Bab 13 : Kepindahan Harun
"Bang!" Rubi yang datang dari dalam langsung menyapa Harun dengan wajah semringah. Entah mengapa setiap kali lelaki itu hadir, hatinya terasa penuh bunga-bunga yang bermekaran. Di mata Rubi lelaki itu hari ini tampak semakin gagah dan tampan saja dengan kemeja berwarna abu tua serta celana berwarna hitam.
Netra Harun teralih ke arah Rubi. Ia pun tersenyum canggung.
"Pa ...." Rubi mendorong kursi roda sang ayah agar lebih dekat dengan set sofa, "Ingat Bang Harun yang keluarganya nolongin aku?" tanyanya pada lelaki tua yang kini berada di kursi roda dengan bibir sebelah kirinya yang agak terturun—bell palsy— disebabkan stroke yang dideritanya beberapa waktu lalu.
Orang tua itu mencoba tersenyum dan mengangguk. "I–iya, Papa ingat," sahutnya dengan cara yang tidak sempurna seperti sebelumnya.
Tubuh sebelah kiri Kristian menjadi kebas,
Bab 14 : Keseriusan RubiBaru saja Harun menjejakkan kakinya masuk ke dalam rumah dari pintu samping, tiba-tiba saja ia mendengar suara yang memanggil namanya."Bang Harun, baru pulang dari masjid?" tanya Rubi kepada lelaki yang mengenakan baju koko putih dengan kopiah hitam tersebut. Sosoknya tampak bercahaya dan bersahaja di mata wanita muda itu.Memang masjid tidak begitu jauh dari rumah Rubi. Tidak sampai lima menit jika berjalan kaki ke sana. Jadi, Harun tidak perlu menggunakan kendaraan untuk pergi ke sana jika waktu shalat tiba."Eh, iya, Rubi. Mencari saya?"Sebutan 'saya' dari Harun terasa tidak nyaman di telinga Rubi yang biasanya mendengar lelaki itu membasakan diri dengan sebutan 'Abang'. Hanya saja ia coba menepis rasa tidak nyamannya itu, mungkin Harun tidak enak dengan papanya, begitu pikir Rubi."Makan malam sudah siap. Ayo makan sama-sama!" a
Hari ini sesosok wanita tua, ia adalah seorang guru ngaji yang dikenal dengan sebutan Bi Lela memutuskan untuk menyuci pakaian di sebuah batu besar di tepi sungai. Sore itu sungai sudah surut setelah dua hari pasang. Saat ini memang musim penghujan, sehingga orang-orang malas ke sana sebab air sungai sering keruh akibat erosi dan sampah-sampah bekas pepohonan dari hulu.Tanpa sengaja mata tuanya yang mulai kabur itu menangkap sesuatu tersangkut di bebatuan bertumpuk dengan ranting-ranting pohon. Benda itu tidak jauh dari tempat Bi Lela menyuci."Apa itu?" gumam Bi Lela. Hatinya bertanya-tanya.Kemudian wanita tua itu bangkit dan melangkah mendekati sesuatu yang tersangkut tersebut."Haa? Itu ... itu ... itu mayat?" Betapa terkejutnya Bi Lela. Ternyata benda itu adalah sesosok tubuh manusia. Kaki tuanya tiba-tiba terasa sedikit bergetar. Akan tetapi, dengan ragu-ragu ia terus mendekat sembari mencoba menili
Rubi dengan tatapan bingung memindai sekeliling. Tempat itu terlihat asing baginya. Tampak seorang wanita tua dengan rambut yang penuh helaian putih dan dua orang bocah kecil di hadapannya, laki-laki dan perempuan. Cahaya mentari yang redup masuk melalui sebuah jendela berdaun papan dan celah ventilasi di sana."Ini minum dulu, Neng," tawar Bi Lela sembari membantu Rubi untuk duduk. Ia lalu menyodorkan air minum ke mulut wanita cantik itu.Rubi meminum air yang disodorkan di depan bibirnya itu. Kerongkongannya memang terasa kering sekali."A–aku di mana?" tanya Rubi terbata kepada Bi Lela. Ia memegang dahinya sendiri. Kepalanya terasa pusing."Ini rumah Bibi, Neng ... panggil aja Bi Lela. Neng Bibi temukan di pinggir sungai di belakang sana," jelas Bi Lela kepada Rubi, "Neng namanya siapa?" lanjutnya bertanya.Pandangan mata Rubi tertunduk. Ia seperti berusaha mengingat-ingat. "Aku .
