Hari-hari telah berlalu, sejak Mama mencari Selena setelah sekian lama menghilang. Dan kini segalanya sudah berjalan seperti hari-hari normal bagi Selena. Wanita yang selalu mencarinya, masih datang sesekali waktu. Akan tetapi bukan Selena jika tidak pandai menghindar. Dengan bantuan Dimitri, kini pihak keamanan tidak akan pernah membiarkan wanita itu masuk ke dalam gedung, walau hanya sekedar menunggu di dalam lobby. Akan tetapi, sekeras apapun usaha pengusiran dari security, wanita itu tetap datang meski harus menunggu di luar gedung.
Begitu giginya perempuan itu, hingga membuat Raymond menemani wanita paruh baya itu untuk sekedar mengobrol. Itu juga jika ia sedang berada di Jakarta. Hingga pada suatu hari keluarlah surat larangan untuk seluruh karyawan In One TV untuk berhubungan dengan wanita tersebut. Hanya berbicara, atau memberikan bantuan, akan menerima sanksi yang cukup keras.
"Apa susahnya sih bagi Selena untuk menemui wanita itu? Paling juga tante itu cuma mau ngomong sebentar," tanya Sonia kesal.
"Jangan ikut campur urusan orang," jawab Raymond.
"Ini sudah hampir setahun dan itu tante masih selalu datang. Ya, memang ga setiap minggu sekali, tetapi dalam sebulan dia bisa datang 2 sampai 3 kali. Kalau liat umurnya yang tidak muda lagi, masa Selena ga punya hati untuk menemuinya sebentar aja?" kata Sonia.
"Udah, males ah, dari pada dengerin lo ngegosip, lebih baik gue naik ke atas," jawab Raymond
"Sayur lagi?"
"Ya apalagi? Urusan gue di atas ya cuma sayur," jawab Raymond.
"Udah malem, Mon. Mending lo anter gue pulang, nanti gue traktir makan malem deh,"ajak Sonia sambil memegang tangan Raymond.
"Sayur gue di atas ga ada yang ngurus selama gue di hutan. Kalau airnya habis, bisa gagal panen," jawab Raymond.
"Lu sih repot-repot piara sayur di rooftop, terus hasilnya dibagi-bagi pula ke orang-orang kantor," kata Sonia protes.
"Ya daripada gue melakukan yang ngga-ngga."
"Tapi ini udah malem banget, Mon. Hati-hati angin, ntar lo sakit."
"Iya, cerewet, udah pulang sana," jawab Raymond sambil beranjak pergi.
Kantor In One TV memang mewah, tetapi tidak ada sudut ruang di bangunan itu yang membuat Raymond betah, kecuali di lantai atap. Sepi, tidak banyak orang, hanya sesekali pegawai yang melakukan perawatan gedung dan memperbaiki instalasi pemancar. Tanaman sayur hanyalah alasannya agar Raymond dapat menghabiskan waktu berjam-jam di atap. Dan seperti biasa, jika Dimitri tahu, maka habislah riwayat Raymond beserta dengan seluruh sayur-sayurnya. Apalagi jika bos kecil tahu, Raymond menggunakan air dari tanki atap untuk mengairi ladang kecilnya, sudah pasti terjadi keributan. Untungnya, karena seluruh karyawan menikmati hasil sayuran Raymond secara gratis, maka mereka ikut membantu menyembunyikan kegiatan Raymond tersebut.
"Hei, hijau-hijau...maaf ya uda seminggu ga ke sini. Ini Gue isiin lagi, air nutrisi supaya kalian seneng," kata Raymond menyapa peliharaannya sambil mengambil gayung dan ember berisi tampungan air.
Setelah mengurusi semua tanamannya, menambah air dan nutrisi, Raymond duduk sebentar menikmati malam. Walaupun ia benci dengan kota Jakarta dan segudang polusinya, tetapi jika diperhatikan, pemandangan lampu gedung perkantoran di tengah malam tidak tampak terlalu buruk. Walaupun bagi orang seperti Raymond pemandangan bulan dan bintang di pantai atau hutan terlihat jauh lebih indah.
"Ternyata kota ini masih sibuk sampai tengah malam, menyedihkan. Ayo pulang-pulang, sudah waktunya untuk istirahat," ujar Raymond sambil bersiap-siap untuk turun ke bawah.
