Share

Bab 5

Author: RATU LANGIT
last update Huling Na-update: 2025-06-12 19:19:54

Mobil hitam yang dikendarai Dio melaju membelah jalanan ibu kota dengan kecepatan tinggi. Di kursi belakang, Devan duduk dengan wajah tegang, matanya tajam menatap ke depan seolah sedang menghitung setiap detik yang lewat.

“Berapa lama lagi acaranya dimulai?” tanya Devan, suaranya dingin dan dalam.

“Sekitar tiga puluh menit, Tuan,” jawab Dio, matanya tetap fokus ke jalan.

“Kakek dan yang lain, sudah sampai di gedung?”

“Belum, Tuan. Informasi terakhir, mereka masih dalam perjalanan.”

“Bagus. Tutup semua akses menuju lokasi. Aku tidak ingin siapa pun dari mereka tiba tepat waktu,” perintah Devan dengan nada memerintah.

Dio sempat menoleh sekilas dari kaca spion, wajahnya bingung. Tapi ia tahu benar, bukan tempatnya untuk bertanya.

“Baik, Tuan,” jawabnya patuh. Ia segera mengambil ponsel dan memberi perintah pada seseorang.

“Satu lagi,” sambung Devan. “Pastikan keluarga Calia juga mengalami keterlambatan.”

Cleo yang duduk di samping Devan, diam mematung. Tatapannya sesekali mengarah ke pria yang baru ia kenal, namun bisa memerintah layaknya seorang mafia. Hatinya bergetar. Apa sebenarnya yang ia masuki?

Tak lama kemudian, Dio kembali melaporkan,

“Semuanya sudah diatur. Seseorang akan membuat insiden kebakaran mobil di Jalan Sudirman. Pemadam akan datang, dan jalanan akan ditutup total.”

“Bagus. Malam ini aku transfer bonusmu.”

Cleo terkejut. Matanya membesar. Kebakaran? Orang ini memblokir jalan hanya demi satu acara? Ia menelan ludah. Tiba-tiba tubuhnya terasa dingin.

“Apa aku baru saja ikut campur dalam kejahatan?” batinnya panik.

Dari sudut matanya, Devan melirik Cleo yang mulai gelisah.

“Siapa namamu?” tanyanya tiba-tiba.

Cleo nyaris terlonjak. Ia menunduk, tak berani menatap pria itu. “Na-namaku... Cleo.”

Tiba-tiba mobil mengerem mendadak. Tubuh mereka terlempar ke depan. Devan dengan cepat menahan tubuh Cleo agar kepalanya tidak membentur kaca. Napas mereka memburu.

“Apa-apaan ini, Dio!” seru Devan, geram.

“Maaf, Tuan! Maaf sekali! Tapi saya baru sadar... Nona ini mengaku sebagai Calia Amanda, tapi—”

“Hentikan!” Devan memotong cepat. “Aku tahu, dan aku senang kamu salah orang.”

Dio melongo. Cleo lebih bingung lagi. Senang karena salah orang? Apa maksudnya itu?

Mobil kembali melaju. Namun suasana di dalam terasa lebih berat.

“Nama lengkapmu?” tanya Devan lagi.

“Cleo Amalia Baskoro,” jawab Cleo pelan.

“Nama ayahmu?”

“Hah?” Cleo mengerutkan kening. “Kenapa tanya nama ayah segala?”

Namun tatapan Devan yang tajam membuat Cleo menelan semua protesnya. “R-Rudi Baskoro...”

Devan mengangguk kecil, seperti mencocokkan sesuatu dalam pikirannya.

“Kau bilang akan menurut jika aku menyelamatkanmu. Jadi lakukan saja semua yang kuperintahkan. Tak perlu tanya alasan.”

Cleo terdiam. Dadanya berdebar hebat. Ia benar-benar merasa masuk terlalu dalam ke kehidupan yang bukan miliknya. Tapi di sisi lain, jika dibandingkan dengan pernikahan yang dirancang ayahnya dengan seorang pria tua yang menjijikkan… mungkin ini jalan yang lebih baik.

“Gimana kalau pria di sampingku ini sebenarnya penjahat? Atau—astaga, jangan-jangan dia pengedar narkoba?” batin Cleo semakin gelisah.