"Nisa sudah sadar dan sudah lebih dari sepekan di sini, Bi. Sebaiknya kita ke kepala desa biar ke kota untuk melaporkan ke polisi. Siapa tahu, bisa menemukan keluarganya," kata Harun tampak serius. Mereka memberi nama Nisa kepada Rubi, karena hingga saat ini wanita muda itu belum juga dapat mengingat siapa dirinya.Rubi di dalam kamar bersama dengan Azzam dan Nada. Kedua bocah itu sedang belajar menulis dibimbing olehnya. Di sela-sela mengajar Azzam, Rubi menajamkan telinga mendengar nama barunya disebut. Entah mengapa ada rasa sedih yang menerpa ketika mendengar Harun ingin melaporkan keberadaan dirinya. Walau baru delapan hari ia di sana, tetapi sikap dan perlakuan keluarga Bi Lela sampai saat ini sangat membuatnya nyaman. Ia merasa berada di lingkungan keluarga sendiri.Di dalam hati bukan ia tidak mau tahu akan hakikat siapa dirinya yang sebenarnya. Akan tetapi, ada rasa takut kalau-kalau ia ternyata bukanlah berasal dari keluarga yang h
Hari berganti pekan, pekan pun berganti bulan. Waktu bergulir begitu saja, hingga tiada terasa sudah tiga bulan Rubi berada di rumah keluarga Harun.Sebenarnya Harun sudah melaporkan keberadaan wanita muda yang ia dan Bi Lela beri nama Nisa itu kepada kepala desa. Kabarnya kepala desa juga sudah melaporkan kepada pihak yang berwajib, bahwa Rubi ditemukan dalam keadaan hilang ingatan. Tidak ada tanda pengenal apa pun yang ada di dekatnya.Sementara itu, di kantor polisi sampai saat ini juga tidak mendapati adanya laporan kehilangan orang. Oleh karena itulah mereka masih menyarankan Rubi, untuk tetap tinggal bersama Bi Lela sebagai orang yang pertama kali menemukan.Rubi yang kini berhijab telah diambil fotonya dan disebar di setiap kantor polisi di wilayah Bekasi dan Bogor. Namun, belum juga ada kabar orang yang mengenali dirinya.Kristian Dirgantara sudah merelakan bahwa sang putri semata wayan
Setelah meminta bantuan tetangga yang merupakan penarik angkot, Harun dan Rubi pergi ke puskesmas terdekat. Melihat keadaan Nada, petugas puskesmas memberikan surat rujukan untuk bocah itu dibawa ke rumah sakit terdekat. Kembali Harun dan Nisa bersama Pak Daud—tetangga mereka—pergi menuju rumah sakit yang dimaksud."Dek Nada mesti dirawat, Pak. Hasil tes lab-nya positif terserang typus," ujar Dokter Dermawan kepada Harun."Ya Allah ...," gumam Harun lirih, "baik, Dok," lanjutnya pasrah."Oke kalau begitu," sahut Dokter spesialis anak tersebut, "Sus, tolong diurus!" perintahnya pada seorang perawat yang berdiri di sampingnya.Dokter pun pamit dan Harun mengurus administrasi untuk perawatan sang anak. Sementara Rubi, ia mengikuti brankar Nada yang dibawa ke ruang perawatan kelas tiga setelah Harun menentukan di ruang mana sang putri akan dirawat.Di tengah perjalanan menuju ruang
Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu."Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?""Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini."Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.Harun mengerutkan dahinya.Rubi masih
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.