Setelah aku dan Nisa tertawa-tawa di depan kasir, kami menuju ke tempat duduk, aku masih menggendong anaknya Nisa dengan satu tangan kiri, tangan kananku membawa makanan. Nisa juga demikian membawa makanan yang di pegang kedua tangannya.
"Sabar ya, Mas Farhan. Begitulah menjadi Ayah, belajar, haha," guyon Nisa."Siap bersabar, haha," jawabku sambil kerepotan menggendong dengan satu tangan.Langkah aku percepat karena takut jatuh makanan yang aku bawa ini. "Nah, kita duduk di sini saja," segera aku meletakkan makanan itu mencari meja dan tempat duduk terdekat.Setelah tanganku menaruh makanannya, aku duduk dan memangku anaknya."Sini De, Omnya mau makan dulu, kamu Ibu suapin sini, Nak," Nisa mengulurkan kedua tangannya mau mengambil alih anaknya dari pangkuanku."Sama Om saja," celetuk anaknya dengan polos."Hahaaa ... Asik. Ciee, sabar ya Om, emang gitu, kalau gak kuat lambaikan tangan ya, Om. Itu kameranya ada di depan kamu, hahaha." Nisa meledek dan tertawa dengan girangnya."Aku harus kuat, ini bukan uji nyali tapi ini uji hati, huhuuu," aku sambut candanya."Apa begitu ya, Lelaki lebih muda, lebih santai. Gak terlalu serius gitu," ucap Nisa."Ya, gak gitu juga, Nis. Ayo De, Om suapin," aku mencoba menyuapi anaknya."Om ... Nasinya jangan kebanyakan juga," tegur Nisa."Maaf Nis, tuhkan kebanyakan ya, nasinya," aku terlalu banyak mengambil nasinya hingga mulut anaknya kepenuhan dan berantakan."Namanya baru belajar, Nis, maaf ya.""Iya Om Farhan, tenang saja, bertahap."Nisa mengajariku dan anaknya masih di atas pangkuanku."Om cape, ga?" Ledek Nisa lagi."Ga, Nis, Om kuat kok.""Masak sih ... Om, bagus deh kalau kuat, mah, jadi aku bisa santai sesekali ini, yuhuu," celetuk Nisa. (Menyebut masak, candaan perkatannya)"Seneng, seneng ... Oh iya, Nis rumah kamu jauh gak dari sini," aku bertanya."Deket kok, Mas, naik angkot 10 menit," ujarnya."Loh, tadi kamu naik angkot?" Tanyaku."Iya Mas, emang kenapa, kalau naik onlie gak enak ah, takut ditaksir pengemudinya, heee," jawaban Nisa becanda."Hahaha ... Bisa aja kamu, eh iya, tapi bener juga, kamu kan cantik, awas jatuh, Nis. Pegangan! Takutnya dipuji jatuh, hee," aku meladeni lagi candaannya."Huaah ... Gubrak dong! Masak sih Mas, aku cantik, di lihat dari mananya, ets! Tapi kamu gak boleh lihat aku, harus nunduk," gegasnya bercanda lagi."Gimana nilainya, Nis, kalau gak boleh lihat, dari tadi juga Mas dah lihatkan," aku memandanginya memang tidak pernah lama."Maksud aku, Mas jangan lama-lama lihatin akunya, gak boleh ya, Mas," sahut Nisa."Iya deh, pokoknya kamu udah cantik semoga baik."Keseruan kami berlanjut dan diiringi gelak tawa, kelucuan hadir, ada saja ulah Nisa atau aku yang membuat kita berdua tertawa terus. Aku yang tadinya mau coba bersikap dewasa malah Nisanya yang jadi seperti Gadi remaja.Curi-curi pandang juga sering terjadi antara kami, saling bertanya tentang keluarga dan selalu diselipi canda dan guyonannya."Hai ... Nisa? Apa kabar," tegur temannya Nisa yang melihatnya, berdiri tepat di depanku.Nisa yang sedang minum terkejut dan hampir menumpahkan minuman yang ada di mulutnya."Eh, Resti, aku baik. Kamu gimana kabarnya? Dah lama ya, kita gak ketemu," tanya lagi Nisa dan mereka cupika cupiki (cium pipi kanan dan cium pipi kiri)"Baik Nis, kangen juga ih, ini anak kamu ya dan ini siapa, pasti sepupu loh itu, ya, yang dulu!" Ucap Resti temannya dan menebak mengira aku ini sepupunya Nisa.Nisa nenutup mulutnya menahan tawa, aku mau ikut tertawa aku tahan, pura-pura tidak mendengar dan sok sibuk dengan anaknya Nisa. Aku melihat Nisa membisikkan ke telinga temannya itu dan mereka berdua tersenyum."Ya sudah, lanjutin deh, aku mau pesan makanan, aku tinggal dulu ya, Permisi ya, Mas," Resti temannya meninggalkan kami sambil tersenyum-senyum.Nisa duduk lagi dan meraih gelas minumnya, meneguk lagi sembari memutar-mutar sedotan layaknya anak remaja yang sedang grogi di depan kekasihnya.Lalu melihatku lagi dan tertawa."Nis, jadi udah berapa