Dengan langkah ragu, Cleo mengikuti pelayan masuk ke ruang pas. Tangannya dingin, jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang.
"Nona, izinkan saya membantu memakaikannya," ujar pelayan itu dengan ramah sambil membuka resleting gaun. Cleo mengangguk pelan, hampir tanpa suara. Dalam hati ia terus bergumam, “Ya Tuhan, aku hanya ingin kabur dari preman, bukan malah dinikahkan secara tiba-tiba!” Gaun itu terasa berat, tapi lembut menyentuh kulit. Saat pelayan memasangkannya di tubuh Cleo dan merapikan detailnya, cermin besar di hadapannya pun memantulkan sosok gadis berbeda. Gadis yang tadinya kabur dari preman pasar, kini berdiri anggun bak pengantin bangsawan. "Wow... Anda sangat cantik, Nona. Seperti putri dalam dongeng," ujar pelayan itu dengan mata berbinar. Cleo terdiam. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Seketika rasa bingung dan takut itu menyatu dengan takjub. "Ini... aku?" gumamnya pelan. Tapi momen kagum itu hanya berlangsung sesaat, karena kenyataan menamparnya kembali. "Tunggu dulu... aku akan menikah. Tapi dengan siapa? Dan bagaimana kalau mereka tahu aku bukan Calia? Gawat, bisa-bisa aku dilaporkan sebagai penipu!" Cleo menelan ludah. Tapi melihat gaun itu, mendengar pujian si pelayan, dan membayangkan Om Chen yang masih berkeliaran, akhirnya ia menghela napas pasrah. "Lebih baik menikah pura-pura daripada jadi istri Koh Chen si tua bangka," batinnya getir sambil menguatkan diri. Pelayan pun tersenyum puas, lalu berkata, "Setelah ini, kita ke ruang makeup, ya, Nona. Semua harus sempurna sebelum anda menemui calon suami anda." Cleo duduk di kursi rias dengan napas tak beraturan. Make-up artist mulai bekerja, merapikan alis, menyapukan foundation, dan memoleskan lipstik warna nude yang manis. Di dalam hati, Cleo masih saja bingung. Ia melirik sesekali ke arah pintu, berharap Dio—yang ia kira calon suaminya—segera masuk dan menjelaskan semuanya. “Kenapa calon suamiku belum juga muncul? Apa dia grogi? Kasihan juga, ya…” batin Cleo polos sambil tersenyum malu sendiri. Setelah beberapa saat, gaun pengantin itu sempurna melekat di tubuhnya. Rambut panjangnya ditata elegan dengan sentuhan mahkota mungil dan bunga-bunga kecil. Makeup natural menonjolkan kecantikannya. Bahkan Cleo sendiri nyaris tak mengenali dirinya di cermin. "Anda sudah siap, Nona Calia," ucap sang perias sambil tersenyum bangga. Cleo berdiri perlahan dan menatap dirinya di cermin satu kali lagi. Dia tampak seperti putri dari negeri dongeng, bukan gadis miskin yang selalu tampil awut-awutan karena lelah bekerja. “Yah, semoga saja setelah ini hidupku benar-benar berubah jadi dongeng.” Namun begitu pintu bridal dibuka dan Cleo melangkah keluar, jantungnya seketika membeku. Beberapa meter dari tempatnya berdiri, ia melihat dua sosok preman yang tadi mengejarnya sedang celingukan, menatap sekeliling toko sambil mengacungkan foto dari ponsel ke para pegawai butik. "Permisi, lihat cewek ini nggak?" terdengar suara salah satu dari mereka. Cleo menegang. Tangan gemetar, kaki mau lari tapi tak bisa bergerak. “Astaga… mereka masih mencariku?!” Tanpa pikir panjang, Cleo menunduk dan berjalan cepat menuju arah parkiran, berusaha menutupi wajahnya dengan veil tipis yang menjuntai dari rambutnya. Tapi langkahnya semakin panik, karena