Suasana bandara hari itu cukup ramai. Deru koper yang bergulir, suara pengumuman keberangkatan, dan hiruk-pikuk pelancong menyatu jadi satu harmoni khas terminal kedatangan internasional.
Dari pintu kaca otomatis, seorang wanita muda melangkah keluar dengan penuh percaya diri. Tubuhnya ramping, langkahnya tegap, wajahnya tertutup kacamata hitam besar, dan penampilannya sempurna. Rambutnya yang hitam legam digulung rapi ke belakang, blazernya diseterika tanpa satu pun lipatan, dan high heels-nya berbunyi ‘klik-klik’ mantap setiap kali menjejak lantai. Itulah Calia Amanda Affandi. Si calon pengantin yang sesungguhnya. Putri dari keluarga terpandang yang terbiasa dengan standar tinggi dan kesempurnaan. Setiap hal harus sesuai rencana. Termasuk pernikahannya. Ia menghela napas pendek saat melihat sekeliling. "Seharusnya supir sudah standby di sini sejak lima menit lalu. Ini keterlambatan tak profesional," gumamnya. Tak lama kemudian, seorang pria muda dengan kemeja putih dan jas kasual melambai ke arahnya sambil membawa papan nama bertuliskan, ‘Calia Amanda’. Calia menghampirinya. “Zayn?” "Calia? Kamu makin cantik aja!" "Zayn. Kenapa kamu yang jemput? Devan dimana?" "Devan sudah menunggumu di bridal. Ayo kita kesana!" "Beneran? Aku udah nggak sabar ketemu sama Devan," ujar Calia bersemangat. Zayn lalu mengajak Calia ke butik pengantin. Namun ia membawanya ke tempat yang berbeda dengan Devan. Zayn sengaja melakukan itu semua untuk membantu Devan membatalkan pernikahannya. Namun sesampainya di sana, butik itu ternyata tutup. Zayn berpura-pura terkejut. "Kenapa tutup?" Calia tampak panik. "Apa kamu yakin di sini tempatnya?" "Benar. Ini tempatnya. Devan sudah memesan gaun pengantin di sini. Tidak mungkin aku salah." Papar Zayn mengelabui Calia. "Lalu di mana Devan. Kenapa dia belum sampai?" "Dia bilang masih di perjalanan. Kejebak macet." "Apa, macet? Ini sudah jam berapa? 2 jam lagi pesta akan di mulai," ujar Calia kebingungan. "Kalau begitu kamu tunggu di sini dulu Ya! Aku akan jemput Devan." "Lah, kenapa aku tidak ikut kamu sekalian aja?" tanya Calia heran. "Calia. Aku yakin sebentar lagi butik ini buka. Kamu harus bersiap untuk makeup dan lain-lain. Kalau kamu ikut denganku, kita akan terlambat." "Benar juga katamu. Kalau begitu aku di sini aja!" Zayn tersenyum licik. Ia lalu masuk ke dalam mobilnya dan pergi begitu saja meninggalkan Calia. Calia yang menyadari tas dan semua barang-barangnya ada di mobil Zayn, ia pun berteriak. "Zayn tunggu. Tasku ada di dalam. Zayn..." Akan tetapi Zayn sengaja melajukan mobilnya dengan cepat. Ponsel, dompet dan barang berharga milik Calia berada di mobilnya. Dengan begitu, Calia tidak akan bisa kemana-mana. Zayn segera mengambil ponselnya dan menelpon Devan. "Halo Devan. Semuanya sudah beres!" "Bagus. Oh ya, tolong pastikan, taksi, ojek online atau kendaraan umum apapun tidak melintas di jalan itu." "Aku sudah menelpon perusahaan mereka. Jalan akan dialihkan secepatnya. Semuanya pasti berjalan sesuai rencana." "Oke terimakasih, Zayn! Setelah ini aku transfer bagianmu!" Zayn menutup teleponnya. Ia tersenyum licik. Zayn akhirnya bisa mencegah Calia untuk datang ke gedung itu. Calia berdiri terpaku di depan butik yang tertutup rapat, matanya berusaha menembus kaca buram seolah berharap ada seseorang di dalam. Namun yang terlihat hanya ruangan kosong, sunyi, dan berdebu. Angin sore mengibarkan helai-helai rambutnya yang mulai terurai dari sanggul rapi. