Hei, tunggu! Berhenti! Jangan lari!”
Cleo terus berlari, menghindari kejaran para preman. Sudah sebulan ini hidupnya tak tenang. Ayahnya, Rudi Baskoro, terlilit hutang dengan bandar judi, dan tak sanggup membayarnya. Alih-alih mencari solusi, sang ayah justru nekat menjadikan Cleo sebagai jaminan. Sesampainya di rumah, Cleo langsung mengamuk. “Ayah keterlaluan! Kenapa aku dijadikan jaminan hutang?!” “Cleo, Ayah nggak punya pilihan. Ayah panik, jadi asal bicara.” “Berapa total hutangnya?” “Lima miliar.” “APA?!” Cleo hampir terjatuh. Dengan gaji bulanannya yang hanya empat juta, sampai kiamat pun tak akan cukup untuk melunasi hutang ayahnya. “Ayah keterlaluan. Sudah kubilang, berhenti berjudi! Sekarang aku harus apa?!” Rudi hanya menunduk. Cleo mengepalkan tangan, menahan amarah. “Selama ini aku yang biayai kebutuhan rumah, sekolah Willy, dan Ayah malah begini. Aku capek!” Ketukan keras menggema dari depan pintu. Preman. Rentenir. Penagih hutang. "Cleo, cepat lari! Jangan sampai mereka menangkapmu!” “Sial...” Cleo mengumpat, meraih tas, dan kabur lewat pintu belakang. Tapi salah satu preman melihatnya. “Dia kabur dari pintu belakang! Kejar!” “Aawww!” Cleo berteriak, mempercepat langkah. Untung dia pernah jadi atlet lari saat sekolah. Kecepatannya menyelamatkannya dari kejaran para preman. “Huft... aman... tapi besok gimana? Lusa?” napas Cleo memburu. Matanya menatap kosong. “Dan Koh Chen, si kakek tua hidung belang itu. Istrinya banyak, masih aja doyan daun muda. Jijik!” Cleo terus menggerutu di perjalanan menuju tempat kerja. Koh Chen bukan orang sembarangan, keras, kejam, dan rakus. Banyak yang jatuh miskin karenanya. Atau hilang nyawa. Pak Rudi dulunya rekan bisnis Koh Chen. Karena itu, Koh Chen tahu betul soal Cleo dan adiknya, Willy. Sekarang mereka diawasi ketat. Cleo sendiri gadis cantik, berkulit putih bersih, bermata sipit, postur tinggi ramping, rambut panjang bergelombang. Tapi sikap cuek dan gaya tomboy membuatnya jauh dari urusan cinta. Cinta baginya hanya beban tambahan. “Harusnya aku nggak lahir di dunia sekejam ini,” gumamnya lirih. Tanpa sadar, ia sudah dikepung. Seorang preman menarik kerah jaketnya. “Akhirnya ketemu juga. Mau lari ke mana lagi, hah?” Cleo pura-pura menurut. Tapi saat hendak dimasukkan ke dalam mobil, ia menginjak kaki preman dan menghantam wajah mereka. “ARGH!” Satu preman mencoba menangkapnya lagi, tapi Cleo menendang bagian vitalnya. Mereka tumbang. Cleo lari sekencangnya. Mobil preman mengejarnya. Panik, Cleo memasuki gang-gang sempit, lalu keluar ke jalan yang ramai. Deretan toko dan pusat perbelanjaan membuatnya sedikit lega. Tanpa pikir panjang, ia masuk ke sebuah butik pengantin, lalu bersembunyi di balik gaun lebar milik manekin. Napasnya tercekat. Keringat mengucur. Sementara itu, seorang laki-laki berbaju rapi dan elegan masuk ke butik pengantin, matanya langsung menyapu sekeliling ruangan. Ia mencari seorang gadis bernama Calia putri dari keluarga Affandi yang sudah dijanjikan akan menemuinya di butik itu. Namun, Dio tiba-tiba melihat sosok perempuan yang terlihat mencurigakan tengah bersembunyi di balik salah satu manekin besar berbalut gaun pengantin. Raut wajahnya gelisah, napasnya tersengal, dan pandangannya liar seperti sedang ketakutan. Dio mengernyit, lalu melangkah mendekat. “Permisi... apa anda, Nona Calia?” tanyanya hati-hati, sambil menunduk sopan. Gadis itu yang tak lain adalah Cleo menoleh dengan mata membelalak. Wajahnya pucat, masih ketakutan setelah dikejar para preman. Tapi mendengar nama Calia, sebuah ide gila terlintas cepat di benaknya. “Calia. Siapa Calia? Apa aku menyamar jadi Si Calia itu saja, Ya? Siapa tahu aku bisa selamat dari kejaran preman” batin Cleo gelisah. Melihat Dio menatapnya penuh harap dan sopan, Cleo akhirnya mengangguk pelan. “I-iya, aku... Calia,” jawabnya gugup, suaranya sedikit bergetar. Dio tampak lega. Ia tidak begitu mengenal Calia, hanya diberi deskripsi singkat oleh tuannya, Devan, dan belum pernah bertemu langsung