Sorot mata tajam, sikap penuh kuasa, dan bagaimana semua orang tunduk padanya… membuat Cleo yakin, Devan bukan orang biasa.

“Ya Tuhan… apa yang harus kulakukan sekarang?” batinnya gelisah.

Dari kaca spion dalam, Dio menatap Cleo dengan alis sedikit mengernyit. Ia bisa membaca raut khawatir di wajah gadis itu.

“Apa Nona baik-baik saja?” tanyanya, pelan namun cukup membuat Devan ikut menoleh.

“Kamu nangis?” tanya Devan, memperhatikan wajah Cleo lebih seksama.

Dengan cepat, Cleo menggeleng.

“Nggak, kok. Aku cuma… capek aja. Tadi lari-larian, jadi agak pusing.”

Suaranya berusaha terdengar tenang, walau tubuhnya nyaris membatu.

Devan mengangguk, lalu menatap ke depan.

“Tenang. Setelah acara selesai, kamu bisa istirahat sepuasmu. Aku janji, nggak akan ada yang ganggu.”

Cleo mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia masih berdoa semoga semua ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir.

Tiba-tiba ponsel Cleo berdering. Nama “Kak Farel” terpampang jelas di layar. Ia langsung mengangkatnya.

“Halo, Kak Farel?”

“Cleo! Ini sudah jam berapa? Kenapa kamu belum datang?!”

Cleo menggigit bibirnya.

“Maaf… sepertinya aku nggak bisa masuk kerja hari ini. Ada urusan mendadak.”

“Cleo, kamu pikir tempat kerja ini punya nenek moyangmu? Ini sudah ketiga kalinya kamu izin mendadak. Kamu dikejar preman lagi?”

Wajah Devan mengeras saat mendengar suara di balik telepon. Tanpa banyak bicara, ia meraih ponsel Cleo dari tangannya dan menempelkannya ke telinga.

“Halo. Cleo cuti tiga hari ke depan. Jangan ganggu dia lagi.”

“Maaf. Siapa ini? Kalau mau cuti harus sesuai prosedur! Kami kekurangan orang—”

“Aku akan kirim orang untuk menggantikannya. Dan satu lagi, jangan pernah bentak dia lagi. Paham?”

Devan langsung memutus sambungan telepon, membuat Cleo hanya bisa melongo melihat sikap dominannya.

“Kamu… kenapa dia selalu seenaknya?” lirih Cleo, tapi lebih ke bisik tertahan.

Devan hanya mengangkat bahu, lalu menelpon seseorang. Setelah selesai berbicara, ia berbalik ke arah Cleo.

“Alamat tempat kerjamu?”

“Di Jalan Raya Irian Jaya No. 28.”

Devan mengernyit.

“Coffee Break, ya?”

Cleo menatapnya heran.

“Kok kamu tahu?”

“Aku tahu banyak hal, Cleo.” jawab Devan datar, seolah itu hal sepele.

“Sudah. Semuanya beres. Kamu nggak perlu khawatir soal kerjaan.” lanjutnya.

“Terima kasih...” Cleo menunduk, lalu menambahkan ragu-ragu, “…sudah bantuin aku.”

Devan menoleh ke arahnya, senyumnya berubah licik.

“Dan kamu tahu kan, ini nggak gratis?”

Cleo menghela napas berat, ekspresinya meringis.

“Bahkan kalau kamu mau jadikan aku tumbal proyek, aku juga pasrah deh.”

Devan menoleh cepat. “Apa? Tumbal proyek?” Lalu dia tertawa, tawa lepas yang jarang terdengar dari mulutnya.

“Kalau tumbalnya kayak kamu, bangunannya malah ambruk!”

Dio yang duduk di depan berusaha keras menahan tawa. Ia menatap Devan dari kaca spion, heran dan geli.

Sungguh, baru kali ini ia melihat sang Tuan tertawa begitu lepas—bukan senyum basa-basi, bukan tawa sinis. Dan itu semua gara-gara gadis lugu di bangku belakang.

Cleo hanya bisa memutar mata, meringis menahan malu. Ia menggumam pelan, “Dasar sadis…”

Mobil berhenti di lampu merah. Di luar, beberapa pedagang asongan berjalan menyusuri deretan mobil. Mata Cleo tertarik pada manisan segar di baki seorang pedagang. Rasanya ingin sekali membelinya. Tapi… ia ragu untuk meminta.