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Napasnya tercekat, antara marah, malu, dan bingung. “Sialan…” desisnya pelan. Ia mencoba menelpon Zayn, tapi ponselnya—semua barangnya—masih di dalam mobil yang kini entah melaju ke arah mana. Mata Calia berkaca-kaca. Dihantam emosi dan kelelahan setelah perjalanan panjang, pikirannya mulai berkecamuk. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan pertolongan, namun yang ada hanyalah jalanan sepi yang jarang dilalui kendaraan. Ia berbalik dan menyandarkan punggungnya di pintu butik. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Calia Amanda Affandi, si putri sempurna yang selalu dilayani dan dilindungi merasa sangat tidak berdaya. Langit mulai meredup. Senja menjelang, dan udara makin dingin menusuk tulang. Calia menggosok lengannya sendiri, mencoba menghangatkan tubuhnya. Dalam benaknya, ratusan pertanyaan muncul. “Kenapa Zayn melakukan ini? Apa benar Devan ikut dalam rencana ini?” Kenangan akan Devan memenuhi pikirannya—senyumnya yang lembut, sikapnya yang kadang dingin tapi perhatian, dan cara pria itu dulu menatapnya seolah ia satu-satunya di dunia. Calia menggeleng pelan, mencoba menepis pikiran itu. “Aku bukan cewek bodoh. Kalau dia benar-benar mau menikahiku, dia pasti ada di sini,” gumamnya getir. Tiba-tiba, suara mesin motor terdengar mendekat. Sebuah motor pengantar makanan berhenti tak jauh dari tempat Calia berdiri. Si pengemudi membuka helmnya dan menatap Calia yang terlihat bingung dan putus asa. “Mbak, kamu nggak papa? Dari tadi saya lihat seperti kebingungan,” tanyanya sopan. Calia ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Saya ditinggal temen saya. Barang-barang saya dibawa pergi. Dan saya nggak tahu harus ke mana.” Si pengemudi mengangguk prihatin. “Mau saya antar Mbak? Di sini sepi, bahaya juga kalau sendirian.” Calia berpikir. Ia tidak tahu harus ke mana. Ia tidak tahu siapa yang bisa dihubungi. Tapi ia tahu satu hal, ia tidak bisa tetap di situ. Sementara waktu terus berjalan. Setelah terdiam cukup lama, Calia menghela napas berat dan memantapkan hati. “Mas tolong antar saya ke daerah Pondok Flamboyan. Saya mau pulang saja,” ucapnya pelan namun tegas. Kurir itu melirik lewat kaca spion. “Baik Mbak? Siap.” Perjalanan pun dilanjutkan. Angin sore mulai menerpa wajah Calia yang masih pucat. Ia bersandar sedikit ke belakang, mencoba mengendurkan tubuhnya yang tegang sejak tadi pagi. Jalanan ibu kota yang semula ramai kini terasa sepi bagi Calia. Bukan karena jumlah kendaraan, tapi karena isi kepalanya yang terus bergemuruh. Ia mengingat wajah Zayn yang penuh tipu daya, dan bagaimana ia dengan polosnya percaya begitu saja. Ia mengingat Devan. Mungkinkah Devan tahu soal ini? Atau justru… ikut merancang semuanya? Seketika matanya memanas. Tapi ia menahan air mata itu dalam-dalam. Calia Amanda Affandi tak boleh menangis di jalan. Ia tetap harus terlihat kuat, setidaknya di hadapan orang lain. Tak sampai satu jam, mereka pun tiba di depan rumah besar bergaya kolonial di tengah kawasan elite. Kurir itu menghentikan motor, menoleh ke belakang. “Sudah sampai, Mbak.” “Loh... sepi banget,” gumamnya bingung. Seorang security menghampiri dari pos jaga. “Nona Calia?” sapa pria berseragam itu, sedikit terkejut melihat penampilan Calia yang berantakan. “Iya. Kenapa rumah kosong? Di mana semuanya?” Security itu terlihat canggung. “Maaf, Nona. Semua sudah berangkat ke gedung pernikahan. Katanya Nona sudah bersama Tuan Devan dan sedang bersiap.” Calia menahan napas. Dunia seolah berputar lambat di sekelilingnya. “Pernikahan… tetap dilaksanakan?