Hella masih bergeming ditempat, matanya menyorot nanar memandang kepergian laki-laki berusia 60 tahun tersebut.Menutup pintu dengan tergesa, tubuhnya bergidik jijik dengan tangan mengibas-ngibas kasar bokong sintalnya.Mata Hella memanas, jantungnya masih berdebar-debar dengan cepat."Astagfirulloh ..." kalimat Tuhan, akhirnya keluar dari bibir. Hella terguncang dengan air mata mengalir sambil mendekap erat tubuh Hamdan."Huhu ..." tangisan Hella, terdengar menyayat hati. Fikirannya langsung tertuju pada, Rudi.Aah ... mengapa sehina ini?Dalam hidup, tidak pernah Hella dilecehkan dan direndahkan. Persendiannya begitu lemas, dengan hati yang teramat sakit."Mas ... ya Tuhan."Tubuh Hella menggigil kuat, tanpa sadar kuku tangan mencakar pundak hingga kelengan. Hella teramat marah, kesal, jijik dan sakit hati.Tak menyangka, laki-laki yang dianggapnya orangtua. Akan berlaku hina pada dirinya."Aaarghhhh!"***Ofd."Mana buburnya, Ika mau makan?" Hanum menadahkan tangan saat Jaya masuk k
Nafas Hella terhenti, tubuhnya membeku, saat melihat sorot mata Jaya yang menghujam penuh nafsu lalu menyeret masuk tubuhnya kedalam toilet."Pa--kk ..." Hella meronta, matanya sudah dipenuhi oleh genangan air. Kedua tangan Jaya, menahan erat gerakan Hella. Menatapnya dengan mata berbinar penuh cinta.Seluruh persendian Hella begitu lemas, jantung semakin bertalu-talu saat Jaya tersenyum menyerigai didepan wajahnya."Ssstt ... jangan berisik." bisik Jaya penuh nafsu. Nafasnya memburu, tak sabar ingin mencicipi manisnya madu yang ada didepannya.Tubuh Hella menggigil, kepalanya menggeleng lemas berusaha menghindar saat bibir Jaya mendekat di wajahnya."Jangan, P-ak." lirih Hella ketakutan sambil menjauhkan kepalanya. Hella teramat jijik, melihat bibir tebal yang berusaha melumat bibir ranumnya.Jaya tak menggubris, semakin didekapnya tubuh sintal Hella kedalam pelukkannya. Satu tangannya memegang erat kepala, satunya lagi menahan tangan Hella. Gairahnya benar-benar tak terkendali. Laki
Pov Rissa.Pandangan tertuju pada gadis kecil, yang sibuk mencorat-coret buku gambar. Sesekali mata melirik kearah televisi, yang menyiarkan gosip tentang selebritis.Bibirku mungkin masih bisa berhias senyum, namun hati terasa kosong, penuh luka yang sedang berusaha di obati.Perpisahan, tentu saja menyisakan luka. Dan jujur saja, saat ini aku tengah berusaha menepis semua kenangan yang pernah kami lalui.Sidang tuntutan sudah didepan mata, kadang aku bertanya pada diri sendiri, benarkah langkah yang sudah aku lakukan?Haruskah, aku benar-benar memenjarakan laki-laki yang dulu menjadi bagian hidupku. Mengisi ruang didalam sepi juga ditengah kebahagiaan. Lalu bagaimana dengan, Dila?Bisa mengertikah dia?Sejauh ini, mungkin aku masih memberinya jawaban yang sama. Berbohong, berkata bahawa Ayahnya sedang mengais rezeki agar Dila tidak mencemaskan, Mas Rudi.Namun bagaimana nanti jika Dila terus mendesak, ingin tahu keberadaan Ayahnya?Apa yang harus aku jawab, jika hari itu sudah tiba
Ya. Sedikit puas, tentu saja. Melihat kehidupannya yang kini terlihat menyedihkan.Berharap bahagia setelah merebut suamiku, tapi nyatanya ... malah kesusahan yang dia dapat.***Ofd.Diatas ranjang, Dila masih berceloteh tentang Hamdan. Mulutnya terus saja bergerak, menceritakan tentang gemasnya bocah laki-laki itu. Dengan semangat Dila turun dari ranjang merapihkan mainannya yang berserak dilantai, lalu menaruhnya ditempat keranjang mainan.Dila terlihat antusias, seolah tak sabar ingin bertemu dengan, Hamdan.Hhh ... andai kamu mengerti, Nak. Tante dan Adik Hamdanmu, sudah merusak kebahagiaan kita."Dila ... sini sayang?" aku melambai kearahnya. Mencoba ingin berbicara dari hati, secara perlahan.Dila mengambil boneka dinosaurus milik, Hamdan. Memeluknya erat, lalu melangkah kearahku."Lucu ya, Mah. Boneka ini Ayah yang beli. Buat Adek Hamdan. Ayah tuh sayang sekali sama Adek, aku sempat iri, karna tidak dibelikan boneka." jelas Dila. "Tapi Ayah janji mau beliin, tapi sampai sekaran
