Share

DIKURUNG

"San'aelah, calon lo bukan kakek-kakek'kan? Lagian kalau cowok lebih dewasa tuh bagus. Kita bisa manja coz doi yang ngemong. En, lo jadi terhindar dari pergaulan bebas, lo gak bakal kejebak dosa zina!"

Pengen ngakak guling-guling denger Nindia ngomongin dosa. Apa otaknya konslet tumben bicara benar sedikit.

"What? Lo ngomong dosa? Kapan lo jadi ustazah, Jeng!"

"Diih, cantik-cantik gini gue lebih lempeng dari lo! Omongan kakak mentor agama masih nerap di otak gue!" cerocosnya.

Lumayanlah ngobrol kesana-sini sama Nindia mengurangi beban pikiran dan hati. Sahabatku itu meski koplak, kadang ada benarnya. Kuakui dia lebih religi. Kadang cerewet nyuruh-nyuruh teman satu genknya untuk sholat. Kadang aneh, kok masih ada mahluk seperti itu di dunia.

*

Ini hari kelima aku dikurung di kamar. Rasanya bete tiada tara. Kadang aku berteriak-teriak untuk meluapkan kekesalan. Kalau sudah keterlaluan, papa akan masuk untuk menenangkan. Jika sudah begitu rasa iba masuk di dada ini. Tak tega melihat lelaki yang sudah berjuang mati-matian mendirikan perusahaan harus kehilangan segalanya.

Kadang terpikir siapa sebenarnya orang yang telah mengobrak-abrik perusahaan kami? Jahat sekali orang itu. Demi kesuksesan, dia menari di atas derita orang lain. Seperti itukah dunia bisnis kapitalis?

Andai aku bertemu dengan orang jahat itu, ingin rasanya menceramahi panjang lebar. Aku pun punya niat balas dendam atas kelakuan buruk itu. Bagaimana tidak, karena ulahnya aku harus terjebak dalam pernikahan menyebalkan ini. Brengsek memang!

Di tengah lamunan, pintu kamar diketuk. Lewat dari sehela napas, suara cempreng dari arah luar meminta izin masuk. Kuputarkan dua bola mata sebelum menjawabnya.

Wanita yang tingginya lebih pendek lima senti dariku melenggang masuk saat izin kukeluarkan. Kualihkan pandangan keluar jendela agar tak bertemu pandang dengan mata bulat itu. Jujur saja, meski sudah lima tahun hidup bersama, tak ada kata perdamaian untuknya.

"Ganti pakaianmu kita akan ke butik sekarang! Malam ini papamu akan mengadakan pertemuan dengan Mr Hans Alexander!"

Ucapan itu sukses membuatku mengarahkan pandangan padanya. Di tengah kekagetan, mulutku pun berkata,

"What?"

"Kenapa kalian mutusin seenaknya. Aku gak mau ketemu siapapun!"

Kutajamkan pandangan pada mata yang dihiasi kontak lensa biru. Makin melihatnya, makin mual perut ini. Apakah benar tak ada jalan untuk menolak pernikahan itu? Oh, Tuhan cobaan macam apa ini? Aku' kan masih muda, masa harus secepat ini berubah status?

"Jangan kekanak-kanakan, Kanaya! Ayolah, harusnya kau merasa beruntung sebab akan menjadi nyonya besar, nyonya Hans Alexander. Kau tahu, dia itu pengusaha paling berpengaruh. Banyak wanita mengejarnya. Jangan naif, Nay. Hidup tanpa harta itu tak berguna!"

Sepertinya rasa mual ini sudah naik ke kerongkongan. Untung saja tak kusemburkan ke arah mukanya. Lebih baik kuturuti saja permintaan nenek sihir itu daripada bicara tanpa henti.

"Aku mau ganti baju, apa mama mau liat?"

"Nah, gitu dong cantik. Mama yakin Mr Hans akan jatuh cinta padamu. Punya wajah cantik itu jangan disia-siakan, Kanaya Sayang!"

Setelah mengakhiri ucapannya. mama langsung pergi. Sekilas aku masih menangkap senyum khasnya. Senyum menyebalkan. Namun, aku tak terlalu memusingkan hal itu sebab kini muncul ide gila yang tak boleh gagal dijalankan.

*

"Wow, amazing!" puji mama.

Mama berdecak melihat penampilanku kali ini. Ia berputar mengelilingi badanku, matanya tak sedetik pun lepas dari balutan gaun pesta ini. Tempat yang berisi fashion wanita kelas atas ini memang tak diragukan kualitasnya. Pejabat, pengusaha dan artis tentu tak salah jika kerap bertandang ke sini.

"Perfecto!" sanjung pemilik butik high class ini. Ia pun tak mau kalah mengumbar puja puji yang cukup melambungkan hatiku. Di ruangan yang pencahayaan berasal dari lampu berderet ini aku dijadikan model percobaan berbagai gaun.

Lepas dua jam memilih fashion dan perhiasan kami pun mengakhiri shoping. Akhirnya kesempatan untuk kabur datang juga.

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status