Ketika langkanya hampir mendekati pintu, tiba-tiba Raymond melihat 2 sosok orang yang baru saja naik ke lantai atas.
"Dim, sakit...., Emang mau ngomong apa? Sampai harus ke sini?" kata suara perempuan yang terdengar seperti suara Selena.
"Selena, I can't stand it anymore. Kamu selalu ikut campur di semua urusan aku," jawab Dimitri dengan nada tinggi.
"You asked me to help you, in that case, bukannya kamu yang minta tolong aku buat beresin semua urusan itu?" tanya Selena heran.
"But..., but...., not like this. Papa tau semuanya, papa tau kalau kamu yang ngatur semuanya. Ga ada orang yang tahu urusan itu, selain kamu, Selena. So now tell me the truth, kamu bilang kan ke papa, kamu pasti ngadu kalau aku minta tolong kamu," kata Dimitri sambil merengut kerah baju Selena hingga hampir melukai lehernya.
"Dim, sakit..." teriak Selena.
"Mulai sekarang, jangan sekali-kali kamu ngadu-ngadu sama Papa mengenai kerjaan aku, aku ga suka!"
"Tapi, aku ga ngomong apa-apa sama Om Elio. Beneran, Dim."
"BOHONG KAMU!," teriak Dimitri sambil bersiap melayangkan telapak tangannya.
"Maaf...," sela Raymond sambil menangkap tangan Dimitri dari belakang.
Selena keget ketika mengetahui jika ada seseorang yang berada di atap dan menyaksikan pertengkarannya dengan Dimitri.
"Saya tidak akan ikut campur urusan Bapak, tapi jika sudah berkaitan dengan kekerasan, saya tidak bisa tinggal diam," jawab Raymond.
"Eh,Kuli, kamu pikir kamu ini siapa? Kamu harus sadar, kalau bukan karena bokab, kamu pasti uda busuk di jalanan!" bentak Dimitri.
"Dim cukup," sela Selena.
"Oh, jadi kamu lebih belain dia...? Selama ini aku yang selalu bantuin kamu, dan aku ga terima kamu belain kuli comberan ini...? Ok Selena, I'm done, mulai hari ini kita PUTUS!"
Dimitri segera berjalan meninggalkan lantai rooftop dan bergegas berjalan menuruni tangga.
"Dimitri...., tunggu Dim... !" teriak Selena sambil berusaha mengejar Dimitri.
Dengan refleks tangan Raymond segera mengambil lengan Selena, untuk mencegah kejadian yang lebih buruk terjadi.
"Biarkan dia mendinginkan kepalanya dahulu," kata Raymond.
Selena segera melepaskan genggaman tangan Raymond." Jangan ikut campur," jawab Selena segera melangkahkan kaki, berlari untuk mengejar Dimitri ke bawah.
"Jadi bos kecil putus ?" tanya Arya pada Raymond."Mana gue tahu, emang gue siapanya?" jawab Raymond mengalihkan topik pembicaraan."Kata anak-anak shift malem, mereka teriak-teriak berantem di rooftop gitu semalem. Eh, tapi kalau bener, lo yang paling seneng dong ya?" kata Arya sambil menyikut sahabatnya itu."Lah, apa urusannya sama gue?" jawab Raymond pura-pura bingung."Si bos kecil sih memang bukan urusan lu, tapi si mbaknya kan...ehm, ehm..""Ehm..ehm...apaan?""Gebetan lo...""Eh, siapa bilang?""Ya elah Mon, satu gedung In One TV juga tau, sejak si mbak itu masuk kerja di sini, lo uda naksir doi kan?""Eh, siapa bilang..?""Makanya lo mutusin Sonia, karena lo naksir dia kan? Sayang ya Mon, ternyata anak orang tajir. Kalau ga, pasti lo udah deketin dari dulu, sebelum doi jadian sama bos kecil.""Lo mabok ya? Udah ah, omongan lo makin ga nyambung. Kerja sana, gara-gara editan lo ga beres-beres, Pak Wahyu bisa marah lagi. Lo ga kasian sama kita-kita yang pasti kecepretan amarah jg
