Share

Isna Pergi Kemana?

“Bagaimana bisa kamu memberitahunya?” Harun menyesalkan sikap sahabatnya.

“Aku tidak sengaja menyebut nama Marwah saat tidur. Isna mendengar dan menanyakan hal itu di pagi harinya. Aku bisa apa? Aku tidak ingin Isna berpikir yang macam-macam.”

“Jadi benar kamu tidak melakukan kewajiban kamu di malam pertama?”

Restu menggeleng.

“Kamu keterlaluan, Restu! Apa kamu akan tetap seperti ini?” Meski dengan nada pelan, Restu tahu jika sahabatnya itu marah.

“Aku tidak bisa melakukannya tanpa sebuah cinta. Aku sangat tersiksa dari kemarin saat ijab qabul. Aku selalu membayangkan, jika Marwah yang ada di sampingku, maka aku akan sangat bahagia. Aku bingung, Mas Harun. Aku belum bisa menyentuh Isna. Aku belum ingin. Hatiku benar-benar menolak dia menggantikan posisi Marwah ….”

“Bukankah dulu saat kamu hendak meminta pada orang tuamu untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa, kamu sendiri yang menyetujui perjodohan ini? Kenapa sekarang kamu mengingkari itu? Dan menyakiti seseorang yang tidak bersalah?” Perkataan Harun mengingatkan kembali sebuah perjanjian yang Restu buat dengan kedua orang tuanya.

“Putuskan Marwah! Dan menikah dengan calon pilihan bapak dan ibu jika kamu menginginkan untuk mendapat posisi itu.” Sebuah tawaran dari Dahlan kembali terngiang. Ia berpikir akan membohongi orang tuanya setelah ia menjadi kepala desa. Nyatanya, yang terjadi justru dirinya terjebak dalam perjanjian yang ia buat.

“Isna tidak bersalah apapun. Sampai kapan kamu akan seperti ini? Ingat, Restu! Posisi kamu sebagai apa? Panutan orang satu desa. Marwah memanglah gadis yang istimewa untuk kamu. Tapi dia tidak ditakdirkan berjodoh denganmu. Dan Isna, dia lebih dari pantas untuk mendampingimu. Banyak mungkin, pria yang menginginkan dia. Tapi, dia memilihmu yang bertemu karena hasil perjodohan. Bukankah dia langka? Mana ada gadis seperti dia di jaman sekarang yang mau dijodohkan? Dia gadis terhormat yang memilih hubungan yang halal. Pulanglah! Minta maaf sama dia, dan tunaikan kewajiban kamu sebagai suami.”

“Mas, aku masih berusaha untuk bisa mencintainya. Dan aku sudah mengatakan hal ini pada Isna,”

“Kamu ingin istrimu memberitahukan hal ini pada keluarga besarnya? Atau pada orang tuanya? Jika iya, itu artinya, kamu siap hancur. Dia telah ditakdirkan untuk kamu, maka mulai sekarang, yakinkan pada dirimu bahwa yang terjadi adalah yang terbaik. Pulanglah! Aku yang akan memintakan izin nanti. Semua orang sudah tahu, jika kamu baru saja menikah. Seharusnya, kamu tidak datang pun tidak apa-apa ….”

Harun memiliki sebuah pengaruh besar saat berbicara. Kelebihannya adalah membuat siapapun yang diperintahnya, tidak bisa menolak. Pun dengan Restu yang akhirnya menurut.

Di sebuah jembatan sungai yang lebar dengan air jernih mengalir di bawahnya, Restu berhenti, menyandarkan motor. Ia lalu mengubah posisi duduk bukan menatap jalan depan. Melainkan memandang bukit yang menjulang tinggi di sebelah timur sungai sambil memandang sebuah foto yang menampakkan senyuman cantik seorang wanita yang begitu dicintai. “Marwah, kamu dimana? Semoga baik-baik saja.” Gumam Restu. ‘Andai saja dulu aku tidak mengejar mimpiku menjadi kepala desa. Andai saja, aku mengorbankan cita-cita itu, aku pasti sekarang hidup dengan kamu. Bahagia bersama dan memiliki anak yang lucu-lucu. Aku hanya ingin mengangkat derajatmu lewat cara ini. Maafkan aku, Marwah, jika aku telah membuat sebuah keputusan yang justru membuat kita terpisah. Aku berpikir, dengan kecerdasan yang kamu miliki kamu bisa menjadi sosok yang tepat untuk mendampingiku, dan orang tuaku bisa luluh. Ternyata, perjanjian itu bukanlah sebuah omong kosong belaka. Kini, aku terjebak harus hidup dengan wanita yang tidak aku inginkan sama sekali. Marwah, Aku pamit untuk hidup bersama wanita lain. Maafkan bila keputusan keluargaku melukai hati kamu. Aku pamit akan memulai sebuah hubungan tidak dengan kamu. Maafkan aku. Semoga kamu bahagia dimanapun kamu berada. Selamat tinggal,’ ucapnya lirih. Lagi, sakit ia rasa dalam hati. Harus benar-benar menerima kenyataan jika sekarang ini, ada seorang wanita yang harus dinafkahinya secara batin yang menyentuhnyapun, Restu enggan.

Terkadang ia merutuki diri yang begitu lemah untuk hanya bisa berpaling pada wanita lain. Bahkan, hanya sekedar menatap wanita cantik, dirinya sama sekali tidak tertarik. Baginya, Marwah sudah lebih dari segalanya.

Motornya dilajukan kembali menuju rumah Isna. Ia memang tidak bisa tinggal disana selamanya, karena profesinya sebagai kepala desa mengharuskan untuk tetap menjadi warga desa. Namun, hal itu tentu tidak menjadi masalah buat sang istri sebelum mengetahui tentang Marwah.

“Lhoh, sudah pulang?” tanya ibu mertuanya. “Isna baru saja keluar. Ibu kira sedang menyusul kamu. Ternyata kamu pulang sendiri ….”

“Apa Isna tidak bilang mau kemana, Bu?”

“Tidak. Ibu kirain nyusul kamu kemana gitu ….”

“Baik, nanti saya telpon ….”

Nomor telepon Isna yang tidak aktif membuat Restu panik. Ia berpikir, istrinya sedang menemui seseorang untuk meminta sebuah nasehat. Pikiran buruknya berselancar kemana-mana. Takut, jika wanita yang baru dinikahinya itu akan membuat sebuah keputusan yang dapat menghancurkan reputasi dan kehormatannya dalam sekejap.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
lo egois restu.... sy doain km bucin sm Isna ... uwu sm Isna.... dn Isna g jatuh cinta sm km....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status