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Iya, Nona. Tuan Affandi, Nyonya, dan semua keluarga sudah berangkat sejak tadi.” Calia terdiam. Dadanya sesak. Ia berbalik menatap jalan, mencoba menyusun kenyataan yang baru saja ia dengar. Tanpa dirinya, semuanya tetap berjalan. "Segera siapkan mobil, Pak. Aku mau menyusul mereka!"Cleo terduduk lemas. Napasnya tercekat, kakinya gemetar. Dunia serasa berputar. Ucapan Bu Sandara barusan menghantam jantungnya tanpa ampun—pernikahan itu... sah."Enggak... ini enggak mungkin..." bisiknya, seakan menolak kenyataan. Matanya mulai basah.Keenan refleks menahan tubuh Cleo yang nyaris ambruk. "Cleo, tahan. Aku tidak tahu kalau ibuku akan bertindak sejauh ini," ucap Keenan dengan suara parau.Tapi sebelum Cleo bisa menjawab, sebuah suara berat menggema dari ambang pintu. Suara itu dingin. Penuh kemarahan yang tertahan."Apa maksud kalian semua?"Mereka semua menoleh bersamaan. Devan berdiri di sana. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk. Langkahnya mantap seperti badai yang siap menghancurkan apa pun di hadapannya.Bu Sandara terpaku. "Devan. Ka—kau disini?""Jangan panggil nama saya seolah kita masih di pihak yang sama!" bentak Devan. "Kalian pikir aku main-main waktu bilang ini hanya sandiwara? Kalian pikir aku ini boneka yang bisa kalian mainkan sesuka hati?!"P
Devan menatap Cleo yang kini berlutut di hadapannya. Gadis itu—yang selama ini ia lindungi, ia cintai, dan ia jaga—kini memohon padanya… untuk berpura-pura mencintai wanita lain. Untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang bahkan pernah menyakitinya. Darah Devan seperti berhenti mengalir.Air mata menggenang di pelupuknya, lalu jatuh, satu demi satu, tanpa bisa ia cegah. Ia menoleh ke arah Pak Affandi dan Bu Sandara yang juga masih berlutut, wajah mereka penuh harap. Keenan hanya menunduk, menggenggam tangan ibunya. Tak satu pun kata keluar dari mulut mereka, tapi semuanya bersuara—tentang rasa takut kehilangan, tentang cinta yang telah putus asa.Namun yang paling menghantam adalah tatapan Cleo. Bukan tatapan marah, bukan tatapan kecewa—tapi pasrah. Tulus. Dan retak.Devan mengatupkan rahangnya. Hatinya menjerit. Tapi perlahan ia berlutut juga, tepat di hadapan Cleo.Tangannya terulur, menyentuh pipi Cleo yang basah oleh air mata. “Maafkan aku,” bisiknya lirih. “Maaf karena harus membua
Cleo turun dari mobil dengan langkah yang berat. Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya pantulan dari kegelisahan yang mencengkeram hatinya. Ia mengikuti langkah Devan masuk ke rumah sakit, menuju ruang IGD.Begitu tiba, pemandangan pertama yang mereka lihat adalah Pak Affandi berdiri lemas di depan pintu ruang gawat darurat, wajahnya pucat, mata sembab. Di sampingnya ada Bu Sandara, memeluk tubuhnya sendiri seolah berusaha menahan kepedihan. Keenan berdiri tak jauh dari mereka, tampak berusaha tenang meski wajahnya tak kalah cemas.Pak Affandi buru-buru mendekat begitu melihat Devan.“Devan…” suaranya parau. Ia menggenggam tangan Devan dengan erat, seolah sedang bergantung pada satu-satunya harapan terakhir. “Calia... dia... dia mencoba mengakhiri hidupnya. Dia pecahkan vas bunga di kamarnya dan... menggores pergelangan tangannya sendiri.”Cleo menutup mulutnya, syok. Devan menghela napas keras, rahangnya menegang.“Kenapa bisa terjadi seperti ini, Pak?” tan
