Share

Bab 4 : Nada Sakit

Hari berganti pekan, pekan pun berganti bulan. Waktu bergulir begitu saja, hingga tiada terasa sudah tiga bulan Rubi berada di rumah keluarga Harun. 

Sebenarnya Harun sudah melaporkan keberadaan wanita muda yang ia dan Bi Lela beri nama Nisa itu kepada kepala desa. Kabarnya kepala desa juga sudah melaporkan kepada pihak yang berwajib, bahwa Rubi ditemukan dalam keadaan hilang ingatan. Tidak ada tanda pengenal apa pun yang ada di dekatnya.

Sementara itu, di kantor polisi sampai saat ini juga tidak mendapati adanya laporan kehilangan orang. Oleh karena itulah mereka masih menyarankan Rubi, untuk tetap tinggal bersama Bi Lela sebagai orang yang pertama kali menemukan.

Rubi yang kini berhijab telah diambil fotonya dan disebar di setiap kantor polisi di wilayah Bekasi dan Bogor. Namun, belum juga ada kabar orang yang mengenali dirinya.

Kristian Dirgantara sudah merelakan bahwa sang putri semata wayang telah tewas, akibat kecelakaan yang menimpanya. Karena itulah lelaki berumur lebih dari enam puluh tahun tersebut tidak membuat laporan kehilangan ke kantor polisi. Walau hatinya masih belum sepenuhnya yakin karena mayat sang putri tidak ditemukan, tetapi akalnya menyatakan ia harus mengikhlaskan kepergian Rubi untuk selamanya.

***

"Gimana keadaan Nada, Bi?" tanya Harun khawatir.

Sudah dua hari ini badan putrinya panas. Lelaki itu jadi bimbang antara tetap di rumah atau pergi berangkat kerja. Hari kemarin ia sudah tidak bekerja. Ia khawatir Juragan Karsa akan marah, karena ia sangat memahami sifat bosnya itu.

"Ini turun panasnya, Run. Kamu pergi kerja aja sana," suruh Bi Lela.

"Iya, Bang. Biar aku dan Bi Lela yang jagain Nada." Rubi berusaha menenangkan Harun. 

Sudah dua malam Rubi menjaga Nada karena gadis kecil itu hanya ingin tidur bersamanya. Sesekali Rubi mengelapkan kain basah ke kepala si bocah dan juga lehernya yang panas.

Sorot kekhawatiran masih nampak jelas di netra hitam Harun. Akan tetapi, ia meyakinkan diri sendiri kalau sang putri akan aman bersama Rubi dan Bi Lela. "Baik. Abang pergi dulu, Nis. Titip Nada ya," ujarnya pada wanita jelita itu.

Rubi menarik kedua ujung bibirnya ke atas. "In syaa Allah, Bang," jawabnya.

Harun pun berbalik dan bersiap untuk pergi bekerja. 

"Eh, Bibi juga mau belanja dulu, nih!" ujar Bi Lela sembari menyambar kerudung coklat dan mengenakannya, lalu menyusul langkah Harun menuju luar rumah.

***

Sesampainya Harun di tambak Juragan Karsa, ia melihat lelaki berumur lebih dari setengah abad itu berdiri di pinggir sebuah kolam mengawasi salah seorang pekerjanya memberi makan ikan.

"Kamu kemarin kenapa gak kerja, Run?" tanya Juragan Karsa kepada Harun yang baru saja datang ke lokasi tambaknya itu.

"Maaf, Gan. Nada, anak saya sakit," jawab Harun sembari meraih bungkusan pelet untuk memberi makan ikan-ikan di tambak seperti biasanya.

"Nomor hape kamu kenapa gak aktif?" tanya Juragan Karsa lagi, "lain kali kasih kabar kalau memang gak masuk!" ujarnya dengan nada tidak senang. 

Selama ini Harun bekerja dengan sangat baik. Akan tetapi, Juragan Karsa ialah orang yang arogan dan perfeksionis kalau soal kedisiplinan para pekerjanya. 

"Maaf sekali lagi, Gan. Hape saya lagi diservis kemarin. Baru tadi malam saya ambil," jawab Harun lagi.

"Kamu, 'kan, bisa minjem hape tetangga kamu, kek. Siapa, kek!" sembur Juragan Karsa.

"Nomor Juragan saya tidak hafal dan ...."

"Halah! Banyak alasan aja kamu! Palingan kamu betah di rumah gara-gara perempuan yang kata orang namanya Nisa itu, 'kan?" tuduh Juragan Karsa.

Harun tersentak kaget. Gosip miring tentangnya dengan Rubi sudah sampai di telinga Juragan Karsa rupanya. Ia menghela napas berat.

"Kalau kamu begini sekali lagi, aku pecat kamu!" sergah Juragan Karsa tidak mau tahu, "sana kasih makan ikan-ikannya! Kolam di ujung sana siap panen, ajak si Maman angkut yang ukuran sekilo enam sampai tujuh ekor!" suruhnya lagi.

