Di tengah rasa bimbangnya, ia segera memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Entah mengapa, hati seolah menuntun untuk pergi ke sana.
Dengan mengendarai motor, ia melewati jalan yang naik turun khas pegunungan. Di kiri dan kanan, terdapat deretan kebun cengkeh dan kopi yang membuat suasana tambah dingin. Hatinya tambah berdebar, manakala melihat sepeda motor Isna ada di halaman rumahnya yang luas. Dengan debar takut, ia berjalan masuk ke dalam rumah.
"Kamu seharusnya tidak bekerja dan membiarkan istrimu kesepian datang ke sini. Mana ada pengantin baru keluyuran seperti itu? Desa sudah memberikan cuti. Semua urusan bisa kamu serahkan kepada carik," todong sang ibu.
"Ayo, pulang," ajak Restu halus.
"Aku masih betah di sini," tolak Isna tanpa melihatnya.
"Ibu masak dulu, ya?" pamit wanita bernama Narsih itu.
Kini tinggallah sepasang pengantin yang saling bingung--duduk berdua. Restu memandang terus wajah Isna, mengamati dan mencoba mencari alasan kuat untuk dirinya bisa menjatuhkan hati pada wanita yang telah bergelar istrinya.
"Pergilah ke balai desa. Mungkin, ada pekerjaan yang menunggumu di sana," ucap Isna. "Aku akan pulang sendiri. Jika memang belum bisa tidur dalam satu kasur bersamaku, kau boleh tetap tinggal di sini," sambungnya lagi.
"Isna, ayo kita ke kamar. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu,” ajak Restu sembari meraih tangan Isna dengan lembut. “Ayolah, tidak baik kita bicara di sini,” ajaknya lagi.
Setelah lama membujuk, akhirnya Isna menurut. Karena bagaimanapun, hubungan yang ia jalani adalah sebuah pernikahan sakral yang tidak mudah untuk hanya dijadikan sebuah permainan. Ia memang harus membahasnya dengan Restu, mencari solusi dari masalah yang dihadapi.
Isna mengikuti Restu masuk ke dalam kamar pribadi sang suami yang memiliki luas dua belas meter Ada sebuah ranjang besar dengan kasur yang empuk. Sebuah lemari berpintu tiga, juga meja rias kayu jati berukir indah.
‘Apakah itu dipersiapkan untuk Marwah?’ Batin Isna berkata.
Segera, Restu menutup dan mengunci pintu, lalu secepat kilat memeluk Isna dari belakang. “Maafkan aku. Maafkan aku. Aku tahu aku bersalah sama kamu. Tapi, percayalah! Aku tidak pernah lagi berhubungan dengan dia sejak kita bertunangan. Aku hanya masih terbayang dia. Itu karena selama ini kita tidak pernah saling dekat. Aku yakin, dengan hadirmu di sisiku, hatiku akan mencintai kamu lebih dari siapapun. Suatu hari nanti. Aku yakin. Jadi, tetaplah di sisiku. Jangan katakan ini pada siapapun. Aku akan mengubur masa laluku dan memulai hidup dengan kamu, ya?” ucapnya lirih. Dagunya menempel pada pundak Isna, mencoba menikmati harum tubuh wanita yang berprofesi sebagai bidan itu. “Bukankah aku sudah bilang? Anggap saja, kita berpacaran setelah menikah. Aku janji, akan menunaikan kewajiban sebagai suami. Lahir dan batin. Mulai besok, ATM-ku, kamu yang pegang, ya? Sebagai awal untuk aku meyakinkan jika aku akan memberikan hakmu sebagai istriku, Arisna Pertiwi ….”
Isna belum mau menjawab permintaan Restu. Sejenak meyakinkan hati untuk bisa berdamai dengan takdirnya. Sedikit mengiyakan apa yang suaminya sampaikan. Perjodohan yang singkat, dan komitmennya untuk tidak sering bertemu dengan calon suaminya itu membuat Isna jarang bertemu. Benih-benih cinta dalam hati Restu barangkali belum tumbuh.