"Dila sayang, ini Tante. Buka pintunya!"mataku membulat, mendengar suara teriakan perempuan yang begitu aku kenal."Dila ... ini Tante Hella, sayang." lagi, suara demit itu kembali terdengar.Pelan ... kepala menoleh kearah, Dila yang sibuk membuka bungkus makanan dengan mata fokus menatap layar televisi. Langkah kupercepat, menghampiri Bik Narti yang wajahnya sudah menegang.Teriakkan Hella kembali terdengar, membuat gigiku mengerat saking kesalnya."Bik, bawa Dila kekamar belakang. Biar ular ini, aku yang urus!" titahku tegas. Bik Narti mengangguk patuh, dengan langkah cepat dia menuju kearah, Dila."Cantik, bawa makanannya kekamar ya. Diluar ada penyemprotan nyamuk banyak asap," ucap Bik Narti seraya mengambil plastik makanan, lalu menuntun Dila masuk kekamar belakang.Aku bernafas lega, setidaknya Dila langsung menurut tidak banyak bertanya.Aku atur nafas sebelum keluar dari pintu, mencoba bersikap biasa saja. Karna dilingkungan baru ini, tidak ada yang tahu masalahku sama sekal
Aku tersenyum tipis, dalam hati sedikit senang melihat Ibu-Ibu yang mulai membicarakan sinis tentang, Mbak Rissa."Sabar ya, Mbak. Biarkan saja. Saudara seperti itu, nanti juga kena batunya." cibir Ibu gendut. Aku hanya mengangguk, tersenyum miris mendengarnya."Mbak nya sudah makan?" tanya Wulan. Aku menggeleng pelan."Ya ampun," Wulan menghela nafas panjang. Sepertinya mereka benar-benar iba melihatku."Kasihan ya?""Ih, Mamah Dila. Aku jadi gemes sendiri." Ibu gendut mencebik, menimang Hamdan dengan tatapan sendu."Saya ambilkan makan ya?" tawar Wulan."Tidak usah, Mbak. Saya tidak mau merepotkan." balasku."Tidak apa, kasihan anakmu." sahutnya. Akhirnya aku mengangguk, Wulan menatap prihatin lalu masuk kedalam rumahnya. Pun aku tak bisa menolak, karna perut sudah mulai keroncongan."Memang ada masalah apa, Mbak sebelumnya. Maaf jika pertanyaan saya kurang berkenan." tanya Ibu muda yang sejak tadi hanya diam."Hanya salah paham, Mbak. Saya kesini juga mau minta maaf. Tapi malah diu
"Mbak, tunggu sebentar." seru Wulan sambil jalan tergesa menyusulku. "Ini buat ongkos, maaf ya hanya sedikit." ucapnya sambil menyelipkan lembaran uang berwarna hijau ditanganku.Aku hanya mengangguk, lalu berterimakasih meski hati ini dongkol luar biasa.Bagaimana mungkin, orang seperti Wulan yang punya rumah bagus dan mobil mewah memberiku uang hanya dua puluh ribu saja.Yang benar saja, pelit sekali, bukan?"Hati-hati ya. Saya doakan, semoga Mbak Hella bisa menemukan jalan keluar." aku hanya tersenyum kecut, lalu mengangguk dengan pelan.Mata menoleh sendu kearah rumah Mbak Rissa, berharap pintunya terbuka lalu Dila berteriak memanggil namaku. Namun nihil, hampir lima menit aku berdiri didepan rumahnya, takku lihat Dila keluar dari pintu."Sudah ... jangan berharap sama manusia seperti itu. Doakan saja, semoga Rissa cepat sadar diri. Syukur-syukur kena azab." ketus Wulan, saat melihatku yang masih menatap rumah Mbak Rissa."Saya masuk dulu," ucapnya saat suara teriakan terdengar me
"Gimana, hhhm?" Lagi-lagi aku bergidik, saat kepalanya mendekat kewajahku. Sorot matanya melihatku dengan tatapa penuh dengan nafsu, membuat jantung ini bergenderang dengan kuat. Suara kekehan terdengar, Pak Jaya tertawa melihat ekpresiku. "Jangan terlalu tegang, aku tidak ingin memaksa. Aku ingin semua hal dilakukan atas dasar saling suka. Tidak ada paksaan atau apapun itu," lirihnya ditelinga. "Aku hanya ingin bernegoisasi padamu, jika mau aku akan menanggung biaya hidupmu juga Hamdan. Kalau tidak, aku tidak masalah." lanjutnya. Kini kepalanya sedikit menjauh, namun sorotnya tetap saja menikamku dengan lekat. "Sekarang makanlah, untuk melayaniku kamu butuh tenaga, bukan?" Saliva terasa menggumpal ditenggorokan, keringat dingin bercucuran saat tangannya membelai rambut hingga wajahku. Aku berada dalam posisi yang sangat sulit, seakan tidak bisa pergi atau menolak keinginannya. "Pak ..." lirih suaraku, tertelan rasa gugup. "Tidak bisakah, kamu menganggapku sebagai ana