kosong ini, aku menjadi sasaran salah tebak, haha," mulai lagi kami tertawa."Itulah Mas, resikonya. Nah! Masih mau lanjut atau mau mengundurkan diri, nanti aku tanda tangani kalau mau mengundurkan diri," ungkapnya."Maju terus dong, Nis, masa gitu aja mundur, cupu banget dong," jawabku."Boleh juga, sini De, Omnya cape," rayu lagi Nisa mencoba mengambil anaknya dari pangkuanku.Anaknya menggelengkan kepalanya lagi.Aku dan Nisa saling menatap dan ...."Hahaha ... Selamat ya, Om Farhan." Nisa duduk lagi dan pandangannya mengarah ke temannya."Kamu mau menghampiri teman kamu? Nis, Dede Mas yang jagain," tanyaku."Duh kamu ini Mas, pengertian banget sih! Beneran nih? Boleh gitu, Mas," ujarnya."Beneran, boleh," jawabku."Gak lah Mas, ga enak dong, apa kata dia nanti, terus habis ini kita mau kemana?" Nisa bertanya dan aku yang tidak tahu, kemudian melihat jam di tanganku."Terserah mau ke mana, Nis, masih banyak waktu kok," jawabku."Cesss ...."Tumpahan air mengenai bajuku."Yah Dede, baju Om basah tuh sedikit," Nisa spontan tidak sadar mengambil tissue dan mengelap baju kemejaku secara perlahan-lahan.Mengusapnya terus dengan tissue. Aku diam dan memandanginya secara dekat, Nisa tidak sadar kalau mataku tertuju pada wajahnya dengan dekat sekali."Eh, duh. Maaf Mas, Nisa lupa."Terkejut kaget dan langsung melepaskan tanggannya yang tadi memegang kemejaku."Hahaa, kok di lepas Nis, belum bersih tuh, hee," candaku memintanya lagi supaya Nisa mau membersihkan lagi."Au ah, Masnya keenakan, hee.""Ini baru satu anak loh, Mas, coba kalau ke tiganya kumpul, apa masih lanjut, Mas," Nisa mengulang kembali."Lanjut dong."Meja kami sedikit berantakan, aku dan Nisa coba sambil merapikan."De, Om mau ke toilet dulu ya, sebentar aja," aku berdiri sambil menggendong dan memindahkannya pada Nisa."Sini, De, Omnya mau pipis dulu."Tidak sengaja aku bersentuhan dengan Nisa, senyumannya Nisa terlontar dan tepat mengenai jantung hatiku. "Bentar, ya."Berjalan menuju toilet dengan senyum paling lebar selama hidupku, beberapa meter aku berjalan dan menoleh ke belakang melihat Nisa. Ternyata Nisa juga sedang memandangiku.Keciduk dah! Bersambung.Aihh! Kita saling senyum lagi.Aku dan Nisa telah sampai pada sebuah rumah yang terlihat lumayan cukup luas, dengan warna cat kuning terkesan jelas bentuknya. Pekarangan halaman dengan berbagai macam pepohonan menambah mendamaikan hati. Ya, aku tengah berdiri di depan rumah Bapakku. Di wilayah ini Bapakku merupakan orang terpandang karena memiliki sawah yang luas serta perkebunan, memperkerjakan para petani yang berasal dari lingkungan daerah ini juga.Aku menoleh memandangi Nisa yang sedikit takjub melihat rumah Bapakku, jantung ini semakin berdegub kencang. Sempat aku hentikan langkahku untuk menghela nafas, mencoba menenangkan diri sebelum masuk ke rumah.Nisa merapikan dirinya dan mengusap serta membersihkan wajahnya."Yah, aku kok deg-degan, ya," lirih Nisa melepaskan genggaman tanganku."Sama Bun, Ayah juga nih, heee," cetusku mengelus dada."Dih Ayah, kok Ayah ikutan sih, masa sama orang tua sendiri Ayah takut, hayoo ... Karena aku seorang janda, ya," Nisa melontarkan kata-kata yang membuatku kaget."Eh, gak
Aku membayar dan memberikan kartu identitasku, lalu kami di arahkan menuju ke kamar. Aku lihat Nisa hanya diam saja, masih aneh! Gumamku dalam hati. Kenapa ia tidak seperti biasa yang ada rasa takut jika terjadi suatu hal karena berdua dalam satu kamar, seringnya Nisa yang selalu mengingatkan supaya menjauhi agar menjaga sampai menikah. Tapi, ini kok malah ia yang mengajak, senyumnya serasa menghilang.Krek ...."Silahkan masuk Pak, mau ada pesanan lain, teh panas atau kopi mungkin?" tanya staff penginapan."Boleh deh Pak, teh manis panas dan kopi panas, ya," jawabku dan memesannya."Baik Pak, sebentar, ya," staff itu meninggalkan kamar kami.Aku merapatkan pintu kamar menunggu pesanan minumanku diantar."Ya udah, kamu tiduran dulu, Bun, Yah dah pesan teh manis," ucapku pada Nisa.Perlahan Nisa merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, aku menunggu duduk di bangku, sembari mengecharge ponselku."Tok ... Tok, permisi," suara dari lu