sebelumnya. Jadi wajar jika ia tidak menyadari penyamarannya. “Kalau begitu, mari ikut saya, Nona,” ujar Dio, sopan sambil mengisyaratkan Cleo untuk berjalan bersamanya. Dio lalu membawa Cleo ke sebuah ruangan eksklusif di sudut butik. Pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan interior elegan dengan lampu gantung kristal yang memancarkan cahaya lembut. Ruangan itu sangat mewah, dilengkapi dengan sofa empuk, cermin besar berbingkai emas, serta deretan gaun pengantin yang menggantung rapi. Cleo melangkah masuk dengan mata membelalak. Ia nyaris lupa bahwa dirinya sedang dalam pelarian. “Astaga... ini ruang ganti? Ruang ganti apa istana?” batinnya takjub. “Silakan duduk, Nona,” ucap Dio sopan, sambil menutup pintu dari dalam. Cleo menurut. Ia menjatuhkan tubuhnya perlahan ke sofa empuk berlapis beludru, Tak lama kemudian, seorang pelayan butik datang sambil membawa sebuah gaun putih berkilau di tangannya. Senyum ramahnya tak pernah lepas. “Selamat sore, Nona Calia. Ini gaun pengantin yang sudah dipesan khusus oleh Nyonya Sandara. Mari, saya bantu kenakan.” Cleo yang sedang sibuk mengamati langit-langit ruangan mewah itu langsung memutar kepala. “A-apaa? Gaun pengantin?” “Iya, Nona. Ini adalah gaun utama untuk pernikahan anda hari ini. Mohon masuk ke ruang pas, kami akan bantu memakaikannya.” Cleo membeku di tempat. Nafasnya tercekat. “Pe-pe-pernikahan? Hari ini?” Langkah pelayan itu terhenti. Ia mengerutkan dahi, tampak heran dengan reaksi Cleo. “Iya, bukankah anda sudah tahu, Nona? Ini hari yang sangat penting.” Cleo ingin tertawa, ingin menangis, atau setidaknya menghilang seperti tokoh utama di drama-drama yang biasa ia tonton. Tapi ini nyata. Dirinya memang sedang menyamar sebagai orang lain, dan orang itu rupanya akan menikah hari ini! “Astaga Cleo... kamu mau lari dari masalah. Tapi kenapa malah nyemplung ke masalah yang lebih dalam?” batinnya gemetar. Dia menatap gaun putih yang begitu cantik di hadapannya, namun rasanya seperti menatap jaring laba-laba raksasa yang siap menangkapnya.Richard tampak gelisah. Ia takut terlambat hadir di pesta resepsi cucu kesayangannya. Tidak ada yang tahu jika kemacetan di jalan raya itu adalah ulah cucunya sengaja agar semua terlambat datang ke resepsi pernikahannya. "Kenapa macet sekali? Ada apa, Ini?" tanya Richard gelisah. "Maaf, Tuan. Sepertinya ada mobil terbakar di depan. Beberapa mobil damkar sedang berusaha memadamkan api tersebut." "Kalau begini kita bisa terlambat ke acara pernikahan Devan," gerutu Pak Richard. Sepertinya rencana Devan berjalan dengan lancar. Jalan utama menuju gedung resepsi telah tertutup total. Sedangkan mobil yang sudah terjebak, tidak akan bisa berputar balik. Kejadian itu juga berlaku untuk keluarga Calia yang sedang menuju gedung resepsi. Mereka ikut terjebak dan tidak akan bisa berkutik. Sementara itu, mobil Devan telah sampai di gedung resepsi. Beberapa tamu yang berasal dari daerah lain telah sampai di lokasi. Namun hanya beberapa saja. Dio membukakan pintu untuk Devan. Ia lalu
Mobil hitam yang dikendarai Dio melaju membelah jalanan ibu kota dengan kecepatan tinggi. Di kursi belakang, Devan duduk dengan wajah tegang, matanya tajam menatap ke depan seolah sedang menghitung setiap detik yang lewat. “Berapa lama lagi acaranya dimulai?” tanya Devan, suaranya dingin dan dalam. “Sekitar tiga puluh menit, Tuan,” jawab Dio, matanya tetap fokus ke jalan. “Kakek dan yang lain, sudah sampai di gedung?” “Belum, Tuan. Informasi terakhir, mereka masih dalam perjalanan.” “Bagus. Tutup semua akses menuju lokasi. Aku tidak ingin siapa pun dari mereka tiba tepat waktu,” perintah Devan dengan nada memerintah. Dio sempat menoleh sekilas dari kaca spion, wajahnya bingung. Tapi ia tahu benar, bukan tempatnya untuk bertanya. “Baik, Tuan,” jawabnya patuh. Ia segera mengambil ponsel dan memberi perintah pada seseorang. “Satu lagi,” sambung Devan. “Pastikan keluarga Calia juga mengalami keterlambatan.” Cleo yang duduk di samping Devan, diam mematung. Tatapan
