Share

Bab 4

Penulis: RATU LANGIT
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-12 19:19:24

Suasana bandara hari itu cukup ramai. Deru koper yang bergulir, suara pengumuman keberangkatan, dan hiruk-pikuk pelancong menyatu jadi satu harmoni khas terminal kedatangan internasional.

Dari pintu kaca otomatis, seorang wanita muda melangkah keluar dengan penuh percaya diri. Tubuhnya ramping, langkahnya tegap, wajahnya tertutup kacamata hitam besar, dan penampilannya sempurna. Rambutnya yang hitam legam digulung rapi ke belakang, blazernya diseterika tanpa satu pun lipatan, dan high heels-nya berbunyi ‘klik-klik’ mantap setiap kali menjejak lantai.

Itulah Calia Amanda Affandi. Si calon pengantin yang sesungguhnya. Putri dari keluarga terpandang yang terbiasa dengan standar tinggi dan kesempurnaan. Setiap hal harus sesuai rencana. Termasuk pernikahannya.

Ia menghela napas pendek saat melihat sekeliling. "Seharusnya supir sudah standby di sini sejak lima menit lalu. Ini keterlambatan tak profesional," gumamnya.

Tak lama kemudian, seorang pria muda dengan kemeja putih dan jas kasual melambai ke arahnya sambil membawa papan nama bertuliskan, ‘Calia Amanda’.

Calia menghampirinya. “Zayn?”

"Calia? Kamu makin cantik aja!"

"Zayn. Kenapa kamu yang jemput? Devan dimana?"

"Devan sudah menunggumu di bridal. Ayo kita kesana!"

"Beneran? Aku udah nggak sabar ketemu sama Devan," ujar Calia bersemangat.

Zayn lalu mengajak Calia ke butik pengantin. Namun ia membawanya ke tempat yang berbeda dengan Devan. Zayn sengaja melakukan itu semua untuk membantu Devan membatalkan pernikahannya.

Namun sesampainya di sana, butik itu ternyata tutup. Zayn berpura-pura terkejut.

"Kenapa tutup?"

Calia tampak panik. "Apa kamu yakin di sini tempatnya?"

"Benar. Ini tempatnya. Devan sudah memesan gaun pengantin di sini. Tidak mungkin aku salah." Papar Zayn mengelabui Calia.

"Lalu di mana Devan. Kenapa dia belum sampai?"

"Dia bilang masih di perjalanan. Kejebak macet."

"Apa, macet? Ini sudah jam berapa? 2 jam lagi pesta akan di mulai," ujar Calia kebingungan.

"Kalau begitu kamu tunggu di sini dulu Ya! Aku akan jemput Devan."

"Lah, kenapa aku tidak ikut kamu sekalian aja?" tanya Calia heran.

"Calia. Aku yakin sebentar lagi butik ini buka. Kamu harus bersiap untuk makeup dan lain-lain. Kalau kamu ikut denganku, kita akan terlambat."

"Benar juga katamu. Kalau begitu aku di sini aja!"

Zayn tersenyum licik. Ia lalu masuk ke dalam mobilnya dan pergi begitu saja meninggalkan Calia. Calia yang menyadari tas dan semua barang-barangnya ada di mobil Zayn, ia pun berteriak.

"Zayn tunggu. Tasku ada di dalam. Zayn..."

Akan tetapi Zayn sengaja melajukan mobilnya dengan cepat. Ponsel, dompet dan barang berharga milik Calia berada di mobilnya. Dengan begitu, Calia tidak akan bisa kemana-mana. Zayn segera mengambil ponselnya dan menelpon Devan.

"Halo Devan. Semuanya sudah beres!"

"Bagus. Oh ya, tolong pastikan, taksi, ojek online atau kendaraan umum apapun tidak melintas di jalan itu."

"Aku sudah menelpon perusahaan mereka. Jalan akan dialihkan secepatnya. Semuanya pasti berjalan sesuai rencana."

"Oke terimakasih, Zayn! Setelah ini aku transfer bagianmu!"

Zayn menutup teleponnya. Ia tersenyum licik. Zayn akhirnya bisa mencegah Calia untuk datang ke gedung itu.