Devan menoleh sekilas, menyadari pandangan Cleo yang tertuju pada manisan itu.

Devan melirik Cleo yang masih mencuri pandang ke arah luar jendela.

“Kamu mau manisan itu?” tanyanya tiba-tiba.

Cleo kaget. “Eh? Aku… cuma lihat aja. Nggak, kok.”

Tapi sorot matanya jelas menjerit sebaliknya.

Devan membuka kaca jendela mobil dan memanggil pedagang yang menjajakan manisan.

Tanpa banyak bicara, ia membeli beberapa bungkus sekaligus.

"Makasih, Mas. Istrinya lagi ngidam, ya?" tanya si pedagang sambil tersenyum ramah.

Seketika wajah Devan dan Cleo memanas bersamaan.

"Eh… ini… kami baru mau menikah," jawab Devan cepat, sedikit gugup.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • PENGANTIN PENGGANTI CEO TAMPAN    Bab 33

    Cleo terduduk lemas. Napasnya tercekat, kakinya gemetar. Dunia serasa berputar. Ucapan Bu Sandara barusan menghantam jantungnya tanpa ampun—pernikahan itu... sah."Enggak... ini enggak mungkin..." bisiknya, seakan menolak kenyataan. Matanya mulai basah.Keenan refleks menahan tubuh Cleo yang nyaris ambruk. "Cleo, tahan. Aku tidak tahu kalau ibuku akan bertindak sejauh ini," ucap Keenan dengan suara parau.Tapi sebelum Cleo bisa menjawab, sebuah suara berat menggema dari ambang pintu. Suara itu dingin. Penuh kemarahan yang tertahan."Apa maksud kalian semua?"Mereka semua menoleh bersamaan. Devan berdiri di sana. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk. Langkahnya mantap seperti badai yang siap menghancurkan apa pun di hadapannya.Bu Sandara terpaku. "Devan. Ka—kau disini?""Jangan panggil nama saya seolah kita masih di pihak yang sama!" bentak Devan. "Kalian pikir aku main-main waktu bilang ini hanya sandiwara? Kalian pikir aku ini boneka yang bisa kalian mainkan sesuka hati?!"P

  • PENGANTIN PENGGANTI CEO TAMPAN    Bab 32

    Devan menatap Cleo yang kini berlutut di hadapannya. Gadis itu—yang selama ini ia lindungi, ia cintai, dan ia jaga—kini memohon padanya… untuk berpura-pura mencintai wanita lain. Untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang bahkan pernah menyakitinya. Darah Devan seperti berhenti mengalir.Air mata menggenang di pelupuknya, lalu jatuh, satu demi satu, tanpa bisa ia cegah. Ia menoleh ke arah Pak Affandi dan Bu Sandara yang juga masih berlutut, wajah mereka penuh harap. Keenan hanya menunduk, menggenggam tangan ibunya. Tak satu pun kata keluar dari mulut mereka, tapi semuanya bersuara—tentang rasa takut kehilangan, tentang cinta yang telah putus asa.Namun yang paling menghantam adalah tatapan Cleo. Bukan tatapan marah, bukan tatapan kecewa—tapi pasrah. Tulus. Dan retak.Devan mengatupkan rahangnya. Hatinya menjerit. Tapi perlahan ia berlutut juga, tepat di hadapan Cleo.Tangannya terulur, menyentuh pipi Cleo yang basah oleh air mata. “Maafkan aku,” bisiknya lirih. “Maaf karena harus membua

  • PENGANTIN PENGGANTI CEO TAMPAN    Bab 31

    Cleo turun dari mobil dengan langkah yang berat. Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya pantulan dari kegelisahan yang mencengkeram hatinya. Ia mengikuti langkah Devan masuk ke rumah sakit, menuju ruang IGD.Begitu tiba, pemandangan pertama yang mereka lihat adalah Pak Affandi berdiri lemas di depan pintu ruang gawat darurat, wajahnya pucat, mata sembab. Di sampingnya ada Bu Sandara, memeluk tubuhnya sendiri seolah berusaha menahan kepedihan. Keenan berdiri tak jauh dari mereka, tampak berusaha tenang meski wajahnya tak kalah cemas.Pak Affandi buru-buru mendekat begitu melihat Devan.“Devan…” suaranya parau. Ia menggenggam tangan Devan dengan erat, seolah sedang bergantung pada satu-satunya harapan terakhir. “Calia... dia... dia mencoba mengakhiri hidupnya. Dia pecahkan vas bunga di kamarnya dan... menggores pergelangan tangannya sendiri.”Cleo menutup mulutnya, syok. Devan menghela napas keras, rahangnya menegang.“Kenapa bisa terjadi seperti ini, Pak?” tan