Suasana bandara hari itu cukup ramai. Deru koper yang bergulir, suara pengumuman keberangkatan, dan hiruk-pikuk pelancong menyatu jadi satu harmoni khas terminal kedatangan internasional. Dari pintu kaca otomatis, seorang wanita muda melangkah keluar dengan penuh percaya diri. Tubuhnya ramping, langkahnya tegap, wajahnya tertutup kacamata hitam besar, dan penampilannya sempurna. Rambutnya yang hitam legam digulung rapi ke belakang, blazernya diseterika tanpa satu pun lipatan, dan high heels-nya berbunyi ‘klik-klik’ mantap setiap kali menjejak lantai. Itulah Calia Amanda Affandi. Si calon pengantin yang sesungguhnya. Putri dari keluarga terpandang yang terbiasa dengan standar tinggi dan kesempurnaan. Setiap hal harus sesuai rencana. Termasuk pernikahannya. Ia menghela napas pendek saat melihat sekeliling. "Seharusnya supir sudah standby di sini sejak lima menit lalu. Ini keterlambatan tak profesional," gumamnya. Tak lama kemudian, seorang pria muda dengan kemeja putih dan jas ka
Dengan langkah ragu, Cleo mengikuti pelayan masuk ke ruang pas. Tangannya dingin, jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang."Nona, izinkan saya membantu memakaikannya," ujar pelayan itu dengan ramah sambil membuka resleting gaun.Cleo mengangguk pelan, hampir tanpa suara. Dalam hati ia terus bergumam, “Ya Tuhan, aku hanya ingin kabur dari preman, bukan malah dinikahkan secara tiba-tiba!”Gaun itu terasa berat, tapi lembut menyentuh kulit. Saat pelayan memasangkannya di tubuh Cleo dan merapikan detailnya, cermin besar di hadapannya pun memantulkan sosok gadis berbeda. Gadis yang tadinya kabur dari preman pasar, kini berdiri anggun bak pengantin bangsawan."Wow... Anda sangat cantik, Nona. Seperti putri dalam dongeng," ujar pelayan itu dengan mata berbinar.Cleo terdiam. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Seketika rasa bingung dan takut itu menyatu dengan takjub."Ini... aku?" gumamnya pelan.Tapi momen kagum itu hanya berlangsung sesaat, karena kenyataan menamparny
“Kamu harus menikah dengan, Calia!” Suara kakeknya masih terdengar mengalun keras di telinganya. Devan adalah pria muda berusia dua puluhan, tampan dan berkarisma, namun dikenal dingin dan tak banyak bicara. Ia cucu dari konglomerat Richard Darelano, pemilik imperium bisnis terbesar di Asia. Malam itu, tanpa aba-aba, sang kakek tiba-tiba memintanya hadir dalam jamuan makan malam keluarga. Bukan undangan biasa, ini perintah. Pesan itu disampaikan oleh Dio, asisten pribadi Devan, dengan sangat hati-hati. “Tuan Devan... maaf mengganggu. Kakek Anda meminta Anda hadir malam ini di rumah utama. Beliau bilang ini wajib.” Devan menatap Dio tajam, lalu mengangguk pelan. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Tapi tatapannya cukup membuat Dio menelan ludah. Rumah megah keluarga Darelano malam itu dipenuhi cahaya lampu kristal dan aroma makanan mahal. Dua keluarga besar berkumpul membicarakan pernikahan Devan. Devan tak bisa menolak. Kakeknya, Richard Darelano, menuntutnya menikah agar
Hei, tunggu! Berhenti! Jangan lari!” Cleo terus berlari, menghindari kejaran para preman. Sudah sebulan ini hidupnya tak tenang. Ayahnya, Rudi Baskoro, terlilit hutang dengan bandar judi, dan tak sanggup membayarnya. Alih-alih mencari solusi, sang ayah justru nekat menjadikan Cleo sebagai jaminan. Sesampainya di rumah, Cleo langsung mengamuk. “Ayah keterlaluan! Kenapa aku dijadikan jaminan hutang?!” “Cleo, Ayah nggak punya pilihan. Ayah panik, jadi asal bicara.” “Berapa total hutangnya?” “Lima miliar.” “APA?!” Cleo hampir terjatuh. Dengan gaji bulanannya yang hanya empat juta, sampai kiamat pun tak akan cukup untuk melunasi hutang ayahnya. “Ayah keterlaluan. Sudah kubilang, berhenti berjudi! Sekarang aku harus apa?!” Rudi hanya menunduk. Cleo mengepalkan tangan, menahan amarah. “Selama ini aku yang biayai kebutuhan rumah, sekolah Willy, dan Ayah malah begini. Aku capek!” Ketukan keras menggema dari depan pintu. Preman. Rentenir. Penagih hutang. "Cleo, cepat lari!