“Lis, sarapan apa pagi ini?” tanya mertuaku yang baru saja memasuki area dapur. Bersama dengan Hannah tentu saja.
“Nabil request nasi goreng mentega.” Aku membuat sarapan yang mudah saja. Selain tidurku semalam sama sekali tak nyenyak—aku terus memikirkan Mas Hanung. Aku juga ada pertemuan dengan salah satu pelanggan yang ingin memesan kebaya untuk acara lamarannya.
“Astaga, Mbak,” kata Hannah dengan nada jengkel. “Masa sarapan nasi goreng saja? enggak bisa buat yang lain? Sandwich isi daging, kek. Roti panggang, kek. Enggak selera banget pagi hari makan nasi goreng.”
Aku berusaha sabar, selain menjaga moodku tetap baik, aku tak ingin terlalu lama berdebat dengan mereka. “Kalau kamu mau, kamu bisa buat sendiri. bahannya ada di dapur. Aku enggak sempat.”
“Sibuk banget kamu?” tanya mertuaku sembari menarik kursi makan dengan kasar. “Ibu mertua datang berkunjung bukannya disa
“Papa?”Aku sama sekali tak menyangka jika ayahku datang berkunjung dan juga tanpa pemberitahuan. Jantungku serasa mencelus. Tadi ... apa beliau mendengar semua? Sejak kapan beliau ada di sini? Apakah sejak aku mulai menceritakan tentang Hanung ke Bu Ningsih?Ayah berdiri di depan pintu ruang tamu, kedua tangannya terlipat di dada. Satu-satunya hal yang kini mengusikku—beliau berdiri dan menatapku dengan tatapan yang tak bisa kutebak. Ada kekhawatiran. Ada kemarahan. Ada juga rasa sakit yang seolah tak sanggup lagi beliau sembunyikan.Aku refleks berdiri namun sayangnya, tindakanku ini ada yang mendahului.“Saya rasa pembicaraan kita cukup sampai di sini, Bu Lisa,” kata Ningsih dengan santun. Ucapannya barusan membuat aku menoleh dan meski sedikit bingung, aku tetap menghadirkan senyum ramah.“Oh, baiklah.”“Akan saya informasikan lebih jauh, apa yang perlu Ibu lakukan untuk langkah selanjutnya
Aku duduk di dalam mobil, menggenggam ponsel erat-erat. Jemariku gemetar, bukan karena takut, tapi karena semua ini terasa terlalu berat. Sayangnya ini salah satu dari sekian banyak hal yang harus kulakukan. Anas duduk di kursi pengemudi, menatapku dari kaca spion dengan ragu-ragu."Bu Lisa," katanya pelan. "Saya sudah pasang alatnya tadi siang. Di bagian bawah dekat ban belakang."Aku menarik napas panjang. "Kamu pastikan ini aman, Nas?"Anas mengangguk, meski kulihat ada sedikit keraguan di matanya. "Alatnya kecil, Bu. Pakai magnet kuat, dan sinyalnya langsung ke ponsel Ibu. Cuma Ibu yang punya akses aplikasinya.”Sekali lagi aku menatap ponsel yang kini berisi aplikasi pelacak untuk mobil Mas Hanung. Entah langkah ini tepat kulakukan atau nantinya menjadi bumerang, aku tak yakin. Tapi satu-satunya hal yang ingin aku tegaskan, aku harus tahu pergerakan suamiku. Agar bisa mengumpulkan banyak bukti, apa yang sesungguhnya dia lakukan di belakangku.
