LOGIN
“Aah… sayang… emmhh... sebentar. Oughh ~"
'Keparat, bajingan! Dasar tidak tau malu! Bisa-bisanya bercumbu di depanku! Kurang ajaaaarrr!' Sungguh! Banyak sekali sumpah serapah di kepala Nobu. Ingin diteriakan semua, tapi apa yang bisa dilakukan pecundang seperti dirinya selain mengutuk dalam hati. Meski dua sejoli itu sudah keterlaluan, Nobu pilih bungkam seolah tak terganggu. "Sayang... beneran deh jangan di sini, aku malu tau. Itu tuh! Si Nobu liatin kita terus." dagu Si Gadis terangkat ke arah Nobu yang berjarak hanya empat meter dari mereka. Pria diatasnya menoleh ke arah yang sama. Dilihatnya Nobu sibuk dengan laptop dan kertas-kertas tugas. Seharusnya tugas itu adalah tanggung jawab bersama. Empat orang, harusnya. Tapi lihat! Hanya Nobu saja yang kerja sendirian. Sang ketua kelompok tidak bisa hadir, tapi ia memberi uang sebagai ganti. Nah, masalahnya ada pada dua orang ini. Tidak ingin buang kesempatan, mereka mengundang serta pasangan masing-masing. Saat ini, Bagas dan pasangannya berada dalam kamar, berdua saja. Dari 'uh-ah, uh-ah!' yang terdengar, bisa ditebak apa yang sedang mereka lakukan. Belum lagi, si keparat ini yang paling tidak punya otak. Bisa-bisanya beradegan mesum di hadapan temannya sendiri. "Biarin ajalah, Sayang, Mungkin ada yang mau ditanyain tentang tugas, pura-pura nggak lihat aja. Aku sedang malas buka buku." Lia menggigit bibirnya ragu. "Tapi tetap aja, bikin canggung tau! Apa kita nggak bisa pindah ke tempat lain yang lebih sepi?" ”Kenapa? Pacarku yang cantik ini udah nggak tahan, ya?" goda Kevin nakal. ”Ya, nggak harus di sini juga, Sayang. Kita kan bisa ke hotel atau ke kontrakan aku aja. Teman satu kost-ku kebetulan lagi pulang kampung. Jadi ... umm... gimana, mau ya?” rengek Lia manja. Kevin tak peduli lagi. Syahwatnya sudah terbakar. Saking tidak peduli, Ia berani membuka kancing kemeja Lia, tiga kancing teratas lepas. Saat disingkap lebar, sepasang dada indah dibalut bra seksi terpampang menggiurkan. Kevin sampai menelan ludah saking berselera. "Sayang... aku malu." Lagi-lagi Lia mengeluh. Kehadiran Nobu membuatnya tidak nyaman. “Gapapa, kasih tontonan gratis buat perjaka ting-ting. Kasian, kan?” ujar Kevin, setengah berbisik. ”Ha! Serius?” Lia lupa dengan rasa malunya, sekarang malah penasaran. ”Nobu masih perjaka? Hari gini masih perjaka?” Lia terkekeh kecil, tapi cukup untuk sampai ke telinga Nobu. Kekehan yang lebih terasa seperti ejekan. Seperti belati, menusuk hati Nobu pelan-pelan. Kevin hanya menjawab dengan anggukan malas, lebih asyik dengan mainan di tangannya—atau lebih tepatnya dengan gunung kembar milik Lia. Keduanya semakin hanyut dalam percumbuan, tidak mereka pedulikan sosok lain yang masih ada di situ. Seakan Nobu hanyalah bayang-bayang tak berarti, hantu yang terlupakan di sudut ruangan.'Bajingan! Keparat! Kalian kelewat batas!'' maki Nobu masih dalam hati. Tidak lagi bisa diabaikan. Bisa gila dia kalau bertahan di sana lebih lama. Padahal sudah rela kalau dalam kelompok hanya jadi kuda beban, dan sekarang sambil mempertontonkan aksi percintaan, keduanya terang-terangan menghina harga dirinya juga. Dikemasi barang-barangnya, satu persatu masuk dalam tas. Kevin dan Lia melihat Nobu berdiri kemudian berjalan menuju pintu. Hampir dipanggil oleh Kevin, tapi Lia buru-buru menggeleng sembari pasang wajah memelas manja. "Biarin aja, Sayang. Aku takut liat mukanya. Serem kayak monster! Pantas aja masih perjaka." "Haha... Nobu Si Monster!" Lepas tawa Kevin mendengar ucapan kekasihnya. "Daripada mikirin dia, mending kita...." Pandangan Kevin tertuju pada dada Lia yang telah lolos dari bra. Hasrat membakar matanya, dan tatapan penuh keinginan, Kevin menyerbu bagai serigala lapar. Mereka tak tahu, di balik pintu yang setipis kertas itu, Nobu mendengar segalanya. Setiap cemoohan, setiap erangan, bagai palu godam menghantam jiwanya. Matanya menangkap sebatang balok kayu di sudut ruangan, dan sesaat, iblis dalam dirinya berbisik, Mereka