  • PENGANTIN PENGGANTI CEO TAMPAN    Bab 30

    Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar Devan. Di atas ranjang luas itu, Cleo dan Devan masih terbaring dalam satu selimut. Setelah semalam menghabiskan malam panas bersama. Ya, mereka telah menjadi suami—istri seutuhnya.Devan memeluk Cleo dari belakang, dagunya bersandar di bahu Cleo, sementara Cleo menggenggam tangan Devan yang melingkar di pinggangnya.Cleo membuka matanya perlahan, merasa hangat dan nyaman. Ia tersenyum kecil, lalu berbalik menatap wajah tampan Devan yang masih memejamkan mata, tampak damai.Tiba-tiba, Devan membuka matanya perlahan. Mereka bertatapan. Tak ada kata-kata. Hanya sorot mata yang berbicara lebih lantang dari segala dialog.“Masih sakit luka di pelipis mata, Kamu?” tanya Cleo lirih, suaranya hampir seperti bisikan yang takut terdengar dunia.Devan mengangguk pelan. “Sakit,” katanya dengan senyum tipis, “Tapi lebih sakit waktu kamu pergi.”Cleo menunduk, menyembunyikan matanya yang mulai basah. Tapi Devan segera merengkuhnya, memeluk Cleo erat

  • PENGANTIN PENGGANTI CEO TAMPAN    Bab 29

    Malam mulai larut. Jarum jam hampir menyentuh angka sembilan. Ketika Devan akhirnya pulang ke kediaman keluarga Darelano. Rumah megah masih terang, cahaya lampu taman yang menyala, menyorot jalan setapak menuju pintu utama.Langkah Devan berat. Wajahnya lelah, matanya sayu. Seharian ini ia sengaja menyibukkan diri di kantor, menumpuk dan menandatangani berkas demi berkas tanpa jeda. Semua itu dilakukan demi satu hal: melupakan Cleo.Namun, saat membuka pintu dan melangkah ke ruang tengah, langkah Devan terhenti.Di sana, di ruang keluarga, seorang pria tua dengan rambut memutih duduk di kursi favoritnya, menatapnya tajam dengan sorot mata penuh tanya. Kakek Richard.“Sudah pulang juga kau, Devan” suara berat sang kakek terdengar serak namun tegas. Devan menghela napas panjang. Ia melepas jasnya, meletakkannya dengan lelah di sandaran sofa.Sang kakek berdiri perlahan, menghampiri cucunya. “Kau bisa sibuk seharian, tapi wajahmu tetap menunjukkan luka. Apa yang sebenarnya terjadi antar

  • PENGANTIN PENGGANTI CEO TAMPAN    Bab 28

    Cleo dan keluarganya baru saja tiba di rumah. Keenan memarkir mobilnya dengan tenang, lalu turun dan membantu Pak Rudi membuka pintu. Lelaki paruh baya itu menyambut Keenan dengan senyum hangat, seolah menyambut anaknya sendiri. Keakraban mereka tak bisa disangkal, dan Cleo menyadari hubungan mereka sudah dekat dalam waktu yang cukup lama. "Masuk dulu, Keenan. Kita belum sempat benar-benar ngobrol," ucap Pak Rudi ramah sambil menepuk bahu Keenan. "Baik, Pak," jawab Keenan sambil tersenyum, lalu melangkah masuk. Di ruang tengah, Willy yang iseng menyalakan televisi tiba-tiba menghentikan kegiatannya. Matanya terpaku pada layar. Berita siang itu menampilkan laporan keuangan dua perusahaan besar yang dalam waktu singkat mengalami penurunan drastis hingga dinyatakan dalam kondisi kritis dan nyaris bangkrut. "Apa ini?" gumam Willy. Cleo ikut menoleh. Tatapannya langsung membeku saat melihat wajah-wajah yang tak asing di layar. Dua dari tiga laki-laki yang pernah menghantui malam kelam

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status