Share

Bab 5 : Pertemuan

Setelah meminta bantuan tetangga yang merupakan penarik angkot, Harun dan Rubi pergi ke puskesmas terdekat. Melihat keadaan Nada, petugas puskesmas memberikan surat rujukan untuk bocah itu dibawa ke rumah sakit terdekat. Kembali Harun dan Nisa bersama Pak Daud—tetangga mereka—pergi menuju rumah sakit yang dimaksud.

"Dek Nada mesti dirawat, Pak. Hasil tes lab-nya positif terserang typus," ujar Dokter Dermawan kepada Harun.

"Ya Allah ...," gumam Harun lirih, "baik, Dok," lanjutnya pasrah.

"Oke kalau begitu," sahut Dokter spesialis anak tersebut, "Sus, tolong diurus!" perintahnya pada seorang perawat yang berdiri di sampingnya.

Dokter pun pamit dan Harun mengurus administrasi untuk perawatan sang anak. Sementara Rubi, ia mengikuti brankar Nada yang dibawa ke ruang perawatan kelas tiga setelah Harun menentukan di ruang mana sang putri akan dirawat.

Di tengah perjalanan menuju ruangan, ada sepasang mata menatap lekat ke arah Rubi.

"Bro, ntar ya! Gue ke sana dulu!" Sesosok lelaki yang menatap Rubi tersebut meninggalkan teman mengobrolnya dengan tiba-tiba, sampai yang teman terheran-heran. Pria itu lalu mengikuti Rubi tanpa sepengetahuan wanita muda itu.

Pria dengan kumis tipis di atas bibirnya itu terus mengamati gerak-gerik Rubi dengan intens. Ia yakin bahwa wanita yang kini berada beberapa meter di depannya itu adalah orang yang ia kenal.

"Tapi mengapa dia pakai kerudung ...?" bisiknya pada diri sendiri.

Ruang kelas tiga memang jauh dari kata eksklusif. Tidak seperti kelas dua dan satu, apalagi VIP tentu saja. Di sana terdapat empat brankar dalam satu ruang yang hanya disekat oleh tirai-tirai berwarna biru muda yang tidak begitu menutup seluruh tubuh pasien.

Pria yang tengah memperhatikan Rubi itu merogoh ponsel yang ada di dalam saku celana mahalnya. Kemudian jemarinya menari di atas layar tujuh inch tersebut, lalu meletakkan benda segi empat itu di telinganya.

***

Kristian Dirgantara tengah memimpin rapat di kantornya. Pertemuan itu hampir selesai, hanya tinggal penutupan saja. Tiba-tiba gawai pria tua itu bergetar.

"Oke, kita tutup rapat hari ini. Selamat bekerja," kata Kristian kepada para peserta rapat.

Kristian memberi isyarat kepada asistennya untuk melanjutkan sesi penutupan. Dia sendiri bangkit dan beranjak dari ruang tersebut sembari menggeser simbol hijau di ponselnya dengan jari.

"Hallo, Vicky? Ada apa?" tanyanya pada orang yang menelepon di seberang sana.

"Om! Aku ngeliat Rubi sekarang!" seru Vicky.

"Ap–apa?" Tiba-tiba degup jantung Kristian bertambah kencang, "ka–kamu yakin, Vick?" tanya lelaki tua itu gugup. Ada yang membuncah di dalam dadanya kini. Harap cemas menerpa bagai angin yang berembus kencang secara tiba-tiba di dalam hatinya.

"Hmmm ... sebentar, Om. Cek WA, aku kirim fotonya sekarang." Vicky yang tadi diam-diam mengambil gambar perempuan yang berada kira-kira enam meter di hadapannya kini memainkan jari di aplikasi berwarna hijau di ponselnya.

Dengan deru napas yang tiba-tiba tidak keruan, Kristian membuka pesan di WA. Dahinya seketika berkerut menatap dengan lebih teliti tiga foto yang baru saja dikirim calon menantunya itu.

"Menurut Om bagaimana?" tanya Vicky masih di saluran telepon selulernya.

Setelah beberapa detik melihat dan terdiam. Kristian berkata, "Itu Rubi."

Vicky mengangguk-angguk. Ia sendiri percaya dengan penglihatannya.

Tanpa sadar air mata menyeruak dari sudut netra tua Kristian, walaupun di foto wanita muda itu menggunakan kerudung, ia tahu dan sangat yakin bahwa itu adalah anak gadisnya yang menghilang, "Di–dia baik-baik saja kelihatannya, 'kan, Vick? Sehat? Sepertinya itu di rumah sakit?" cecar Kristian lagi.