"Baik, Gan!" Harun pun segera berbalik dan melangkah menjauhi bos-nya yang tengah emosi tersebut.

*** 

Sinar sang bagaskara tidak begitu terik siang ini. Banyaknya awan putih berarak menutupi bintang terbesar di tata surya itu cukup membuat cuaca tidak terasa menyengat panasnya.

Harun dan Maman—teman kerjanya—tengah menyortir ikan-ikan yang akan dipanen dengan ukuran yang telah ditetapkan sang juragan. Seperti itulah pekerjaan sehari-hari Harun di tambak tersebut. Pekerjaan ini sudah ia tekuni selama lima tahun dan dengan bekerja di sanalah ia mendapat penghasilan untuk menafkahi keluarganya.

Bi Lela sendiri dengan mengajar ngaji sebenarnya mendapatkan upah dari orangtua para murid. Hanya saja Bi Lela tidak pernah menarik tarif dari itu, bahkan ada beberapa murid yang tidak membayar sama sekali. Wanita tua itu hanya ingin membagi sedikit ilmu dalam membaca Al Qur'an dan ia berharap banyak kalau dengan itu kelak Allah akan mencatat sebagai amalan jariyah yang tidak akan putus pahalanya walau sudah di alam kubur.

"Bang Harun!" panggil Anton, supir dari Juragan Karsa.

"Ya, ada apa, Nton?" tanya Harun masih sambil memilah dan memilih ikan-ikan dan menimbangnya.

"Ada perempuan cantik nyari Abang!" seru Anton sambil cengar-cengir, "kayaknya penting," lanjut lelaki berambut ikal tersebut.

"Perempuan cantik?" Alis Harun bertaut.

"Eh, Neng! Tunggu di luar!" 

Tiba-tiba terdengar suara Pak Bondan, bagian keamanan di tambak tersebut.

Mendengar suara Pak Bondan menegur seseorang, Harun dan Maman menoleh ke arah datangnya suara. 

Ternyata Rubi yang datang dan berlari mendatangi Harun. Ia tak menghiraukan panggilan Pak Bondan yang berlari kecil mengejarnya. "Neng, Neng gak boleh masuk ke sini!"

"Bang Harun!" panggil Rubi dengan wajah yang terlihat panik.

Harun bangkit dari duduknya dan menatap Rubi dengan heran. Pikirannya langsung ke putrinya, Nada. "Ada apa, Nis? Kok, ke sini?" tanyanya cemas.

"Bang! Badan Nada panasnya tinggi banget. Dia udah gemeteran!" Rubi menjelaskan dengan singkat keadaan putri Harun.

Benar saja perkiraan Harun. "Ya Allah! Ayo kita pulang!" Lelaki itu menyuci tangan sebentar, kemudian ia melangkah cepat dan Rubi pun menyusul Harun di belakangnya.

Belum sempat Harun dan Rubi keluar dari lokasi tambak, mereka berpapasan dengan Juragan Karsa yang baru saja tiba entah dari mana. "Eh, Run. Kamu mau ke mana?" Pandangan mata lelaki paruh baya itu bergiliran ke arah Harun dan Rubi yang ia belum kenal, "ini siapa?"

"Maaf, Gan. Saya harus pulang. Anak saya ...," omongan Harun tergantung. Sorot matanya khawatir sekaligus berharap sang juragan mau memaklumi.

"Kerjaan kamu sudah beres belum?" tanya Juragan Karsa lagi.

"Belum," jawab Harun singkat.

"Kalau gitu selesaikan dulu!" sergah Juragan Karsa sengit.

"Bang ... buruan," lirih suara Rubi berbicara kepada Harun.

Harun meliriknya sebentar, ia menangkap raut kekhawatiran di wajah Rubi. Kemudian pandangan matanya kembali ke arah bosnya yang tengah menatap tajam ke arah wanita itu. 

"Dia perempuan yang bernama Nisa?" tanya Juragan Karsa memastikan, "pantas saja kamu betah di rumah. Memang cantik sekali perempuan ini." Bibir lelaki tua itu menyeringai.

"Maaf, Gan. Saya harus pergi sekarang!" Harun melangkah hendak menjauh dari sana.

"Eh! Kamu seenaknya!" Juragan Karsa tampak semakin emosi.

Harun tak menghiraukan bosnya lagi, di dalam pikirannya kini hanya ada sang putri yang kini menunggunya di rumah.

Rubi berlari kecil berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Harun.

"Harun! Jangan lagi kamu kembali ke sini! Kamu aku pecat!" teriak Juragan Karsa dengan sorot mata penuh amarah.

Harun seakan menulikan telinganya. Ia terus saja berjalan menjauh.

Rubi menoleh sebentar ke arah belakang dan melihat Juragan Karsa yang tengah menendang pot bunga di dekatnya hingga pecah berderai. Ia lalu melanjutkan langkah kakinya cepat menyusul Harun dari belakang. 

"Berengsek!" maki Juragan Karsa seraya berkacak pinggang menatap kepergian Harun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status