“Kita menginap di sini, ya? Di kamarku dan sebentar kini menjadi kamar kita. Ya, Bu Lurah-ku?” rayu Restu. “Nanti Tyas akan aku suruh ambil baju kamu sama temannya,” ucapnya lagi menyebut nama sang adik.
Isna mengangguk lirih.
“Lupakan Marwah! Pernikahan antara kamu dan Isna sudah terjadi. Berpikirlah waras, Restu! Kamu mau mencari pasangan hidup seperti dia dimana lagi? Jaga martabat keluarga! Ibu tidak mau, jika kamu sampai membahas Marwah lagi di hadapan istrimu. Bahkan, menyebut namanya sekalipun. Bukankah kamu yang sudah berjanji sendiri saat meminta Ibu dan Bapak membiayai dan merestui kamu mendaftar kepala desa? Kami sudah memberi pilihan. Putuskan Marwah dan kami turuti keinginan kamu, atau kamu menikahi dia tapi pergi dari rumah ini? Semua konsekuensi sudah kamu ambil. Dan jangan libatkan Isna, jangan sakiti dia yang tidak tahu apapun tentang cinta butamu itu. Jika sampai terjadi lagi, Isna menangis karena perempuan itu, maka, Ibu akan memberi ancaman pada keluarga Marwah untuk ikut angkat kaki dari desa ini!” Wanita bernama Winarsih, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Narsih itu berkata dengan penuh ancaman.
Hal yang ditakutkannya terjadi. Isna mengadu pada ibunya.
“Untung saja, Isna wanita berpendidikan. Dia seorang pagawai yang bermartabat. Memiliki perilaku yang terpuji. Sehingga memilih berkeluh kesah pada ibu mertuanya. Coba saja kalau Isna menceritakan hal ini pada keluarganya. Habislah harga diri kita, Restu!” Narsih terlihat benar-benar kesal pada anak sulungnya.
Restu diam. Ia membenarkan semua ucapan Narsih. Keinginannya untuk memimpin desa, membuatnya rela membuat sebuah perjanjian. Meski sadar, bila konsekuensinya adalah menderita berpisah dengan pujaan hatinya.
“Sudah mandi?” tanya Restu tatkala melihat Isna yang masih memegang handuk di depan kamar mandi yang ada di dalam kamar. Ia memang sudah merancang kamar yang nyaman. Dulunya berpikir jika orang tuanya akan luluh merestui hubungan dengan Marwah, sehingga segalanya telah dipersiapkan jauh hari. Ia yang lulusan arsitek bangunan paham sekali bagaimana membuat kamarnya nyaman.“Sudah,” jawab Isna lalu tersenyum sedikit. Hatinya memang belum bisa pulih. Namun, mencoba bersikap dewasa dan berusaha menerima masa lalu Restu. ‘Lelaki yang menjadi suamiku adalah jodoh yang dipilihkan Allah. Aku telah menjaga kesucianku dan juga perasaanku sejak dulu dengan tidak berpacaran. Maka, apa yang terjadi hari ini adalah sudah diatur oleh penulis skenario terbaik. Marwah sudah pergi jauh. Mas Restu juga sudah menjadi suamiku. Dia memilih menikah dengan jodoh pilihan orang tuanya. Maka, itu artinya, Mas Restu memang tercipta untukku. Bismillah, semoga seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta akan tumb
Meski saat ini, tangannya memeluk dan membelai Isna, meski bibirnya sesekali mencium mesra wajah serta anggota tubuh lain Isna, tapi itu hanyalah sebuah kepalsuan belaka. Bohong! Ia telah membohongi Isna juga hatinya sendiri. Batinnya seolah berontak untuk tidak melakukan semua itu. Setiap gerakan yang ia sentuhkan terhadap sang istri, di sana seolah ada seulas senyum Marwah yang mencegahnya melakukan semuanya.Sementara wanita yang berada dalam belaiannya justru berpikir lain. Isna merasa