Share

Aku Dikira Adiknya Atau Anaknya

"Nisa, lagi apa?" Mengirim pesan chat disela-sela aku sedang santai di kios.

"Biasa, sama anak, kamu lagi apa? Emang kamu jualan apa sih," tanya Nisa.

"Kuliner, macam-macam masakan, kapan-kapan aku ajak deh, ya," balasku.

"Wah, enak tuh, terus kenapa sih gak dekati yang gadis saja," balasnya lagi.

"Sebentar ya, ada yang beli."

Aku menunda chat dan menaruh handphone, melayani dulu pembeli yang datang. Hariku jadi semangat euy.

Lanjut lagi mengambil ponselku dan chating dengannya. Rasanya ingin selalu mengobrol dengannya. Apakah cinta harus memandang umur, ya. Buat aku sih terutama apa yang ada di hati. Soal kedewasaan akan berjalan dengan situasi dan kondisi.

"Aku rasanya ingin kenal kamu Nis, lebih jauh lagi," pesan terkirim.

"Kamu sudah yakin? Aku gak mau main-main lagi loh, ya. Aku ingatkan lagi, kegagalanku dalam rumah tangga tidak mau sampai terulang lagi," respon Nisa cepat.

"Bagaimana kalau kita ketemu dulu, supaya enak mengobrolnya, bagaimana?" Pintaku dalam chat.

"Boleh saja, kalau mau kamu begitu, tapi aku ajak anakku yang paling kecil, ya," balasnya.

"Iya ajak saja, kalau anak kamu semuanya mau ikut juga gak masalah, Nis," balasku yang penting bisa bertemunya secara langsung.

"Ya nanti kalau diajak semua mana bisa mengobrol, ih. Kapan kamu mau ketemu aku," Nisa rupaya menanggapi ajakanku.

"Hemm ... Besok bagaimana? Kebetulan sekalian aku ada acara," pintaku dengan emot love.

"Besok? Nafsu amat kayaknya, kamu, heee, cinta itu jangan karena nafsu, yakin ya. Kamu sudah pikirkan matang-matang," balasnya.

"Aku sudah pikirkan dari kemarin, kok, jadi gimana? Besok ya," tegasku pada pesan.

"Baiklah ... Jika kamu memaksa, besok jam 10 pagi, nanti aku sharelok, ya sudah aku mau boboin anakku dulu, sampai nanti Bocil! Eh, Mas Farhan," canda Nisa.

"Hahaha, iya Nis, sampai nanti Jandaku, ups."

Lucu juga Nisa ini, apakah dia mengimbangiku ya, heee. Harusnya kan aku yang mengimbangi dia, oke! Mulai sekarang aku coba bersikap dewasa, latihan untuk besok, haha.

Malam hari setelah tutup kios, aku mengirimkannya lagi pesan ucapan tidur.

"Met Bobo, sampai besok ya, Nis."

Pesanku terkirim. Mungkin sudah tidur kali ya, aku beristirahat setelah seharian berjualan. Meluangkan waktu untuk menelpon Ibuku, tapi aku belum membicarakan mengenai Nisa, nanti saja jika memang sudah benar-benar aku dan Nisa saling berkomitmen.

Cling ....

"Met tidur Mas Farhan, met rehat, sampai besok."

Pesan masuk, Nisa membalas pesanku, dengan cepat aku membalasnya.

"Iya Nisa, met rehat juga."

Rasanya kok berbeda ya, jatuh cinta kepada seorang gadis. Masih teka-teki nih. Aku belum bisa tidur dan membuka lagi profil Nisa, masuk lagi ke berandanya dan membaca-baca komentar dari para Lelaki. Kenapa tiba-tiba aku dibakar cemburu, ya. Membaca rayuan dari Lelaki yang ada di komentarnya. Memang sih Nisa tidak meladeninya, baguslah. Dengan begitu berarti memang Nisa tidak genit dan tebar pesona.

Melihat lagi album-album fotonya dan terkejut aku pada salah satu fotonya bersama anak-anaknya.

"Lah, ini anaknya yang paling besar kali ya, duh! Dah remaja, cantik seperti Ibunya."

Ucapku dalam hati, bener ini. Sikapku nanti kalau ketemu dengan anaknya yang remaja mungkin aku harus dewasa.

Sudah tidak sabar rasanya aku menunggu besok pagi, dah ah! Tidur dulu.

****

Pagi hari aku membelanjakan dulu kebutuhan untuk di kiosku dan karyawanku hari ini bekerja sendirian, sudah biasa sih. Malam nanti aku baru datang ke kios. Tentunya aku tambahkam bonus, karena dia berjaga sendirian.