“Kamu enggak seharusnya memperlakukan Hannah seperti itu, Dek!”Aku menatap Mas Hanung dengan sorot tak percaya. Padahal aku sudah menjelaskan apa yang terjadi tapi ternyata dia tak pernah berniat membelaku. Berbeda saat dulu Hannah berbuat ulah yang merugikan, terutama untukku, Mas Hanung adalah garda terdepan yang akan membelaku.Ke mana perginya suamiku itu? Entah apa yang merasuki Mas Hanung sampai membutakan pengamatannya seperti itu.“Mas, aku memperlakukan Hannah sesuai tindakannya,” kataku, berusaha menahan getar di suaraku. Tanganku terkepal kuat menahan gelombang emosi yang mulai membesar. Siap meledak kapan pun. “Dia mengambil uang di butik, Mas. Tanpa izin. Dan itu bukan jumlah kecil. Ditambah lagi dia seenaknya memakai barang pribadi aku.”“Itu kan cuma tas!” sergah Mas Hanung. “Dan soal uang, Hannah pasti cuma pinjam. Kamu aja yang keburu marah duluan.”Aku terkekeh pelan, su
Tarik napas yang dalam, embuskan perlahan, sembari terus menerus mengucap kata sabar. Itu yang aku lakukan sepanjang langkah memasuki rumah. Aku tak terlalu memedulikan sambutan Minah, hanya mendengar sepintas lalu jika ada tamu datang berkunjung. Entah siapa yang datang, aku hanya ingin bertemu Hannah.Setelahnya, kuurus tamu yang datang meski sedikit terlambat.Kekesalanku sudah memuncak. Dari rekaman CCTV di ruang kasir, Hannah sedikit memaksa karyawanku untuk membuka mesin kasir. Lantas tampak memarahi mereka seolah Hannah adalah pemilik serta orang yang menggaji para staf di butik. Meski aku yang menggaji mereka, aku belum pernah memarahi sampai menuding mereka seenaknya seperti Hannah.Adik iparku itu benar-benar keterlaluan.“Assalamualaikum,” sapaku begitu memasuki ruang tamu. Kulihat ibu mertuaku tampak bersantai memainkan ponselnya. Di meja, beberapa camilan menemani saat santainya itu.Ibu mertuaku melirik tajam. “Kamu
“Anas,” kataku dengan sedikit penekanan. “Kamu enggak perlu menyembunyikan sesuatu.” Aku menatapnya sedikit tajam tapi masih berusaha santai agar orang kepercayaan suamiku ini, bisa mengatakan hal yang dia sembunyikan.Aku percaya, Anas mengetahui sesuatu.“Tapi apa yang saya katakan, itu kenyataannya, Bu.” Dia tertunduk. Aku jadi agak geram dan membuatnya tersentak lantaran tangan ini refleks memukul meja.“Maaf.” Aku menghela penuh frustrasi. “Saya benar-benar pengin tahu tentang Bapak, Nas.”Anas akhirnya menatapku. Ada yang berbeda dengan tatapan pemuda itu padaku. Seolah sedikit mengasihaniku padahal aku tak ingin itu terjadi. Karena itu juga, aku memalingkan pandangan ke arah lain.“Saya ingin kamu jujur. Seandainya kecurigaan saya benar, saya ... berusaha menerima.”Aku dengar Anas menghela panjang. Dari ekor mataku bisa terlihat dia kebingungan. Di satu sisi aku
“Kamu yakin sudah baik-baik saja, Lis?” tanya Winda dengan nada dan raut khawatir yang tak bisa dia sembunyikan. Saat aku diantar ke rumah sakit, Winda-lah yang paling banyak membantu. Sayangnya ia tak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Begitu aku mendapatkan perawatan, tak lama Mas Hanung dan wanita itu datang.“Menurutmu?” tanyaku sembari mengambil buah potong yang ia sajikan untukku. Siang ini dia mengunjungiku di rumah. Katanya dapat izin cuti setengah hari yang dia pergunakan untuk memastikan, apakah aku sudah jauh lebih baik atau belum.“Entahlah, sehat di luar belum tentu sehat di dalam.” Winda menyeringai. “Aku boleh menebak sesuatu?”Tatapanku tertuju pada Winda yang kini menatapku lekat.“Wanita itu yang orangnya?”Aku mengangguk tanpa perlu mengatakan banyak hal.“Enggak tahu diri.”“Kalau tahu diri namanya bukan pel4kor, Win.”