"Cepet amat? Uda balik lagi ke kantor?" tanya Pak Wahyu"Kan saya tinggal di Mess. Lagipula Mess karyawan kan deket banget dari kantor," jawab Raymond."O iya, gue lupa. Ini surat penugasan, ini kartu penanda jurnalistik, yang Arya gue titip di lo aja ya. Jangan sampe ilang, takutnya perlu. O ya, tadi Sandra sudah ngabarin, kayanya kalian nebeng pesawat TNI, mereka akan ngangkut barang dan alat-alat berat untuk bantu pencarian, sekalian juga ada beberapa reporter dari stasiun TV lain. Sekitar pukul lima sore pesawatnya akan terbang, jadi kamu coba telepon Arya, karena sebentar lagi mobil kantor bakal anterin kalian ke bandara. ""Baik, pak. O ya, reporter yang tugas bareng kita, apa sudah siap?" tanya Raymond memastikan."Oh, Selena, katanya sih dia lagi pulang ke apartemennya. Tapi sebentar lagi juga dia kesini lagi.""SELENA?" tanya Raymond kaget."Tadi Pak Dimitri yang menugaskan dia untuk pergi ke sana," jawab Pak Wahyu."Tapi, pak, seinget saya, Selena ga pernah ngeliput berita di
" Ray, Mas Arya!" sapa Selena yang sudah sampai duluan di bandara.Selena sudah rapi dengan seragam lengkap reporter In One TV. Kemeja berwana biru tua, celana panjang berwarna abu-abu muda, serta sepatu boots yang juga senada dengan celananya. Dengan koper kecil dan tas selempang kecil untuk membawa barang keperluannya. Rambut pendeknya sudah dijepit rapih ke belakang, agar tidak menutupi wajahnya yang putih dan bersih. Sedangkan Raymond dan Arya hanya memakai kaus dan celana panjang yang sudah sobek di bagian lututnya dengan ransel besar dan kumal di belakang punggung mereka."Anak news memang beda ya, bro. Kita serasa gembel kalau ada di sebelahnya," bisik Arya kepada Raymond."Hahaha," jawab Raymond menahan tawanya agar tidak terdengar Selena."Hai, Selena, sudah lama menunggu?"tanya Arya pada Selena."Lumayan, kira-kira setengah jam," jawab Selena."Maaf di jalan tadi sedikit macet," jawab Raymond."Ah, sudahlah, yang penting tidak terlambat. Ng... kalau semua sudah siap. Ayo, kit
"Belum ada kabar dari petugas tentang bagaimana nasib kita di sini," kata Raymond mengabarkan. "Sejak mendarat darurat 1 jam yang lalu, dan kini langit sudah mulai gelap, dan cuaca masih tidak bisa di andalkan. Sepertinya kita harus menginap di sini malam ini," lanjut Raymond."Mon, gue ga kuat... , perut gue sakit dan kayanya gue mulai menggigil," kata Arya sambil memegangi perutnya yang melilit."Tahan ya, Ri. Lo istirahat dulu aja, nanti gue coba hubungi pak Wahyu. Kita bisa atur lagi, apa lu bisa di anter ke kota, dipulangin ke Jakarta atau gimana. Yang jelas sekarang lo harus bertahan di sini. Nanti gue minta tolong dokter tentara buat ngeliat lo.""Thanks, Mon........eh, Selena mana?" tanya Arya."Lagi ngobrol sama Sersan Nando, dia lagi cari tahu tantang informasi pesawat dan lainnya, karena tadi sudah diumumkan, kalau diduga pesawatnya jatuh, walaupun belum diketemukan puingnya. Foto satelit juga tidak bisa diandalkan karena cuaca buruk ini. Tapi pada umumnya sih, Tim SAR dan t
Tidak lama setelah kapal mengarungi lautan, hujan kembali datang mengguyur . Angin yang tadi tampak reda dan tenang, kini mulai kembali mengamuk diiringi oleh gemuruh petir yang mulai datang menyambar."KITA HARUS KEMBALI KE PELABUHAN TERDEKAT," teriak salah satu awak kapal."SEMUA BERTAHAN DI POSISI MASING-MASING...JANGAN SAMPAI TERSAPU OMBAK..!""SIAP!"Suara angin menderu dan ombak yang meninggi sungguh menyeramkan. Kapal yang cukup besar ini mulai mengayun akibat gejolak ombak yang menggila. Seluruh kru berusaha untuk mengendalikan kapal, hanya saja alam selalu lebih kuat dari usaha manusia."Selena, kamu ga apa-apa?"Selena tidak menjawab, dan membuat Raymond khawatir."Kita harus segera keluar dari gudang ini, bahaya kalau tertimpa barang-barang," kata Raymond sambil menggandeng Selena untuk keluar dari dalam gudang.Kondisi semakin mencekam di gudang kapal, ketika semua peralatan berat mulai saling membentur satu dengan yang lainnya."Apa yang terjadi?," teriak Selena bingung."