harus mati! Hancurkan mereka! Tangan gemetarnya menggenggam balok itu erat-erat, jantungnya berdegup kencang bagai genderang perang. Namun, akal sehat tiba-tiba menamparnya keras. “Brengsek! Brengsek! Brengsek!” Balok kayu itu dilemparkan, menggema saat menghantam lantai. "Wajahku memang mirip monster, tapi aku bukan pembunuh!” “Dasar bodoh!” Nobu berpikir apa dosa jika aku masih perjaka? Merekalah yang gila! “Kalian berdua… kalau tidak mati besok, aku sumpahin kalian kena penyakit kelamin!” Suaranya nyaris pecah di tenggorokan karena tercekat amarah. Nobu terhenti di anak tangga kedua menuju lantai bawah, tubuhnya gemetar, jantungnya masih tidak karuan. Sekarang Nobu sangat menyesal kenapa pula dulu terlalu jujur cerita kalau belum pernah bercinta. Ah, jangankan hubungan intim, pacar saja dia belum pernah punya. Oke, anggap saja dia bohong bilang sebaliknya, tapi dengan penampilan seperti itu, siapa yang akan percaya? Tidak akan ada. Kulitnya pucat bagai mayat, lingkaran hitam di sekitar matanya serupa bayang-bayang kematian, dan alisnya yang tebal tak karuan menyerupai sarang laba-laba di kastel vampir. Namun, yang benar-benar membuat Nobu nampak seram adalah giginya yang tumbuh dengan cara aneh—berdesakan, tumpang tindih, seperti pintu goa angker dalam lembah kelam. Seolah-olah saat buka mulut, makhluk-makhluk seram beterbangan keluar. Karena itulah Nobu selalu menutup mulut, hanya berbicara jika terpaksa. Belum lagi kacamata tebal dengan bingkai hitam besar, tampak seperti ilmuwan gila yang tersesat dalam laboratorium. Pakaiannya? Tabrak model, tabrak warna, seolah sengaja dirancang untuk membuat mata orang lain perih. Entah darimana selera itu dia dapatkan, bukannya menyamarkan kekurangan di wajah, Nobu justru makin memuluskan dirinya ber-cosplay jadi makhluk mengerikan. Benar kata Lia, wajahnya persis monster. Masih terduduk di tangga, Nobu tenggelam dalam lautan amarah. Dia heran kenapa pula gadis itu tertawa saat tau dirinya masih perjaka. Padahal menurut Nobu, dialah yang harusnya malu. Mahkotanya bisa dengan mudah dijamah oleh Kevin secara gratis. “Hufft…” Nobu mengembuskan nafas berat. Amarahnya sedikit berkurang sekarang, kepalanya pun mulai dingin. Yang dia inginkan hanyalah keluar dari gedung, kembali ke kamar kosnya yang sempit. Mengurung diri lagi seperti biasa. Ia sampai di bawah, menyusuri gang pertama, tapi secara tiba-tiba dari arah depan, satu rombongan pria datang mendekat. Tatapan mereka sungguh garang, seolah bisa menghancurkan apa saja. “ITU DIA! TANGKAP SI JELEK ITU!” Nobu bingung. Menolehlah dia ke kiri, kanan, serta belakang, tidak ada siapapun selain dirinya. “JANGAN LARI KAU!” Salah seorang dalam rombongan menunjuk padanya. “A-aku?” Sungguh, Nobu tidak tau apa yang terjadi, yang jelas instingnya mengatakan dia harus kabur. Nobu berbalik, lalu lari sekencangnya. “TANGKAP DIA!” Rombongan itu mengejar. Sekarang Nobu jadi yakin kalau memang dirinya yang diincar. “Tapi kenapaaaa….??!!”"Tidak ada alasan! Saya sudah ingatkan kalau makalah kali ini sangat penting. Empat minggu itu waktu yang cukup panjang. Jadi tidak ada alasan! Kalau saya bilang hari ini terakhir, maka hari ini terakhir." Pria tua dengan kacamata tebal melihat jam di tangan. "Kalian masih punya tiga puluh menit sebelum saya pulang."Tiga puluh menit, itu mustahil! pikir Nobu. ”Tapi, Pak. Saya benar-benar sudah kerjakan. tapi waktu ma—””Jadi, cuma kau yang mengerjakan? Bagaimana dengan Tama, Kevin, Bagas?” Dosen tua dengan wajah tegas melirik tajam pada ketiganya. Mereka ada di sana, tapi diam saja.”I-itu,” Nobu menyesal karena terdesak membuatnya salah bicara. ”M-maksud saya, sudah kami kerjakan, tapi waktu mau dicetak, komputer yang saya pakai kena virus termasuk flashdisk-nya juga. Tolong kasih satu hari lagi, Pak! Besok pagi-pagi sekali sudah ada di meja Bapak.” ucap Nobu dengan kedua tangan terlipat.Pak Tantowi menggeleng, wajahnya dingin seperti batu. "Nol! Nilai kalian nol! Keluar sekarang,