"Rubi terlihat sangat sehat, Om. Sekarang dia lagi menunggui seorang anak perempuan," jawab Vicky atas pertanyaan calon mertuanya.

"Anak perempuan?" lirih Kristian heran.

"Ya! Nah, sekarang ada seorang pria mendatangi mereka," sahut Vicky. Tatapannya kian tajam ke arah tiga orang di depan sana. Ada rasa dengki atau cemburu di dalam hati lelaki berkumis tipis itu melihat kebersamaan di hadapannya. 'Siapa pria itu?'

"Ya sudah! Kamu tunggu Om. Om nyusul sekarang. Share location, Okey!" seru Kristian sembari melangkah cepat keluar ruangan dan menuju lift.

***

"Om!" Vicky memanggil Kristian dengan suara yang dikecilkan.

Kristian yang tampak tergesa dengan napas tersengal menyahut, "Di–di mana Rubi? Di mana putri saya, Vick?" tanyanya dengan sangat gugup. Detak jantung lelaki tua itu bekerja lebih cepat hingga napasnya terasa sedikit sesak.

"Tenang dulu, Om. Rubi ada di ruangan kelas tiga di arah sana." Vicky mengarahkan pandangan ke arah timur.

"Kalau gitu kita ke sana sekarang!" Kristian sudah sangat tidak sabar sepertinya. Walaupun dadanya terasa sedikit nyeri, ia tetap melangkah cepat menuju arah yang ditunjuk oleh Vicky sembari meremas dadanya.

"Om, tunggu!" Vicky berlari kecil menyusul calon mertuanya itu.

"Di mana dia?" tanya Kristian lagi setelah sampai di antara pintu-pintu kamar ruangan-ruangan yang diberi nama berbagai macam bunga itu.

"Di ruang Kamboja itu, Om," sahut Vicky sembari melangkah maju.

Kristian mengikuti langkah sang calon menantu dengan tidak sabar. Setelah sampai di depan pintu bertuliskan KAMBOJA, ia membukanya perlahan.

"Di mana?" lirih suara Kristian ke arah calon menantunya.

Di sana terdapat tirai-tirai biru yang membentuk empat ruangan kecil. Ada dua brankar yang ditempati pasien. Salah satunya adalah Nada.

Vicky melangkah maju dan menunjukkan ke arah tirai yang paling ujung sebelah kanan ruangan.

Kristian meraih tirai biru itu dan membukanya dengan perlahan. Sontak saja Rubi dan Harun yang berada di sana mengarahkan pandangan ke arah suara tirai yang tersibak.

Hening.

"Cari siapa, Pak?" tanya Harun sembari bangkit dari sebuah kursi plastik di sana, di sebelah brankar yang mana Nada tertidur lelap di sana.

Pandangan mata Kristian tidak lepas dari wajah sang putri. Kaca-kaca mulai menambah kabur mata tuanya itu.

Harun menoleh ke arah Rubi yang terlihat heran melihat seorang bapak-bapak yang menatap lekat ke arahnya.

Rubi bangkit dari duduk di brankar di samping Nada. Ia sedikit menarik kedua ujung bibirnya dengan ragu. "Bapak cari siapa?" Ia mengulang pertanyaan yang tadi dilontarkan oleh Harun kepada orang tua itu.

"Rubi ...." Kristian menyebut nama gadis di depannya.

Rubi terdiam. Alisnya bertautan. Ia seperti akrab dengan nama yang baru saja disebut bapak tua di hadapannya itu. Akan tetapi, ia tidak ingat dan tidak mengenal bapak tua itu.

Kristian berjalan pelan semakin maju. Ia tidak menghiraukan keheranan orang-orang yang berada di sekitarnya.

Harun melangkah maju hendak menahan Kristian mendekati Rubi. Ia khawatir orang tua itu punya kelainan jiwa atau apa. Karena tingkahnya sangat aneh menurut penglihatannya.

Vicky langsung bergerak cepat menahan gerak Harun.

Harun menatap heran ke arah Vicky yang menggeleng mencegah ia menahan Kristian.

"Rubi, putriku ...." Kristian menghambur memeluk erat sang putri yang keheranan. Netra tuanya akhirnya tak dapat lagi membendung air mata yang kini mengalir deras.

Betapa terkejutmya Harun mendengar sebutan 'putriku' oleh lisan Kristian terhadap wanita yang ia beri nama Nisa itu.

Rubi pun tak kalah kaget. Ia terdiam kaku di dalam pelukan pria paruh baya yang tubuhnya kini berguncang karena menangis haru.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status