Share

Bab 3 : Kegusaran Hati

"Nisa sudah sadar dan sudah lebih dari sepekan di sini, Bi. Sebaiknya kita ke kepala desa biar ke kota untuk melaporkan ke polisi. Siapa tahu, bisa menemukan keluarganya," kata Harun tampak serius. Mereka memberi nama Nisa kepada Rubi, karena hingga saat ini wanita muda itu belum juga dapat mengingat siapa dirinya.

Rubi di dalam kamar bersama dengan Azzam dan Nada. Kedua bocah itu sedang belajar menulis dibimbing olehnya. Di sela-sela mengajar Azzam, Rubi menajamkan telinga mendengar nama barunya disebut. Entah mengapa ada rasa sedih yang menerpa ketika mendengar Harun ingin melaporkan keberadaan dirinya. Walau baru delapan hari ia di sana, tetapi sikap dan perlakuan keluarga Bi Lela sampai saat ini sangat membuatnya nyaman. Ia merasa berada di lingkungan keluarga sendiri.

Di dalam hati bukan ia tidak mau tahu akan hakikat siapa dirinya yang sebenarnya. Akan tetapi, ada rasa takut kalau-kalau ia ternyata bukanlah berasal dari keluarga yang hangat dan menyenangkan seperti di rumah itu. 

Walau sederhana, rumah dengan tiga kamar berukuran kecil tersebut terasa nyaman dan tentram bagi Rubi. Di situ ia diajarkan dengan sangat telaten tentang shalat, berjilbab, dan mengaji. 

Setiap pagi hari pukul sembilan ada lima sampai enam orang rutin datang dan belajar mengaji dibimbing oleh Bi Lela. Ia pun ikut serta belajar bersama bocah-bocah kecil itu. Walau sepi, orang-orang di desa itu cukup ramah kepadanya. Paling hanya satu atau dua orang yang memandangnya sinis karena seperti cemburu akan keberadaannya di dekat Harun yang merupakan duda tampan.

Di lubuk hatinya, Rubi juga merasa kagum kepada pria gagah dan manis itu. Walaupun seorang lelaki, Harun mengurus kedua anaknya dengan telaten. Dari memasakkan mereka setiap pagi untuk sarapan, terkadang ia juga memandikan Azzam yang masih berumur empat tahun itu. Setelahnya baru ia berangkat kerja mengurus tambak ikan kepunyaan Juragan Karsa di sana. Tanggungjawabnya sebagai seorang ayah dan kepala keluarga sangat baik. Bahkan Bi Lela pernah bilang, ia begitu bangga dengan keponakannya satu itu. 

"Kita bilang dulu ke Nisa, Run," sahut Bi Lela, "Neng Nisaaa!" panggilnya pada Rubi.

Rubi yang tanpa sengaja tengah menguping pembicaraan pun sedikit tersentak. "I-iya, Bi!" sahutnya gugup.

"Sini, Neng!" 

Rubi pun bangkit dari duduknya di lantai. "Bi Nisa ke sana dulu. Azzam sama Nada lanjutkan nulisnya, ya!" suruhnya pada kedua bocah di hadapannya. 

"Oke," sahut Azzam tampak serius menyatukan garis pada titik-titik yang dibuat oleh Rubi membentuk huruf-huruf alfabet.

Sementara Nada, gadis kecil pendiam itu hanya mengangguk sembari terus menulis di buku di atas meja kecilnya. Ia sudah hafal dan lancar dalam menulis. 

"Ada apa, Bi?" Manik indah Rubi menatap Bi Lela dan Harun bergiliran. 

"Sini, Neng, duduk dekat Bibi!" Bi Lela menepuk kursi kayu panjang yang ia duduki.

Rubi pun mendekat dan mendaratkan bokongnya ke kursi tersebut. Detak jantungnya bekerja lebih kencang. 

"Rencananya Harun mau mendatangi kepala desa. Biar buat laporan ke polisi tentang Neng Nisa."

"Kapan, Bang?" tanya Rubi kepada Harun yang kini sudah terbiasa ia panggil dengan 'Abang'.

"Besok atau lusa. Bagaimana menurut kamu, Nis?" tanya Harun sembari merendahkan padangan matanya. 