"Cuit..cuit... ," suara burung yang menandakan matahari pagi telah terbit.Panas matahari yang menyinari pasir pantai membuat Selena mulai terbangun dari tidurnya. Matanya mulai terbuka perlahan-lahan dan betapa kegetnya Selena ketika ia menyadari dimana ia berada. Di mana ini? "Apa yang terjadi semalam?" tanya Selena dalam hati. Belum lagi kepalanya yang tiba-tiba terasa pening dan badannya penuh dengan luka memar di sekujur tubuhnya. Akan tetapi, hal paling mengagetkan Selena adalah ketika melihat Raymond tersungkur tak sadarkan diri disebelahnya."Ray, Ray,...." ujar Selena berusaha membangunkan Raymond.Raymond tidak menjawab panggilan Selena, dan membuat Selena semakin panik."RAY.... RAY.....," panggil Selena lebih keras, sambil menggoyang-goyangkan badan pria di sebelahnya."Nggggggg....." jawab Raymond menggoyangkan badannya, walau matanya masih menolak untuk terbuka.Suara Raymond cukup melegakan Selena. Setidaknya pria itu masih bisa mengeluarkan suara. "Syukurlah," kata yang
"Jadi, sekarang, yang paling penting adalah, kita harus cari tempat berteduh sebelum hujan datang," kata Raymond sambil menembus pepohonan.Selena merasa sangat bersalah, ia merasa sudah membuat begitu banyak kesulitan. Mulutnya tidak berani untuk mengeluarkan suara. Selena telah menciptakan nerakanya sendiri, bahkan dia ikut menyeret Raymond ke pulau ini. Selena sudah siap jika Raymond melampiaskan kemarahan padanya, karena ia memang patut untuk menerimanya."Hei..., hei..., Selena?" tanya Raymond sambil mengibaskan telapak tangannya ke depan mata Selena yang tampak kosong."Ii..ya...?""Kamu baik-baik saja? Apa kamu sakit? Lelah?" tanya Raymond kembali."Oh...tidak...ayo kita lanjutkan!""Kamu yakin, kamu tidak bicara apapun sejak tadi, Apa kamu benar-benar baik-baik saja? Atau mungkin lapar?" tanya Raymond penasaran."Aku baik-baik saja, jangan khawatir," jawab Selena."Maaf, sepertinya hari ini, kita hanya akan bergantung pada buah kelapa dari pinggir pantai. Biasanya kita bisa ber
Jalan-jalan di hutan dengan kondisi cuaca seperti ini merupakan titik terendah hidup Selena. Selena mengira ketika ayahnya pergi meninggalkannya adalah titik terburuk dalam hidupnya. Tetapi sekarang ia menyadari, kalau berurusan dengan alam yang mengamuk adalah hal yang paling buruk yang dapat terjadi pada seorang manusia. Sedikit saja lengah, Selena akan kehilangan nyawa begitu saja.Tubuhnya tidak berhenti mengigil, dinginnya angin dan hujan sudah terasa seperti pisau yang menusuk-nusuk tepat di jantungnya. Bibirnya mulai membiru, dan sepertinya sebentar lagi tubuh Selena akan segera menyerah kalah. Ketika langkahnya sudah terasa sangat amat berat, Raymond kembali menepuk-nepuk pipinya dan mengembalikan sedikit kesadarannya.Keadaan Raymond pun tidak jauh berbeda dengan Selena. Hanya mungkin Raymond sudah lebih berpengalaman dengan kondisi seperti ini daripada dirinya. Jika terjadi sesuatu pada Selena, jika ia kehilangan kesadaran, maka Raymond sudah bersiap untuk memapah atau mengge