Sudah rapih semua aku mengirim pesan.

"Nis, aku otw nih, sesuai lokasi yang kamu berikan, ya."

Aku mengirim pesan dan bersiap berangkat dengan sepeda motorku.

"Iya, Mas Farhan, kamu naik apa?" Balas Nisa.

"Aku naik motor, Nis."

"Ya sudah kalau gitu Mas, hati-hati, ya."

"Iya, Nis."

Menutup chat dan aku bergegas berangkat, perjalanan dari tempatku ke titik yang diberikan Nisa, sekitar satu jam.

Melaju dengan santai motorku sambil bernyanyi bahagia. 

Sekitar satu jam-an lebih sedikit, aku sampai sesuai sharlok. 

"Nisa, aku sudah sampai nih, depan Mal," 

Nisa memberikan lokasi tepat di sebrang sebuah Mal Bogor.

"Tunggu ya mas, masuk aja ke Mal itu, sebentar lagi Nisa sampai situ, kok," Nisa membalasnya.

"Oke Nis, aku parkir motor dulu, ya."

Aku melanjutkan menyalakan motorku dan memutar arah untuk masuk ke dalam Mal tersebut, kemudian sampai depan Mal aku masuk menuju tempat parkir. 

Aku membuka helm dan jaket, menitipkannya pada penitipan yang ada di bawah basement, melangkah berjalan dengan rasa sedikit gugup dan dag dig dug, jalan lagi menaiki anak tangga menuju lantai dasar depan Mal.

"Aku ada di depan Mal persis, pintu masuk, Nis," pesan aku kirim.

"Oh iya, Mas. Sebelah mana? Aku juga sudah sampai loh, tanya Nisa.

"Ini Nis, aku berdiri memakai kemeja merah," balasku.

"Oh iya, aku sudah melihatnya. Tunggu, ya."

Nisa bilang sudah melihatku, aku menoleh ke kiri dan kanan tapi ... Aku tidak melihat satupun wanita yang sesuai ciri-ciri wajahnya. Aku menengok lagi ke bagian lain, banyak orang tapi tidak ada yang sama dengan wajahnya.

"Dorrr! Mas Farhan, ya."

Tepuk Nisa mengagetkanku.

Pandanganku langsung menatap wajahnya dan seluruh tubuhnya.

"Kamu, Nisa?"

Tanyaku grogi.

"Iya, Bocil! Ini aku Nisa, kenapa? Jelek, ya," ungkap Nisa.

"Gak kok, malah aslinya lebih cantik, heee." Karena Nisa mengucap Bocil ya, aku percaya.

"Terus kita mau kemana?" Tanya Nisa.

"Ya sudah kita cari tempat makan saja di dalam Mal, yuk," ajakku.

"Ciee ... Kamu mencoba bersikap dewasa nih ceritanya, heee. Yuk, kalau gitu," Nisa tersenyum padaku.

"Aih, bisa saja kamu Nis, alo dede, sini Om gendong," percobaan pertama menjadi dewasa.

"Ehem ... Ehem, boleh juga kamu mencari simpati aku, heee," canda lagi Nisa.

"Iya dong, harus gitu."

Anaknya Nisa mau aku gendong dan kita jalan bersama mencari tempat makan. Masuk pada sebuah resfaurant fast food.

"Makan di situ saja yuk," cetusku menunjuk.

Kami masuk dan melangkah memesan langsung.

"Selamat siang, Bu, Mas."

Ucap salam dari pelayan rumah makan itu. Kami saling melihat berpandangan, sepertinya ada yang aneh dengan ucapan pelayan itu.

"Mau pesan apa? Bu" Tanya pelayan.

Aku mengangguk agar Nisa mau pesan apa saja. Lalu Nisa berucap memesan.

"Kalau Masnya mau pesan apa?" Tanya lagi Mbak pelayan.

Nisa tersenyum menahan tawanya dan aku juga sudah tidak kuat lagi ingin ketawa dengan lebar, karena melihat Nisa yang menahan tawa itu. Kenapa giliran aku dipanggilnya Mas.

"Aku samakan saja pesanannya dengan Ibu, Mbak," sahutku meledek Nisa.

"Hahahaa," Nisa tidak kuat menahan tawanya dan tertawa di depan pelayan itu.

Mbaknya bingung dan ikut tersenyum. Entah apa yang ada dipikiran Mbak itu. Mungkin aku dikira adiknya atau anaknya. Haaa.

Bersambung.

Jangan lupa follow dan berlangganan, ya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status