Share

Janji Restu

“Aku minta maaf Isna. Orang tuaku sangat menyukaimu. Tidak mungkin saat itu aku menghancurkan impian mereka. Hatiku saja yang salah, sudah mencintai wanita yang tidak tepat. Lagipula, hendak dipaksakan seperti apapun, aku tidak akan pernah bisa bersanding dengan Marwah. Dia juga sudah pergi jauh, membiarkan aku hidup dengan pilihan orang tuaku, yaitu kamu ….” Restu menunduk. Tampak oleh Isna, sebuah kristal bening jatuh di telapak tangannya.

“Lalu, bagaimana dengan aku yang tidak tahu apapun tentang masa lalu kamu, Mas? Aku hanyalah seorang gadis yang merasa bahagia karena telah dipersunting seorang lelaki yang membawaku ke dalam sebuah hubungan yang halal. Dan nyatanya, aku harus menemukanmu dalam keadaan masih mencintai wanita lain. Aku harus membawa hatiku kemana, Mas? Dan pernikahan kita, seperti apa nantinya hubungan ini akan dijalani?” tanya Isna dengan pipi yang sudah basah dengan derai air mata.

Sebuah sentuhan halus terasa di pundak Isna. Ia membiarkan tangan kekar Restu membelainya. Bukan karena rasa nyaman, tapi hatinya saat ini begitu sakit dan bimbang, sehingga tubuh terasa kaku untuk hanya sekadar mengibaskan tangan sang suami dengan sebuah gerakan.

“Jangan menangis! Maaf, jika kejujuranku menyakiti hatimu. Tapi, lebih baik kamu tahu semuanya, bukan? Daripada aku seperti membohongi kamu. Percayalah, Isna! Aku tidak ada niat mempermainkan kamu, ataupun pernikahan kita. Aku hanya berpikir bahwa, kamu adalah jodoh yang ditakdirkan untukku. Aku beruntung mendapatkan wanita seperti kamu. Masalah hatiku, aku akan belajar mencintai kamu. Anggap saja, ini adalah waktunya kita saling mengenal. Bukankah kemarin-kemarin, tidak ada waktu untuk kita berdua bisa saling pendekatan? Kita selalu bertemu saat bersama keluarga. Jadi, jika kita mulai pacaran saat ini, itu artinya, saat kita bersentuhan, kita sudah terikat pada hubungan yang halal,” ujar Restu.

Isna masih belum mau menatap pria yang sudah berbau wangi itu. Bau parfum yang dikenakan Restu, justru akan mengingatkannya pada momen menyakitkan di malam pengantinnya.

“Kamu cantik. Kamu penyayang, aku tahu itu. Orang tuaku tidak salah pilih memang. Sekali lagi, hatiku yang memang susah diajak kompromi. Ah, bukan, lebih tepatnya, aku terlambat bertemu dengan kamu. Jika saat itu, kamu hadir lebih dulu di kehidupan aku, pasti aku akan sangat jatuh cinta terhadap kamu, Isna. Iya … kenapa takdir tidak mempertemukan kita dulu, ya? Saat masih sama-sama remaja. Orang tuaku juga salah. Tidak mengenalkan kamu waktu masih kecil.” Restu mencoba membalut luka hati dan juga rasa bersalahnya dengan sebuah candaan. Berharap hal itu akan sedikit mengurangi rasa sakit yang ditorehkannya pada Isna.

Namun, perempuan yang berprofesi sebagai bidan desa itu masih bergeming. Duduk dengan posisi menunduk memandangi sajadah serta memainkan ujung-ujung jari yang saling terpaut.

“Bangunlah! Mandi dan berhias. Kamu harus cantik di hari ini. Masa pengantin baru kucel? Atau, mau aku mandikan?” Restu melempar candaan lagi.

Alih-alih dihibur, Isna justru tergugu. Menumpahkan segala tangis yang ditahan. Meski Restu bersikap baik terhadapnya, tapi ia tahu, jika lelaki itu tengah menahan luka hati karena tidak bisa hidup bersama wanita yang dicintainya.

“Ayo, mandilah! Malu. Nanti dikira kita ini masih tidur dalam satu selimut, lho!” Restu mencoba melepas mukena yang dipakai Isna. Namun, perempuan itu menahannya.

“Jangan kamu pikir aku tidak tahu, Mas, jika semua yang kamu ucapkan hanya untuk menghibur hatiku dan juga hati kamu. Aku paham, kamu tidak bahagia. Jadi, jangan berucap canda apapun, karena itu justru akan semakin menyiksaku,” kata Isna setelah sekian lama terdiam hanya menjadi pendengar setia.

Ia bangkit dan melepas mukenanya sendiri.

“Aku akan belajar mencintaimu, Isna. Aku yakin, aku bisa. Aku yakin, suatu ketika nanti, aku akan bisa mengisi hati ini hanya dengan nama dan wajah kamu saja. Isna …  apa yang terjadi, itu tidak lepas dari goresan pena Sang Pembuat skenario kehidupan. Anggap saja, jalan jodoh kita memang harus melalui perjodohan ini. Toh, aku tidak selingkuh. Aku hanya masih mencintai wanita dari masa lalu. Dia pun telah pergi jauh dan tidak akan pernah kembali. Bersabarlah, aku mohon. Beri aku waktu ….” Tiba-tiba, tubuh Isna mematung karena dipeluk erat oleh Restu dari belakang.

‘Ah, Mas, seandainya kita ini pasangan normal, betapa damainya pelukan ini, Mas …,” ujar Isna dalam hati.

Ia segera melepas tangan yang melingkar di perut dan berlalu masuk kamar mandi.

Hari itu, Restu benar-benar pergi ke kantor kecamatan. Namun, setelah sarapan bersama Isna. Meski tanpa mengucap sepatah kata, wanita yang tergores hatinya itu masih mau melayani Restu dengan baik. Mengambilkan piring, nasi, dan lainnya yang diminta Restu saat kegiatan makan pagi pertama yang mereka lalui berdua.

“Terima kasih,” ucap Restu seraya menyinggungkan sebuah senyum. “Aku akan pulang sebelum makan siang. Jadi, istriku, siapkan makan siang untuk suami kamu, ya?” sambungnya masih memberikan senyuman. Isna hanya menatap datar wajah Restu.

***

“Malam pertamanya lancar?” tanya Harun, salah seorang kepala desa lain yang cukup dekat dengan Restu. Namun, hanya dijawab dengan senyuman yang penuh tanda tanya. “Atau belum melakukannya? Jangan siksa istri kamu dengan masa lalumu. Jika kamu memang menikahi dia, maka kamu harus memenuhi kewajibanmu sebagai seorang suami. Jika istrimu sampai tahu akan masa lalu kamu dan hati kamu saat ini maka ….”

“Dia sudah tahu,” potong Restu. Mereka memang tengah beristirahat dengan duduk di papan yang terletak di bawah pohon—depan kantor kecamatan. Apa yang disampaikannya membuat sahabatnya itu membelalakkan mata. Harun memang sangat dekat dengannya. Ia tahu banyak hal tentang Restu, terlebih sosok Marwah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status