suara langkah sepatu preman itu juga terdengar mendekat. “Hey! Itu bukan dia? Yang barusan keluar dari bridal?” teriak salah satu preman. Cleo langsung berlari, gaun pengantinnya terseret sedikit. Napasnya pendek, jantung berdentam. “TIDAAAKKK!” teriaknya dalam hati. Lalu tiba-tiba Cleo melihat sebuah mobil hitam elegan ada di depannya. Dengan cepat, Cleo menyelinap masuk ke dalam dan langsung meringkuk di jok belakang, mencoba bersembunyi di balik sosok pria yang duduk di sana. Namun… “Hei! Apa yang kamu lakukan?! Siapa kamu?” suara pria itu terdengar tajam. Cleo menjerit kecil, matanya melebar. Sosok yang kini menatapnya tajam bukan Dio. Tapi seorang pria asing yang jauh lebih dingin, dengan sorot mata tajam dan rahang tegas. Pria itu mengenakan jas hitam mahal, dan tatapannya menusuk seperti es musim dingin. Cleo membeku. Dalam hati ia hanya bisa berkata: “Ya Tuhan…Ini bukan cowok yang tadi. Lalu siapa lagi cowok ini?!" “A-a-aku… Calia,” ucap Cleo gugup, berbohong dengan suara gemetar. Devan mengernyit. “Dasar penipu. Keluar dari mobilku sekarang. Kita pergi ke kantor polisi.” Ia menunjuk ke arah seberang jalan. Cleo mengikuti arah telunjuk Devan dan nyaris tersedak napasnya sendiri. Di sana berdiri tegak sebuah kantor polisi. “Se-sejak kapan kantor polisinya pindah ke situ?” tanyanya panik. “Apa katamu barusan?” sahut Devan tajam, nadanya meninggi. Ia menahan senyum yang nyaris muncul di wajahnya. Tingkah Cleo konyol sekali, tapi ia tak boleh kehilangan citra dinginnya. Ia menggeleng pelan, menahan geli. “Jadi, sebenarnya apa maumu? Kenapa kamu ngaku-ngaku jadi Calia?” tanyanya serius. Belum sempat Cleo menjawab, dua preman tiba-tiba mendekat ke arah mobil Devan. Salah satu dari mereka mengintip ke dalam lewat kaca. Wajah Cleo langsung pucat. Tanpa pikir panjang, ia memeluk Devan dan menyembunyikan wajahnya di dada pria itu. “Tolong… aku mohon. Mereka mencariku. Kalau mereka menangkapku, aku bisa mati…” Devan melirik ke luar, melihat para preman bertubuh besar dengan ekspresi garang. Matanya lalu kembali ke wajah Cleo yang ketakutan. Ia terdiam sejenak, lalu dengan tenang menyentuh kepala Cleo dan menyandarkannya ke dadanya. Cleo tercengang. Baru kali ini ada pria yang memeluknya seperti ini—hangat, melindungi. Devan membuka kaca mobil perlahan. “Ada urusan apa?” tanyanya datar. Salah satu preman menyeringai. “Kami sedang mencari seseorang. Tapi… wah, ternyata pengantin baru, ya? Maaf, silakan lanjutkan!” Ia tertawa kecil dan segera menjauh. Devan menutup kaca kembali. Cleo perlahan menatap wajah pria di sampingnya. Mata mereka saling bertemu, membuat keduanya sedikit tersentak. “Maafkan aku… tolong aku! Aku akan lakukan apa saja, asal kamu mau membawaku pergi dari sini,” pinta Cleo memelas. Devan menatapnya lekat. “Apa saja?” Cleo mengangguk cepat. “Apa pun itu. Tolong… aku nggak bisa keluar dari mobil ini. Mereka akan menangkapku.” Beberapa detik kemudian, Dio datang sambil membawa dua botol air. “Maaf, Tuan. Sudah menunggu lama. Apa semuanya baik-baik saja?” “Kita pergi dari sini sekarang,” perintah Devan singkat. “Baik, Tuan.” Dio segera menyalakan mesin dan membawa mobil melaju pergi. Dari kursi depan, Dio melirik lewat kaca spion. Dalam hati ia membatin, "Tadi Tuan Devan begitu gelisah menjelang pernikahan… tapi