Calia berdiri terpaku di depan butik yang tertutup rapat, matanya berusaha menembus kaca buram seolah berharap ada seseorang di dalam. Namun yang terlihat hanya ruangan kosong, sunyi, dan berdebu. Angin sore mengibarkan helai-helai rambutnya yang mulai terurai dari sanggul rapi. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Napasnya tercekat, antara marah, malu, dan bingung.

“Sialan…” desisnya pelan.

Ia mencoba menelpon Zayn, tapi ponselnya—semua barangnya—masih di dalam mobil yang kini entah melaju ke arah mana. Mata Calia berkaca-kaca. Dihantam emosi dan kelelahan setelah perjalanan panjang, pikirannya mulai berkecamuk. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan pertolongan, namun yang ada hanyalah jalanan sepi yang jarang dilalui kendaraan.

Ia berbalik dan menyandarkan punggungnya di pintu butik. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Calia Amanda Affandi, si putri sempurna yang selalu dilayani dan dilindungi merasa sangat tidak berdaya.

Langit mulai meredup. Senja menjelang, dan udara makin dingin menusuk tulang. Calia menggosok lengannya sendiri, mencoba menghangatkan tubuhnya. Dalam benaknya, ratusan pertanyaan muncul. “Kenapa Zayn melakukan ini? Apa benar Devan ikut dalam rencana ini?”

Kenangan akan Devan memenuhi pikirannya—senyumnya yang lembut, sikapnya yang kadang dingin tapi perhatian, dan cara pria itu dulu menatapnya seolah ia satu-satunya di dunia. Calia menggeleng pelan, mencoba menepis pikiran itu.

“Aku bukan cewek bodoh. Kalau dia benar-benar mau menikahiku, dia pasti ada di sini,” gumamnya getir.

Tiba-tiba, suara mesin motor terdengar mendekat. Sebuah motor pengantar makanan berhenti tak jauh dari tempat Calia berdiri. Si pengemudi membuka helmnya dan menatap Calia yang terlihat bingung dan putus asa.

“Mbak, kamu nggak papa? Dari tadi saya lihat seperti kebingungan,” tanyanya sopan.

Calia ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk.

“Saya ditinggal temen saya. Barang-barang saya dibawa pergi. Dan saya nggak tahu harus ke mana.”

Si pengemudi mengangguk prihatin. “Mau saya antar Mbak? Di sini sepi, bahaya juga kalau sendirian.”

Calia berpikir. Ia tidak tahu harus ke mana. Ia tidak tahu siapa yang bisa dihubungi. Tapi ia tahu satu hal, ia tidak bisa tetap di situ. Sementara waktu terus berjalan.

Setelah terdiam cukup lama, Calia menghela napas berat dan memantapkan hati.

“Mas tolong antar saya ke daerah Pondok Flamboyan. Saya mau pulang saja,” ucapnya pelan namun tegas.

Kurir itu melirik lewat kaca spion. “Baik Mbak? Siap.”

Perjalanan pun dilanjutkan. Angin sore mulai menerpa wajah Calia yang masih pucat. Ia bersandar sedikit ke belakang, mencoba mengendurkan tubuhnya yang tegang sejak tadi pagi. Jalanan ibu kota yang semula ramai kini terasa sepi bagi Calia. Bukan karena jumlah kendaraan, tapi karena isi kepalanya yang terus bergemuruh.

Ia mengingat wajah Zayn yang penuh tipu daya, dan bagaimana ia dengan polosnya percaya begitu saja. Ia mengingat Devan. Mungkinkah Devan tahu soal ini? Atau justru… ikut merancang semuanya?

Seketika matanya memanas. Tapi ia menahan air mata itu dalam-dalam. Calia Amanda Affandi tak boleh menangis di jalan. Ia tetap harus terlihat kuat, setidaknya di hadapan orang lain.

Tak sampai satu jam, mereka pun tiba di depan rumah besar bergaya kolonial di tengah kawasan elite. Kurir itu menghentikan motor, menoleh ke belakang. “Sudah sampai, Mbak.”

“Loh... sepi banget,” gumamnya bingung.

Seorang security menghampiri dari pos jaga.

“Nona Calia?” sapa pria berseragam itu, sedikit terkejut melihat penampilan Calia yang berantakan.

“Iya. Kenapa rumah kosong? Di mana semuanya?”

