongan Tumenggung Jatibarang. Senapan siap ditembakkan, pasukan VOC yang memegang senapan siap menembak, tinggal menunggu aba-aba dari Karta Sentana. Begitu juga pasukan panah di baris kedua, siap melepaskan anak panah mereka. Tumenggung Jatibarang dan pasukannya juga sudah siap menghadapi segala serangan. Meskipun mereka menyadari kalau jumlah mereka kalah banyak, tetapi mereka tidak gentar sedikitpun. “Ah, apa ini!” “Aduh!” “Awas!” “Hiii!!” Tiba-tiba terjadi keributan di bagian belakang pasukan Karta Sentana. Pasukan VOC yang siap menembak menjadi kehilangan konsentrasi dan membalik badan untuk melihat ke bagian belakang. Ratusan ular tanpa diketahui asal mulanya, datang menyerang pasukan Karta Sentana, muncul dan menyerang dari berbagai arah, membuat pasukan Karta Sentana kocar-kacir. Beberapa orang
Siang hari. Rumah Pieter Cortenhoeff. Batavia. Setelah mengalami perubahan wujud akibat serum kehidupan yang disuntikkan padanya, Ballan mencoba mencari cara untuk menyembuhkan dirinya. Menurut pemikiran Ballan, orang yang menyuntikkan cairan itu, Antony van Leeuwenhoek, pasti mampu menyembuhkannya.“Kenape elu harus nyari die?” tanya Jampang penasaran.“Dia yang menyuntikan cairan itu, jadi aku yakin dia pasti punya obatnya!” jawab Ballan yakin.“Emangnya elu tahu dimane tempat tinggalnya?” desak Jampang.“Aku tahu, para ilmuwan yang bekerja di benteng Holandia menempati rumah di kawasan Weltevreden, Rumah Antony juga ada di daerah itu, walau aku tidak tahu pasti,” kata Ballan.“Biasanya jam berapa mereka keluar dari benteng?” tanya Pitung.“Biasanya sekitar pukul lima sore, mereka akan berbondong-bondong pulang,” jawab Ballan.“Hmm, kalau begitu kita harus
Batavia. Menjelang matahari tenggelam. Sebuah kereta kuda dengan cepat melintas di jalanan yang berdebu. Derap kaki kuda terdengar di seluruh jalanan. Rais yang mengemudikan kereta kuda itu, menatap jalanan di depannya dengan penuh konsentrasi. Sementara di belakang ada Ji’i yang duduk sambil memegangi Antony yang dalam keadaan pingsan.Kereta itu melaju terus langsung menuju rumah Pieter Cortenhoeff. Tak berapa lama kemudian, sampailah kereta kuda itu di rumah Pieter Cortenhoeff. Jampang, Pitung, dan Ballan sudah menunggu. Begitu kereta kuda itu berhenti, mereka langsung mengerumuni kereta kuda itu.“Bagaimana? Berhasil?” tanya Pitung sambil melihat isi kereta kuda.“Ya, apa ini orangnya?” tanya Rais memastikan.Ballan lebih mendekat dan mengamati orang yang tergeletak pingsan di atas kereta.“Ya, benar ini orangnya,” ucap Ballan.“Ayo, segera kita bawa masuk!” kata Jampang.Rais
Pantai Sindanglaut. Senja hari. Rombongan Kyai Rangga tampak berderap di sepanjang pantai Sindanglaut. Kyai Rangga dan Bhre Wiraguna berkuda paling depan diiringi oleh para prajurit. Di belakang prajurit ada Suropati dan Sakera. Paling belakang sendiri Badra didampingi oleh Wanara, kera kecilnya yang setia.Tepat di depan gua besar di tepi pantai itu, Kyai Rangga menghentikan kudanya diikuti oleh seluruh rombongan.“Apakah kita akan masuk ke dalam gua?” tanya Badra.Kyai Rangga belum menjawab, dia masih memikirkan, apakah perlu memasuki gua, sedangkan surat balasan dari Jan Pieterzon Coen harus segera disampaikan kepada Sultan Agung. Tetapi bayangan berpeti-peti emas batangan muncul di benak Kyai Rangga, membuatnya ingin memasuki gua itu. Walau sebenarnya bukan emas batangan itu yang paling menarik hatinya. Lembah rahasia yang misterius adalah yang paling menarik minatnya. Dia ingin mengetahui apa yang ada di dalam lembah rahasia itu.“H
Rakit-rakit yang dinaiki Kyai Rangga, Badra, Suropati, dan Sakera melaju di atas danau yang tenang di dalam gua yang luas itu. Mereka mendayung dengan cepat, sehingga rakit juga melaju cepat. Tujuan mereka pasti, titik cahaya jauh di seberang danau. Semakin lama mendayung, semakin terlihat jelas tujuan mereka.Setelah sekitar satu jam mendayung sampailah mereka di tempat yang dituju sebuah daratan yang luas. Danau itu ternyata pintu keluar gua menuju sebuah daratan yang luas. Sinar terang menyinari tempat itu. Begitu indah, tanaman dan pepohonan yang berwarna-warni tampak memenuhi daratan itu. Pohon-pohonnya beraneka rupa dan warna. Pohon-pohon dan tumbuhan yang ada disitu tidak pernah dilihat atau ditemukan di tempat manapun. Burung-burung beterbangan di udara, burung-burung dengan bulu-bulu yang indah dan berwarna-warni. Binatang-binatang berkaki empat, berkaki dua berkeliaran dan tampak jinak. Binatang yang belum pernah dilihat oleh Kyai Rangga dan kawan-kawannya.S