jika saat ini, Restu benar-benar sedang menikmati malam kemesraan mereka dan mulai menerimanya sebagai seorang istri. Imajinasi yang berbeda dirasakan oleh kedua insan yang kini sudah saling menyatu.Isna memejamkan mata sembari mengucapkan sebuah doa dalam hati. ‘Bismillah ya Allah, aku lepaskan sesuatu yang berharga untuk dia suamiku, lelaki yang sudah halal, dan insya Allah akan menjadi imamku seumur hidup.’Sedangkan Restu pun ikut memejamkan mata, tapi di hatinya tidak terucap doa apapun, melai
Tidak banyak yang dibicarakan Isna dan Restu di hari kedua mereka menjalani hidup bersama. Peristiwa semalam membuat keduanya canggung. Narsih tersenyum senang, manakala melihat Isna dan Restu berambut basah saat pagi. Berpikir jika anak lelakinya sudah bisa menerima perempuan pilihan mereka.“Aku mau pulang ke rumah,” ucap Isna saat keduanya di kamar.“Kenapa?”“Kita menikah belum ada satu minggu. Seharusnya aku belum ke rumah ini.”“Baiklah, ku antar,”“Tidak usah ….” Isna menolak. “Aku mau ambil sesuatu di rumah Bu Ika,”“Bu Ika bidan desa sebelah?”Isna mengangguk.“Baiklah. Hati-hati! Aku mau ke balai desa. Jangan cerita tentang apa yang kita alami pada orang lain, ya?”“Sementara ini belum, Mas. Karena aku juga menjaga harga diriku. Tidak lucu pastinya, aku yang dulu disukai banyak cowok, harus mengalami pernikahan yang tragis.” Isna langsung pergi keluar kamar. Membuat Restu kembali memikirkan peristiwa semalam.‘Nanti malam, aku harus bisa melakukannya. Tolong aku, Marwah, iji
Tanpa sadar, keduanya saling berhadapan, saling memandang. Dan tak lama, Restu menarik wanita yang kini memakai piyama panjang naik ke peraduan. Agak ragu buat Isna untuk menyambut kemesraan dari lelaki yang kini hanya berjarak beberapa senti saja dari tubuhnya. Ia masih teringat peristiwa semalam. Namun, melihat Restu yang begitu gigih, akhirnya ia luluh. “Siapa tahu, saat anak saya kembali, dia bisa berjodoh dengan lelaki yang dicintainya ….” Kata-kata yang disampaikan Ruslam, terngiang kembali di telinga Restu. Terus menerus, seolah menjadi sebuah bisikan yang menghantui. Bayangan Marwah yang sedang menangis meratapi nasib, hadir kembali dalam pikiran Restu. Hingga membuat hasrat yang sudah membuncah, kembali surut. Dan dia, lagi-lagi harus membuat Isna yang sudah bersiap menutup mata--kecewa. Restu duduk kebingungan. Dipandangnya wanita cantik yang sudah siap untuk menyerahkan raga untuknya tengah menunggu. Hingga satu menit berlalu, Isna membuka mata dan menyadari, kejadian yan
Kokok ayam berbunyi sahut menyahut, menandakan sang surya hendak turun dari peraduan, memberikan hangat pada seluruh makhluk yang ada di bumi. Isna masih terpekur dengan berbalut selimut. Matanya terpejam, tapi hati masih terjaga. Hendak bangun, rasanya enggan. Semalam, ia urung sholat, karena merasa tidak mampu berdiri.“Isna, bangunlah!” Restu selalu memperlakukannya dengan lembut. Pun saat ini, tangan kekarnya menepuk bahu Isna.Tak ada jawaban atau respon apapun dari pemilik tubuh yang tengah merasakan lara hati itu. Saat ternyaman bagi mereka yang terluka batinnya adalah dengan diam dan memeluk semua seorang diri. Percuma pun mengadu, tidak ada stupun orang yag bisa menyembuhkan sakit yang dirasa.“Ayo, bangun! Kita mandi dan sholat,” ajak restu lagi.“Jangan ganggu aku!” sahut Isna pelan, tetapi tegas.“Kamu masih marah dengan kejadian tdai malam? Aku janji, nanti malam, tidak akan lagi ada kegagalan---““Jauhkan dagumu dari tubuhku! Jangan bersikap manis lagi. Aku benci sandiw
