Share

8. Neraka dunia

Cklek!

Hari sudah larut. Ron membuka pintu perlahan, kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan kecil tempat ia mengurung Rin.

Tak tega melihat Rin yang terus diikat sepanjang hari, Ron pun berbaik hati melepas ikatan tali yang membelit tangan serta kaki Rin dengan kencang.

Pria itu menatap sejenak mata bengkak Rin, kemudian mengusap lembut pipi Rin yang masih basah.

Ron mengangkat tubuh mungil Rin dan memindahkan gadis itu menuju salah satu kamar kosong yang berada dalam rumahnya.

Rin yang sudah lemas karena kelelahan menangis dan kelaparan, tak terbangun sedetikpun saat dirinya dipindahkan oleh Ron ruangan lain.

"Kenapa harus kau?" gumam Ron mulai berbelas kasih pada gadis kecil yang sudah menjadi pelampiasan amarahnya itu.

Pria itu mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Rin di kampus beberapa hari yang lalu saat terjadi keributan di laboratorium universitas.

"Kau sudah menyelesaikan masalah laboratorium? Atau kau membiarkan dirimu menjadi kambing hitam?" gumam Ron lagi.

"Maaf sudah melibatkanmu dalam masalah ini," imbuhnya.

"Kakak!" Tiba-tiba Rin memekik kencang dan terbangun dari tidurnya.

Masih dengan mata tertutup, gadis itu memeluk Ron dengan erat, mengira pria yang ada di hadapannya itu adalah Ren.

"Kemana saja Kakak pergi? Kenapa Kakak meninggalkan aku sendiri? Aku ketakutan, Ren!" rengek Rin kembali bercucuran air mata dalam pelukan Ron.

"Kenapa kau tega sekali meninggalkanku? Apa yang kau lakukan di luar sana? Kau bukan pembunuh, kan? Kau bukan pembunuh! Kau tidak melakukan hal kejam seperti itu, kan?" omel Rin sembari memukul-mukul dada bidang Ron.

"Kau tahu apa yang terjadi padaku karena ulahmu? Aku menunggumu berhari-hari, tapi kau tidak juga pulang!" Rin terus saja mengoceh dan belum menyadari karena pria yang mendengarkan keluh kesahnya adalah orang yang menyekapnya.

"Kenapa kau diam saja? Kau tidak ingin menjelaskan sesuatu?" Perlahan Rin mulai merenggangkan pelukannya dan menatap wajah pria yang dipeluknya.

Manik mata Rin membulat lebar seketika, saat dirinya beradu pandang dengan pria garang yang mengurungnya.

Gadis itu segera menjauh ke tepi ranjang dan menundukkan kepala dalam-dalam dengan tubuh gemetar ketakutan.

Ron menatap Rin dengan ekspresi datar dan melihat jelas tubuh gemetar gadis mungil itu.

Tanpa mengatakan apapun, Ron berlalu begitu saja meninggalkan kamar Rin dan menutup pintu rapat-rapat.

Gadis itu mulai bernafas lega, begitu sosok Ron menghilang dari hadapannya.

"Fiuh, hampir saja jantungku rontok!" gumam Rin dengan kelegaan luar biasa.

"Ikatan di kaki dan tanganku sudah hilang?" Rin baru menyadari dirinya sudah terlepas dari lilitan tali.

Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mendapati ruangan asing yang jauh berbeda dengan ruangan tempat ia disekap sebelumnya.

"Aku sudah dipindahkan?" oceh Rin.

Rin beranjak dari ranjang, kemudian berlari ke pintu keluar kamar. Sayangnya, Ron sudah mengunci pintu tersebut dan menjadikan kamar itu sebagai tempat untuk mengurung Rin.

"Sial!" umpat Rin sembari berdecak kesal.

Gadis itu berlarian ke sekeliling ruangan dan mencari celah untuk dapat keluar dari kamar yang sudah memenjarakannya itu.

Rin mendekati jendela, namun sayangnya jendela yang terdapat di kamar itu telah dipasangi ukiran besi.

"Bagaimana aku bisa membuka jendela ini?" gerutu Rin kesal.

Kini Rin berlarian ke kamar mandi. Gadis itu menemukan jendela kecil, namun lagi-lagi terdapat ukiran besi dibalik kaca mini itu.

"Sial! Sial! Sial! Bagaimana aku bisa keluar dari sini?" umpat Rin makin kesal dan geram.

Adik dari Ren itu masih terus berkeliling ruangan dan mengamati dengan seksama setiap sudut kamar itu.

"Ayolah, Rin! Berpikir! Gunakan cara jitu untuk keluar dari sini!" gumam Rin mencoba berkonsentrasi.

Gadis itu mengacak rambutnya dengan kesal, tanpa berhasil menemukan ide apapun untuk melarikan diri dari kurungan Ron.

"Kenapa aku tidak terlahir sebagai gadis jenius?" gerutu Rin dengan frustasi.

Krukkkk!

Suara perut Rin yang keroncongan, ikut menambah rasa frustasi gadis berambut panjang itu.

Wajah Rin perlahan memucat dan tubuhnya mulai lemas karena seharian penuh belum meneguk satu tetes air maupun menelan satu butir nasi.

Rin merebahkan diri ke atas ranjang dengan tubuh lesu. Pikiran gadis itu mulai penuh dengan donat, pisang, sayap ayam, dan berbagai jenis makanan yang membuatnya semakin lapar.

"Mie instan," gumam Rin lirih.

"Mie instan juga tidak apa-apa, asal aku bisa makan ...." oceh gadis itu mulai tak sanggup menahan rasa lapar serta hausnya.

"Apa aku akan mati kelaparan di sini? Jika kau harus mati, aku ingin dalam keadaan kenyang," gerutu Rin pasrah.

Gadis itu menatap nanar langit kamar tempatnya terpenjara. "Apa sekarang ... aku sudah menjadi tawanan?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status