sekarang? Wajahnya malah terlihat bersemangat. Apa karena kecantikan Nona Calia? Yah, anggap saja begitu..." Sementara itu, Cleo masih bingung. Tadi ia pikir Dio adalah calon suaminya. Tapi mengapa Dio malah memanggil “Tuan” pada pria di sampingnya? Segalanya terasa semakin rumit. Namun, Cleo menarik napas dalam. Untuk sekarang, yang terpenting adalah satu hal—ia berhasil kabur. Terlepas dari kejaran preman-preman menyeramkan, dan terutama… dari pernikahan dengan Koh Chen Si, si pria tua-tua keladi. Membayangkannya saja sudah membuat perut Cleo mual.Cleo terduduk lemas. Napasnya tercekat, kakinya gemetar. Dunia serasa berputar. Ucapan Bu Sandara barusan menghantam jantungnya tanpa ampun—pernikahan itu... sah."Enggak... ini enggak mungkin..." bisiknya, seakan menolak kenyataan. Matanya mulai basah.Keenan refleks menahan tubuh Cleo yang nyaris ambruk. "Cleo, tahan. Aku tidak tahu kalau ibuku akan bertindak sejauh ini," ucap Keenan dengan suara parau.Tapi sebelum Cleo bisa menjawab, sebuah suara berat menggema dari ambang pintu. Suara itu dingin. Penuh kemarahan yang tertahan."Apa maksud kalian semua?"Mereka semua menoleh bersamaan. Devan berdiri di sana. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk. Langkahnya mantap seperti badai yang siap menghancurkan apa pun di hadapannya.Bu Sandara terpaku. "Devan. Ka—kau disini?""Jangan panggil nama saya seolah kita masih di pihak yang sama!" bentak Devan. "Kalian pikir aku main-main waktu bilang ini hanya sandiwara? Kalian pikir aku ini boneka yang bisa kalian mainkan sesuka hati?!"P
Devan menatap Cleo yang kini berlutut di hadapannya. Gadis itu—yang selama ini ia lindungi, ia cintai, dan ia jaga—kini memohon padanya… untuk berpura-pura mencintai wanita lain. Untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang bahkan pernah menyakitinya. Darah Devan seperti berhenti mengalir.Air mata menggenang di pelupuknya, lalu jatuh, satu demi satu, tanpa bisa ia cegah. Ia menoleh ke arah Pak Affandi dan Bu Sandara yang juga masih berlutut, wajah mereka penuh harap. Keenan hanya menunduk, menggenggam tangan ibunya. Tak satu pun kata keluar dari mulut mereka, tapi semuanya bersuara—tentang rasa takut kehilangan, tentang cinta yang telah putus asa.Namun yang paling menghantam adalah tatapan Cleo. Bukan tatapan marah, bukan tatapan kecewa—tapi pasrah. Tulus. Dan retak.Devan mengatupkan rahangnya. Hatinya menjerit. Tapi perlahan ia berlutut juga, tepat di hadapan Cleo.Tangannya terulur, menyentuh pipi Cleo yang basah oleh air mata. “Maafkan aku,” bisiknya lirih. “Maaf karena harus membua
Cleo turun dari mobil dengan langkah yang berat. Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya pantulan dari kegelisahan yang mencengkeram hatinya. Ia mengikuti langkah Devan masuk ke rumah sakit, menuju ruang IGD.Begitu tiba, pemandangan pertama yang mereka lihat adalah Pak Affandi berdiri lemas di depan pintu ruang gawat darurat, wajahnya pucat, mata sembab. Di sampingnya ada Bu Sandara, memeluk tubuhnya sendiri seolah berusaha menahan kepedihan. Keenan berdiri tak jauh dari mereka, tampak berusaha tenang meski wajahnya tak kalah cemas.Pak Affandi buru-buru mendekat begitu melihat Devan.“Devan…” suaranya parau. Ia menggenggam tangan Devan dengan erat, seolah sedang bergantung pada satu-satunya harapan terakhir. “Calia... dia... dia mencoba mengakhiri hidupnya. Dia pecahkan vas bunga di kamarnya dan... menggores pergelangan tangannya sendiri.”Cleo menutup mulutnya, syok. Devan menghela napas keras, rahangnya menegang.“Kenapa bisa terjadi seperti ini, Pak?” tan