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar Devan. Di atas ranjang luas itu, Cleo dan Devan masih terbaring dalam satu selimut. Setelah semalam menghabiskan malam panas bersama. Ya, mereka telah menjadi suami—istri seutuhnya.Devan memeluk Cleo dari belakang, dagunya bersandar di bahu Cleo, sementara Cleo menggenggam tangan Devan yang melingkar di pinggangnya.Cleo membuka matanya perlahan, merasa hangat dan nyaman. Ia tersenyum kecil, lalu berbalik menatap wajah tampan Devan yang masih memejamkan mata, tampak damai.Tiba-tiba, Devan membuka matanya perlahan. Mereka bertatapan. Tak ada kata-kata. Hanya sorot mata yang berbicara lebih lantang dari segala dialog.“Masih sakit luka di pelipis mata, Kamu?” tanya Cleo lirih, suaranya hampir seperti bisikan yang takut terdengar dunia.Devan mengangguk pelan. “Sakit,” katanya dengan senyum tipis, “Tapi lebih sakit waktu kamu pergi.”Cleo menunduk, menyembunyikan matanya yang mulai basah. Tapi Devan segera merengkuhnya, memeluk Cleo erat
Malam mulai larut. Jarum jam hampir menyentuh angka sembilan. Ketika Devan akhirnya pulang ke kediaman keluarga Darelano. Rumah megah masih terang, cahaya lampu taman yang menyala, menyorot jalan setapak menuju pintu utama.Langkah Devan berat. Wajahnya lelah, matanya sayu. Seharian ini ia sengaja menyibukkan diri di kantor, menumpuk dan menandatangani berkas demi berkas tanpa jeda. Semua itu dilakukan demi satu hal: melupakan Cleo.Namun, saat membuka pintu dan melangkah ke ruang tengah, langkah Devan terhenti.Di sana, di ruang keluarga, seorang pria tua dengan rambut memutih duduk di kursi favoritnya, menatapnya tajam dengan sorot mata penuh tanya. Kakek Richard.“Sudah pulang juga kau, Devan” suara berat sang kakek terdengar serak namun tegas. Devan menghela napas panjang. Ia melepas jasnya, meletakkannya dengan lelah di sandaran sofa.Sang kakek berdiri perlahan, menghampiri cucunya. “Kau bisa sibuk seharian, tapi wajahmu tetap menunjukkan luka. Apa yang sebenarnya terjadi antar
Cleo dan keluarganya baru saja tiba di rumah. Keenan memarkir mobilnya dengan tenang, lalu turun dan membantu Pak Rudi membuka pintu. Lelaki paruh baya itu menyambut Keenan dengan senyum hangat, seolah menyambut anaknya sendiri. Keakraban mereka tak bisa disangkal, dan Cleo menyadari hubungan mereka sudah dekat dalam waktu yang cukup lama. "Masuk dulu, Keenan. Kita belum sempat benar-benar ngobrol," ucap Pak Rudi ramah sambil menepuk bahu Keenan. "Baik, Pak," jawab Keenan sambil tersenyum, lalu melangkah masuk. Di ruang tengah, Willy yang iseng menyalakan televisi tiba-tiba menghentikan kegiatannya. Matanya terpaku pada layar. Berita siang itu menampilkan laporan keuangan dua perusahaan besar yang dalam waktu singkat mengalami penurunan drastis hingga dinyatakan dalam kondisi kritis dan nyaris bangkrut. "Apa ini?" gumam Willy. Cleo ikut menoleh. Tatapannya langsung membeku saat melihat wajah-wajah yang tak asing di layar. Dua dari tiga laki-laki yang pernah menghantui malam kelam