Share

IKATAN SUCI

HANS

Papi seorang muslim saat menikah dengan mami. Ia melepas keyakinan demi gadis impiannya. Sementara keluarga Om Will masih dalam keyakinan lama. Aku, tentu saja mengikuti papi dan mami meski hanya tertera di KTP saja. Dengan demikian pernikahan ini dilangsungkan sesuai tata cara agama Islam.

Kami memasuki ballroom hotel Grand Internasional. Ruangan ini didekorasi serupa balairung istana. Pelaminan dirancang dengan konsep modern Eropa berpadu klasik ningrat Jawa. Aku tak ikut campur dengan keseluruhan konsep acara. Ini murni program keluarga wanita dibantu Roy sebagai wakil pihak pria. Kurasa selera mereka boleh juga.

Seiring rombongan pria berjalan menuju tempat proses akad, masuk pula arak-arakan pengantin wanita dari arah kanan gedung. Sesaat, ayunan kakiku tertahan kala netra ini menangkap sosok jelita bergaun putih bertabur mutiara. Iya, dialah pengantin beliaku. Kanaya. Cantik, sangat cantik.

Untuk sesaat aku terpana. Seakan tak puas mata ini mandanginya. Sungguh, begitu indah apa yang terpampang di hadapan mata.

Kalau saja Roy tak menepuk pundak ini, sudah dipastikan aku akan larut dalam pesona Kanaya. Gadis mungil itu seolah menjelma menjadi bidadari dunia.

"Kalau mau memeluk, tahan sebentar lagi," bisik Roy saat menuntunku menuju kursi putih untuk melangsungkan proses akad nikah. Aku berdeham untuk meredakan yang tiba-tiba meronta di dalam dada.

"Sudah, jangan dilihat terus, nanti kau lupa teksnya," ledek Roy dengan suara amat perlahan. Kali ini aku tak bisa marah dengan candaannya. Pasalnya otakku sedang sibuk memerintahkan hati agar mendukung konsentrasi.

Dalam kilatan waktu, janji suci telah diikrarkan. Kini, Kanaya telah resmi menjadi istriku. Hampir saja aku lupa tujuan pernikahan ini. Ya, hampir saja tangan ini merengkuh tubuh mungil itu. Untung saja otakku masih menyisakan kewarasan.

Pengantin beliaku tertunduk malu setelah tersemat cincin di jarinya. Entah bagaimana perasaannya saat ini. Yang pasti di hatiku muncul desir aneh jika pandangan kami beradu.

*

Kugandeng tangan Kanaya menuju pelaminan. Kentara sekali getaran di sisinya, sedang wajah yang tertunduk itu bersemu merah merona. Jujur, hanya menyentuh jarinya saja, aku harus menguatkan diri untuk tak lepas kendali.

Gaun yang menjuntai itu ternyata cukup merepotkan Kanaya. Aku pun harus sabar menuntun menaiki undakan tangga. Sesekali membantunya menyibak kain yang hampir terinjak. Saat hal itu dilakukan pastilah pandangan kami bertemu. Di kala itu pula gemuruh di kitaran dada makin menggebu.

Puluhan pasang mata memusatkan perhatiannya pada kami. Mungkin saja mereka kagum, bisa jadi dengki. Tuan dan nyonya kelas atas satu persatu menyalami sambil melontarkan puja-puji.

Sepanjang acara berlangsung aku benar-benar sibuk dengan tamu undangan. Sebagian besar adalah relasi bisnis. Di tengah momen ini pun masih sempat terjadi perbincangan bisnis antara aku dan mereka.

Sementara Kanaya, ia sibuk dengan saudara dan teman-temannya. Gaya narsis anak-anak remaja itu sangat menggangguku. Apalagi jika teman lelakinya sedikit keterlaluan. Rasanya tak rela pria manapun menyentuh hatta satu inchi tubuh istriku. Namun, aku tak mampu berbuat apapun untuk mencegahnya. Ada kekhawatiran ia akan murka.

Aku baru lega saat teman-teman sekolahnya telah membubarkan diri. Kini, tak ada lagi kegaduhan atau perilaku alay khas anak remaja.

Untuk setengah jam ke depan, pemilik bulu mata lentik itu masih menampakkan keceriaan. Ia pun melemparkan senyuman pada tiap tamu undangan. Namun, beberapa saat kemudian kulihat anak itu sudah mulai bosan. Bibirnya agak maju ke depan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status