Selama Rubi di sana, jarang sekali lelaki itu menatap langsung ke netra bening wanita tersebut. Jika tidak sengaja beradu pandang, ia merasa ada suatu getaran yang aneh menjalar di dalam dirinya. Mungkin karena sudah lama tidak sedekat itu dengan seorang wanita. Apa lagi mereka satu rumah kini.

"A-aku belum siap, Bang," ucap Rubi seraya menatap wajah Harun lekat dan pelas.

Harun mengangkat pandangan sebentar. Ada kegelisahan di sorot mata wanita cantik yang kini berhijab itu.

"Kenapa?" tanya Harun heran.

Rubi menggelengkan kepala pelan dan bibir merah mudanya mencebik sedikit. "Aku belum siap aja," ujarnya dengan perasaan bingung.

"Tetangga sudah mulai membicarakan, Nis. Soalnya kita bukan mahram." Harun menautkan jemari kedua tangannya.

"Sebenarnya yang heboh itu cuma si Emah sama si Nunung aja, Run! Karena mereka cemburu dengan Nisa. Yang lain, mah, gak masalah!" cibir Bi Lela.

Emah adalah seorang janda beranak satu. Dicerai karena sering membantah suaminya. Nunung adalah gadis yang dulu pernah ketahuan melakukan hubungan mesum dengan seorang mandor kebun jati yang telah beristri. Nunung pernah dilabrak oleh istri sang mandor, sampai dipermalukan di hadapan masyarakat. Sang mandor akhirnya dipecat. Hubungan terlarang keduanya pun berakhir.

"Tapi, apa kamu gak mau tahu tentang siapa keluargamu sebenarnya?" kilah Harun. Sebenarnya ia memang merasa tidak nyaman dengan keberadaan Rubi di rumah itu. 

Rubi begitu cantik dan itu sedikit mengusik hati Harun. Bahkan Rubi semakin hari semakin nampak akrab dengan anak-anaknya. Lelaki itu khawatir kalau-kalau wanita yang mereka namai Nisa itu sebenarnya adalah istri dari seorang pria. Bahkan mungkin seorang ibu. Karena tampaknya usia wanita itu sekitar dua puluh empat atau dua puluh lima, menurut penilaiannya. Padahal sebenarnya usia Rubi sudah dua puluh sembilan tahun, memang ia tampak awet muda dibanding usia sebenarnya.

Harun sendiri merasa belum siap untuk kembali membuka hati. Sofia masih bertahta seorang diri di dalam atma sang duda beranak dua itu. Meski hanya tiga tahunan bersama, kenangan bersama sang istri tercinta begitu melekat. Sofia ialah cinta pertamanya.

"Bukan ... bukan begitu, Bang. Aku hanya takut ...." Omongan Rubi tergantung.

"Takut apa, Neng?" tanya Bi Lela sembari menyentuh lembut pundak wanita cantik itu.

"Bi, aku mau di sini dulu. Please ... beri aku sedikit waktu lagi," ucap Rubi menatap sendu ke arah Bi Lela.

Harun menghela napas berat. 

Bi Lela menatap pria itu dengan sorot memohon. Walau bagaimanapun, Harun adalah seorang lelaki. Ia kepala keluarga di rumah itu. 

Harun melihat ke arah Rubi yang sengaja mengalihkan pandangan darinya. Lelaki itu melipat bibirnya, kemudian bangkit dan memasuki kamarnya. 

Setelah pintu kamar kecil itu tertutup, barulah Rubi mengarahkan pandangan ke sana. "Bang Harun marah, Bi?" tanya wanita itu kepada Bi Lela.

"Harun gak marah. Tenang aja," ujar Bi Lela menenangkan Rubi, "nanti Bibi bicara lagi sama Harun," lanjut orang tua itu.

"Maaf kalau aku sudah banyak merepotkan di rumah ini, Bi," ucap Rubi menyesal. 

"Bibi senang, kok, Eneng di sini." Seulas senyum tulus teruntai di bibir Bi Lela. Senyum itu mengundang kehangatan yang menjalar di relung wanita muda di hadapannya.

Walaupun ada sedikit rasa tidak nyaman karena sudah merepotkan dengan keberadaannya di situ. Rubi merasa lega karena ia merasa Bi Lela dan dua bocah yang ada di sana menerimanya dengan tulus. Hanya Harun saja yang tampak gusar dengan kehadirannya. Hal itu dapat ia rasakan dengan sikap dingin lelaki itu terhadapnya selama ini.