Security itu terlihat canggung. “Maaf, Nona. Semua sudah berangkat ke gedung pernikahan. Katanya Nona sudah bersama Tuan Devan dan sedang bersiap.”

Calia menahan napas. Dunia seolah berputar lambat di sekelilingnya. “Pernikahan… tetap dilaksanakan?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.

“Iya, Nona. Tuan Affandi, Nyonya, dan semua keluarga sudah berangkat sejak tadi.”

Calia terdiam. Dadanya sesak. Ia berbalik menatap jalan, mencoba menyusun kenyataan yang baru saja ia dengar. Tanpa dirinya, semuanya tetap berjalan.

"Segera siapkan mobil, Pak. Aku mau menyusul mereka!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PENGANTIN PENGGANTI CEO TAMPAN    Bab 6

    Richard tampak gelisah. Ia takut terlambat hadir di pesta resepsi cucu kesayangannya. Tidak ada yang tahu jika kemacetan di jalan raya itu adalah ulah cucunya sengaja agar semua terlambat datang ke resepsi pernikahannya. "Kenapa macet sekali? Ada apa, Ini?" tanya Richard gelisah. "Maaf, Tuan. Sepertinya ada mobil terbakar di depan. Beberapa mobil damkar sedang berusaha memadamkan api tersebut." "Kalau begini kita bisa terlambat ke acara pernikahan Devan," gerutu Pak Richard. Sepertinya rencana Devan berjalan dengan lancar. Jalan utama menuju gedung resepsi telah tertutup total. Sedangkan mobil yang sudah terjebak, tidak akan bisa berputar balik. Kejadian itu juga berlaku untuk keluarga Calia yang sedang menuju gedung resepsi. Mereka ikut terjebak dan tidak akan bisa berkutik. Sementara itu, mobil Devan telah sampai di gedung resepsi. Beberapa tamu yang berasal dari daerah lain telah sampai di lokasi. Namun hanya beberapa saja. Dio membukakan pintu untuk Devan. Ia lalu

  • PENGANTIN PENGGANTI CEO TAMPAN    Bab 5

    Mobil hitam yang dikendarai Dio melaju membelah jalanan ibu kota dengan kecepatan tinggi. Di kursi belakang, Devan duduk dengan wajah tegang, matanya tajam menatap ke depan seolah sedang menghitung setiap detik yang lewat. “Berapa lama lagi acaranya dimulai?” tanya Devan, suaranya dingin dan dalam. “Sekitar tiga puluh menit, Tuan,” jawab Dio, matanya tetap fokus ke jalan. “Kakek dan yang lain, sudah sampai di gedung?” “Belum, Tuan. Informasi terakhir, mereka masih dalam perjalanan.” “Bagus. Tutup semua akses menuju lokasi. Aku tidak ingin siapa pun dari mereka tiba tepat waktu,” perintah Devan dengan nada memerintah. Dio sempat menoleh sekilas dari kaca spion, wajahnya bingung. Tapi ia tahu benar, bukan tempatnya untuk bertanya. “Baik, Tuan,” jawabnya patuh. Ia segera mengambil ponsel dan memberi perintah pada seseorang. “Satu lagi,” sambung Devan. “Pastikan keluarga Calia juga mengalami keterlambatan.” Cleo yang duduk di samping Devan, diam mematung. Tatapan

  • PENGANTIN PENGGANTI CEO TAMPAN    Bab 4

    Suasana bandara hari itu cukup ramai. Deru koper yang bergulir, suara pengumuman keberangkatan, dan hiruk-pikuk pelancong menyatu jadi satu harmoni khas terminal kedatangan internasional. Dari pintu kaca otomatis, seorang wanita muda melangkah keluar dengan penuh percaya diri. Tubuhnya ramping, langkahnya tegap, wajahnya tertutup kacamata hitam besar, dan penampilannya sempurna. Rambutnya yang hitam legam digulung rapi ke belakang, blazernya diseterika tanpa satu pun lipatan, dan high heels-nya berbunyi ‘klik-klik’ mantap setiap kali menjejak lantai. Itulah Calia Amanda Affandi. Si calon pengantin yang sesungguhnya. Putri dari keluarga terpandang yang terbiasa dengan standar tinggi dan kesempurnaan. Setiap hal harus sesuai rencana. Termasuk pernikahannya. Ia menghela napas pendek saat melihat sekeliling. "Seharusnya supir sudah standby di sini sejak lima menit lalu. Ini keterlambatan tak profesional," gumamnya. Tak lama kemudian, seorang pria muda dengan kemeja putih dan jas ka