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar Devan. Di atas ranjang luas itu, Cleo dan Devan masih terbaring dalam satu selimut. Setelah semalam menghabiskan malam panas bersama. Ya, mereka telah menjadi suami—istri seutuhnya.Devan memeluk Cleo dari belakang, dagunya bersandar di bahu Cleo, sementara Cleo menggenggam tangan Devan yang melingkar di pinggangnya.Cleo membuka matanya perlahan, merasa hangat dan nyaman. Ia tersenyum kecil, lalu berbalik menatap wajah tampan Devan yang masih memejamkan mata, tampak damai.Tiba-tiba, Devan membuka matanya perlahan. Mereka bertatapan. Tak ada kata-kata. Hanya sorot mata yang berbicara lebih lantang dari segala dialog.“Masih sakit luka di pelipis mata, Kamu?” tanya Cleo lirih, suaranya hampir seperti bisikan yang takut terdengar dunia.Devan mengangguk pelan. “Sakit,” katanya dengan senyum tipis, “Tapi lebih sakit waktu kamu pergi.”Cleo menunduk, menyembunyikan matanya yang mulai basah. Tapi Devan segera merengkuhnya, memeluk Cleo erat
Malam mulai larut. Jarum jam hampir menyentuh angka sembilan. Ketika Devan akhirnya pulang ke kediaman keluarga Darelano. Rumah megah masih terang, cahaya lampu taman yang menyala, menyorot jalan setapak menuju pintu utama.Langkah Devan berat. Wajahnya lelah, matanya sayu. Seharian ini ia sengaja menyibukkan diri di kantor, menumpuk dan menandatangani berkas demi berkas tanpa jeda. Semua itu dilakukan demi satu hal: melupakan Cleo.Namun, saat membuka pintu dan melangkah ke ruang tengah, langkah Devan terhenti.Di sana, di ruang keluarga, seorang pria tua dengan rambut memutih duduk di kursi favoritnya, menatapnya tajam dengan sorot mata penuh tanya. Kakek Richard.“Sudah pulang juga kau, Devan” suara berat sang kakek terdengar serak namun tegas. Devan menghela napas panjang. Ia melepas jasnya, meletakkannya dengan lelah di sandaran sofa.Sang kakek berdiri perlahan, menghampiri cucunya. “Kau bisa sibuk seharian, tapi wajahmu tetap menunjukkan luka. Apa yang sebenarnya terjadi antar
Cleo dan keluarganya baru saja tiba di rumah. Keenan memarkir mobilnya dengan tenang, lalu turun dan membantu Pak Rudi membuka pintu. Lelaki paruh baya itu menyambut Keenan dengan senyum hangat, seolah menyambut anaknya sendiri. Keakraban mereka tak bisa disangkal, dan Cleo menyadari hubungan mereka sudah dekat dalam waktu yang cukup lama. "Masuk dulu, Keenan. Kita belum sempat benar-benar ngobrol," ucap Pak Rudi ramah sambil menepuk bahu Keenan. "Baik, Pak," jawab Keenan sambil tersenyum, lalu melangkah masuk. Di ruang tengah, Willy yang iseng menyalakan televisi tiba-tiba menghentikan kegiatannya. Matanya terpaku pada layar. Berita siang itu menampilkan laporan keuangan dua perusahaan besar yang dalam waktu singkat mengalami penurunan drastis hingga dinyatakan dalam kondisi kritis dan nyaris bangkrut. "Apa ini?" gumam Willy. Cleo ikut menoleh. Tatapannya langsung membeku saat melihat wajah-wajah yang tak asing di layar. Dua dari tiga laki-laki yang pernah menghantui malam kelam