Aku memberanikan diri mengajak Nisa menemui kedua orang tuaku di kampung. Berhubung karyawanku sudah kembali. Jadi, kios sudah ada yang menjaganya.Rencananya besok aku dan Nisa berangkat. Sementara anak-anak di titipkan kepada saudaranya.Segera aku mempersiapkan semuanya."Semoga saja, Bapak dan Ibu menyetujuinya," gumamku sembari mengemas beberapa pakaian untuk aku bawa."Bunda, kamu udah siap-siap belum," tanyaku pada Nisa."Udah Yah, jam berapa kita berangkat Yah, menitipkan anak-anak dulu ya, Yah," cetus Nisa."Sore ini kali ya, Bun, jadi Ayah bermalam dulu di rumah kamu, besok pagi baru kita berangkat, gimana?" Pintaku."Ya udah Yah, Bunda bergegas kalau gitu," Nisa mengiakan.Aku memberi penjelasan pada karyawanku dan mempercayai semuanya untuk beberapa hari saja dan menekankan agar menjaga kesehatan, jangan paksakan jika sudah letih atau kondisi warung ramai, tidak harus tutup malam."Ayo Bun, kita berangkat," cel
Pov : Yudi"Lihat aja! Gue, enggak akan tinggal diam, pokoknya berbagai cara pasti gue lakukan untuk mendapatkan Nisa kembali atau gue, buat Nisa tidak tidur nyenyak."Yudi berucap dalam hati, langkahnya dengan penuh kebencian karena kekecewaan seusai ke luar dari kontrakan Nisa. Hatinya telah tertutup kabut hitam, bisikkan jahat telah merasukinya."Ayo Pak, kita pulang," pintanya pada Supir yang telah menunggu cukup lama."Oke, Pak," Pak Supir tidak banyak berkata, melihat raut wajah Yudi yang terlihat berubah penuh dengan amarah.Pak Supir masuk ke dalam mobil, menyalakan mobil. Yudi duduk di bangku depan. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, membuka menu kontak dan menskrolnya mencari sebuah nama kontak teman lamanya. Yudi membutuhkan bantuan perihal infornasi masalah pelet dan sihir. Berapapun biayanya akan ia bayar, asalkan mampu dan berhasil, apa yang menjadi keinginannya terwujud.Yudi telah menemukan kontak temannya lalu mengirim pesan
Hari yang paling tidak mengenakkan adalah disaat mantan Suaminya bertemu anaknya dan bersama itu juga aku melihatnya serta duduk bersama. Apa lagi dengan cara bodoh yang ia lakukan menguntil diam-diam, rasa cemburu ditambah terbakar lagi karena kini, ia mengetahui rumah kontrakan yang di tempati Nisa dan anak-anaknya.Aku emosi dan segera menghampirinya."Ayuk Bun, kita ke kontrakan, maunya apa sih mantan Suami kamu itu, enggak punya etika banget," ucapku."Ya udah yuk, Yah. Tapi jangan ribut ya Yah, ingat tetangga berdempetan, kalau kita diusir gimana? Wilayah ini juga kan tempat Ayah cari rejeki," tutur Nisa."Iya, ya. Bener juga kamu Bun," gumamku dalam hati sambil memikirkan perkataan Nisa, ada benarnya juga, ya. Bisa jelek di mata pelangganku nantinya."Oke, Bun, Ayah enggak akan marah-marah, kok," sahutku.Aku dan Nisa berjalan keluar kios, langkahku terasa malas dan berat. Panas mentari semakin menampakkan sinarnya, seiring bara di hatiku
Aku telah sampai dan berhenti tepat di gang rumah kontrakan Nisa. Kemudian aku membayar tarif taksi online, aku turun terlebih dahulu untuk menggendong anaknya Nisa, membuka pintu belakang mobil dan meraih anaknya yang tengah tertidur. Disusul kedua anaknya turun melalui pintu belakang mobil sebelah kanan.Terlihat wajah yang masih mengantuk diantara anak-anaknya, kami berjalan masuk melalui gang bersama-sama."Yah, tumben rame sih, Ibu-ibu," bisik Nisa."Udah biarin saja, permisi saja Bun, lirihku perlahan."Permisi, Bu ...," Aku dan Nisa berucap."Wah, habis jalan-jalan nih, Mas Farhan dan Mba Nisa," celetuk salah satu Ibu-Ibu."Iya Bu, persiapan nikah," aku menjawabnya dengan sengaja dan Nisa tersenyum mengangguk."Oh ya udah kalau gitu, cepat-cepat deh, Mas," Ibu itu menjawab.Jawabannya mengandung makna yang tidak mengenakkan."Insya Allah, Bu," ujarku sambil melangkah melanjutkan berjalan.****Kembali ke Yudi.