  • PENGANTIN PENGGANTI CEO TAMPAN    Bab 3

    Dengan langkah ragu, Cleo mengikuti pelayan masuk ke ruang pas. Tangannya dingin, jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang."Nona, izinkan saya membantu memakaikannya," ujar pelayan itu dengan ramah sambil membuka resleting gaun.Cleo mengangguk pelan, hampir tanpa suara. Dalam hati ia terus bergumam, “Ya Tuhan, aku hanya ingin kabur dari preman, bukan malah dinikahkan secara tiba-tiba!”Gaun itu terasa berat, tapi lembut menyentuh kulit. Saat pelayan memasangkannya di tubuh Cleo dan merapikan detailnya, cermin besar di hadapannya pun memantulkan sosok gadis berbeda. Gadis yang tadinya kabur dari preman pasar, kini berdiri anggun bak pengantin bangsawan."Wow... Anda sangat cantik, Nona. Seperti putri dalam dongeng," ujar pelayan itu dengan mata berbinar.Cleo terdiam. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Seketika rasa bingung dan takut itu menyatu dengan takjub."Ini... aku?" gumamnya pelan.Tapi momen kagum itu hanya berlangsung sesaat, karena kenyataan menamparny

  • PENGANTIN PENGGANTI CEO TAMPAN    Bab 2

    “Kamu harus menikah dengan, Calia!” Suara kakeknya masih terdengar mengalun keras di telinganya. Devan adalah pria muda berusia dua puluhan, tampan dan berkarisma, namun dikenal dingin dan tak banyak bicara. Ia cucu dari konglomerat Richard Darelano, pemilik imperium bisnis terbesar di Asia. Malam itu, tanpa aba-aba, sang kakek tiba-tiba memintanya hadir dalam jamuan makan malam keluarga. Bukan undangan biasa, ini perintah. Pesan itu disampaikan oleh Dio, asisten pribadi Devan, dengan sangat hati-hati. “Tuan Devan... maaf mengganggu. Kakek Anda meminta Anda hadir malam ini di rumah utama. Beliau bilang ini wajib.” Devan menatap Dio tajam, lalu mengangguk pelan. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Tapi tatapannya cukup membuat Dio menelan ludah. Rumah megah keluarga Darelano malam itu dipenuhi cahaya lampu kristal dan aroma makanan mahal. Dua keluarga besar berkumpul membicarakan pernikahan Devan. Devan tak bisa menolak. Kakeknya, Richard Darelano, menuntutnya menikah agar

  • PENGANTIN PENGGANTI CEO TAMPAN    Bab 1

    Hei, tunggu! Berhenti! Jangan lari!” Cleo terus berlari, menghindari kejaran para preman. Sudah sebulan ini hidupnya tak tenang. Ayahnya, Rudi Baskoro, terlilit hutang dengan bandar judi, dan tak sanggup membayarnya. Alih-alih mencari solusi, sang ayah justru nekat menjadikan Cleo sebagai jaminan. Sesampainya di rumah, Cleo langsung mengamuk. “Ayah keterlaluan! Kenapa aku dijadikan jaminan hutang?!” “Cleo, Ayah nggak punya pilihan. Ayah panik, jadi asal bicara.” “Berapa total hutangnya?” “Lima miliar.” “APA?!” Cleo hampir terjatuh. Dengan gaji bulanannya yang hanya empat juta, sampai kiamat pun tak akan cukup untuk melunasi hutang ayahnya. “Ayah keterlaluan. Sudah kubilang, berhenti berjudi! Sekarang aku harus apa?!” Rudi hanya menunduk. Cleo mengepalkan tangan, menahan amarah. “Selama ini aku yang biayai kebutuhan rumah, sekolah Willy, dan Ayah malah begini. Aku capek!” Ketukan keras menggema dari depan pintu. Preman. Rentenir. Penagih hutang. "Cleo, cepat lari!

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status