Kamu dari mana?" tanya Restu kaget saat melihat Isna masuk ke kamar."Habis dari laundry ...." jawab Isna tanpa memandang suaminya."Seharusnya tidak perlu kau cuci bajuku ....""Aku harusnya yang mencuci, Mas. Seharusnya. Aku istrimu. Tapi maaf, aku memilih membawanya ke tempat laundry karena ...." Suara Isna memelan. Tenggorokannya terasa sakit karena harus menahan air mata, juga lara hatinya. Meski masih gadis, ia paham, basah yang ada di celana Restu berasal dari mana. "Karena itu bukan milikku. Bukan milik kita." Dengan sebuah bahasa kiasan, ia melanjutkan.“Isna, apa kamu tahu sesuatu hal?” tanya Restu terlihat bodoh.“Menurut kamu?” Isna balik bertanya. “Aku kira kamu im*otent, ternyata kamu bisa mendesah dan gerakan kamu itu, terlihat menikmati meski hanya sekadar mimpi.”Wajah Restu bak kepiting rebus. Merah menahan malu. "Isna maafkan aku ... semuanya terjadi begitu saja ...."“Tidak ada sesuatu yang tiba-tiba terjadi tanpa sebuah sebab. Itu lebih baik sepertinya, daripada
“Pak, belum pulang? Sudah sore lho, ini ….”Perkataan dari seseorang membuat Restu kaget dan mengangkat kepala dari atas meja. Dilirknya jam dinding sudah menunjukkan pukul lima. Rupanya, ia tertidur beberapa jam. “Aku ketiduran. Pak Kadus kok masih di sini?” tanyanya balik.“Iya, hape saya ketinggalan. Pak Lurah kenapa tidur di sana? Sudah sore lagi. Tidak pulang, Pak? Nanti istrinya nyariin, lho. Pengantin baru lagi,” goda bawahan Restu.Restu hanya tersenyum kecut. Kasak-kusuk tentang ia yang terpaksa menjalani pernikahan tanpa cinta, sudah bukan menjadi rahasia lagi. Seluruh warga bahkan tahu, tentang kisah cintanya dengan Marwah, Si Kembang Desa.beberapa pegawai desa bahkan ada yang mengira jika pernikahannya tidak akan berjalan lama, karena tahu, Restu benar-benar tidak bisa berpaling kepada wanita lain.“Ah, iya. Anda pulang dulu saja. Nanti, kantor biar aku yang kunci,” sahut Restu tidak ingin memperpanjang pembicaraan.Ia lalu berkemas untuk pulang ke rumah Isna. Seharusnya,
“Maaf, aku terlambat pulang,” ucap Restu saat masuk kamar dan melihat Isna sedang berkutat dengan tumpukan kertas.Isna melirik sekilas wajah yang tersenyum kaku padanya. Lalu kembali pada kertas-kertas yang beberapa berserakan di atas lantai. “Mandilah, aku sudah menyiapkan handuk di kamar mandi. Setelah ini, sholat dan makan bersama orang tuaku,” sahutnya dengan ekspresi serius menatap kertas yang ada di tangan.“Kamu sedang apa? Sudah mulai bekerja, ya?” tanya Restu untuk mencairkan suasana.Isna diam. Ia merasa tidak perlu memberitahukan perihal pekerjaan pada lelaki yang ia sudah menganggap sebagai orang lain.“Kenapa tidak menjawab? Aku bertanya padamu.” Restu protes. Ia kini sudah duduk di tepi ranjang, memperhatikan wanita yang rambutnya terurai setengah basah.Isna menghentikan aktivitas, lalu menatap sejenak Restu yang berada lurus dengan posisinya saat ini. Kepala ia angkat, karena tubuh Restu berada di atas ranjang. “Sepertinya itu tidak perlu kamu tahu, Mas. Urusan kita h