"Bi! Aku sudah selesai nulisnya!" Azzam berlari menuju ruang tamu rumah itu, mendatangi Rubi dan Bi Lela.

"Aku juga!" Nada menyusul menunjukkan hasil kerjanya.

Rubi menyambut buku-buku yang disodorkan kedua bocah kecil itu dengan senyum semringah. "Bagus sekali!" pujinya. Wanita itu membentang kedua tangannya.

Kedua bocah kecil tersebut menghambur memeluk Rubi. Bi Lela membelai rambut Nada yang selama ini pendiam, kini tampak mulai banyak bicara semenjak kehadiran Rubi.

Tanpa disadari keempat orang itu, ada sepasang mata yang melihat dengan sorot gusar akan kebersamaan di hadapannya. Harun tidak sengaja melihat kehangatan itu ketika membuka pintu kamar. Ia ingin ke belakang tadinya, tetapi akhirnya ia urungkan dan kembali menutup pintu.

***

"Abang tumben pergi kerjanya awal begini?" Emah tersenyum menggoda ke arah Harun sembari menyodorkan sepiring pisang goreng.

"Eh, iya ini," sahut Harun tak mau berbasa-basi. Ia hanya menarik sedikit kedua ujung bibirnya ke atas.

"Azzam! Jangan lari-larian! Nanti ja–" Rubi yang tadinya melangkah cepat mengejar Azzam yang habis mandi, langsung melambatkan kakinya ketika netra beningnya berserobok dengan mata Emah yang menyorot tajam ke arahnya.

"Tunggu sebentar ya, Mah," ujar Harun sembari meraih piring berisi pisang goreng yang diberikan oleh Emah.

Emah kembali tersenyum menggoda setelah tadi sebentar ujung-ujung bibirnya terturun melihat Rubi. "Iya, Pah," balasnya dengan berbisik.

Harun kemudian berbalik, ia tidak mendengar jawaban Emah yang menyebut dirinya 'Pah'. Pria gagah itu melirik sebentar ke arah Rubi yang tengah memegang handuk. Lelaki itu lalu melanjutkan langkahnya menuju belakang.

Rubi yang sudah tahu gelagat Emah beberapa hari ini, sama sekali tidak mau bersikap ramah. Ia beberapa kali mendapati Emah menjelek-jelekkannya di hadapan masyarakat sekitar.

"Eh, Emah ...!" Tiba-tiba muncul Bi Lela dari luar rumah, wanita tua itu baru pulang dari berbelanja di warung, "ada apa?"

"Eh, Bi. Gak ada apa-apa, cuma nganterin pisang goreng buatanku. Bang Harun lagi ke belakang nukar piring," jawab Emah.

"Wah, makasih banyak, ya!" ucap Bi Lela.

"Bi, dia masih di sini aja? Mau berapa lama?" tanya Emah sinis sembari melirik Rubi yang mengelap-elap kepala Azzam yang basah dengan handuk.

Bi Lela hanya menjawab dengan melempar senyum yang dipaksakan. "Eh, si Zaki kemarin mukulin Santi, anak Ani," ujar Bi Lela mengalihkan pembicaraan, "bilangin anakmu, kasihan anak orang tangannya lebam kemarin," lanjut Bi Lela. 

Zaki adalah anak dari Emah yang memang terkenal badung. Emah pun tersenyum kecut menanggapi Bi Lela. "Iya, Bi," sahutnya dengan wajah yang memerah.

"Ini piringnya, Emah. Makasih." Harun keluar dari dapur dan menyerahkan piring Emah, lalu ia melangkah ke luar rumah.

Emah menyambut piring tersebut. "Iya, Bang. Sama-sa–" Omongannya terpotong karena melihat Harun yang tidak menghiraukannya.

"Aku berangkat dulu, Bi. Assalamualaikum!" Harun langsung pergi meninggalkan rumah.

"Wa 'alaikumus salam warahmatullahi wa barakatuh," jawab Bi Lela.

Emah yang berharap mengobrol sebentar dengan Harun merasa kecewa. Ia menatap punggung Harun yang makin menjauh dengan nelangsa. Selama ini memang lelaki itu tidak pernah menganggapi perhatian darinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status