“Aku tidak mau!”“Oh, ayolah, itu sangat mudah.”“Mudah, katamu.” Nobu tertawa getir. Jangankan mencium, menatap mata seorang gadis saja tak ada nyalinya, lalu ini pula … diminta mencium sembarang orang. Gila!Menolak kerjasama dengan makhluk seperti Zayreena, Nobu pikir dia sudah membuat keputusan yang tepat. Bayangkan saja, belum lagi apa-apa, sang dewi sudah membuatnya berdiri di tepi jurang.“Maaf, aku ada urusan lain.”“Lemah!” Baru satu langkah, suara Zayreena menghentikan.“Aku?”“Ya, kau lemah, Nobu.”“Bukan tentang lemah, tapi tantanganmu tidak masuk akal.” Nobu menggaruk kepala. “Aku memang butuh uang, tapi … serius saja! Mencium orang asing? Aku bisa dipenjara! Atau diludahi! Atau... diamuk massa! Kamu tidak liat banyak orang di sini. Bukan monster saja, bisa-bisa aku dikenal Nobu Si Mesum. Ah! Memikirkannya saja bikin aku gila. Bukannya membantu malah bikin tambah masalahku. ”“Wow.” Tatapan Zayreena justru seolah kagum. “Kau sadar Nobu, bukankah ini adalah kalimat terpanj
“Hahh…” Nobu melempar tubuh ke atas ranjang, tapi pikirannya masih terbelenggu pada kejadian tadi. Zayreen, Dewi Zayreena. Nama itu melekat jelas di kepala. Sosok apa sebenarnya wanita itu? Nobu pikir mimpi, tapi handuk kecil yang diberikan tadi, masih ada di tangannya. Bukan halusinasi, ini nyata. Seharian dengan kejadian menguras emosi, serta kehadiran Zayreena, makhluk nisterius yang tiba-tiba datang, tiba-tiba hilang, membuat dirinya lelah. Tidak perlu waktu lama, Tubuh itu pun terlelap, masuk menuju mimpi yang paling dalam.Zzz ... zzz …‘Kabut apa ini…? Hmm… nyamannya…’ Nobu menghirup nafas panjang. Kabut kuning keabuan menyelimuti sekitar, lembut bagai sentuhan sutra membelai kulit. Aroma memabukkan—perpaduan cendana, melati, dan... sesuatu yang liar—sungguh menggoda indranya, menariknya lebih dalam, lebih nyaman. Lalu lamat-lamat terdengar suara rintik air jatuh, ia berjalan ke arah suara, ternyata sebuah kolam. Diperhatikannya dengan mata menyipit. "Apa itu …?" Sesuatu
Sekarang Nobu jadi yakin kalau memang dirinya yang diincar. “Tapi kenapaa....??!! Sambil berlari masih bisa didengarnya teriakan para pria.“Jangan lari!"“Tangkap penculik itu!”"Hah! Peculik?" Dadanya sesak, nafasnya ngos-ngosan, tapi otaknya lebih tidak karuan. "Penculik apa? Ya Tuhan, apalagi ini?"“BERHENTI….!!”"Matilah aku!" Nobu menahan langkah. Tiga orang pria muncul di depan. Dia terkepung.Harus berpikir cepat. Di sisi kanan, matanya menangkap pembatas teralis di atas tangga tingkat dua. Tanpa pikir panjang, ia melesat, kakinya menapaki anak tangga sekuat tenaga."Jangan kabur!""Tangkap dia!Teriakan mereka bagai raungan binatang buas.“Clek!” Pagar teralis terkunci tepat waktu. Pagar itu cukup kuat—setidaknya untuk saat ini. Sementara, di depan, belasan wajah garang menatapnya dengan nafsu membunuh. Tangan-tangan terkepal, mata-mata penuh dendam."Keluar kau!""Jangan kira bisa kabur!"Beruntung tinggi pagar teralis menutup sampai langit-langit, kalau tidak, mereka pasti
“Aah… sayang… emmhh... sebentar. Oughh ~"'Keparat, bajingan! Dasar tidak tau malu! Bisa-bisanya bercumbu di depanku! Kurang ajaaaarrr!'Sungguh! Banyak sekali sumpah serapah di kepala Nobu. Ingin diteriakan semua, tapi apa yang bisa dilakukan pecundang seperti dirinya selain mengutuk dalam hati. Meski dua sejoli itu sudah keterlaluan, Nobu pilih bungkam seolah tak terganggu."Sayang... beneran deh jangan di sini, aku malu tau. Itu tuh! Si Nobu liatin kita terus." dagu Si Gadis terangkat ke arah Nobu yang berjarak hanya empat meter dari mereka.Pria diatasnya menoleh ke arah yang sama. Dilihatnya Nobu sibuk dengan laptop dan kertas-kertas tugas.Seharusnya tugas itu adalah tanggung jawab bersama. Empat orang, harusnya. Tapi lihat! Hanya Nobu saja yang kerja sendirian.Sang ketua kelompok tidak bisa hadir, tapi ia memberi uang sebagai ganti. Nah, masalahnya ada pada dua orang ini. Tidak ingin buang kesempatan, mereka mengundang serta pasangan masing-masing.Saat ini, Bagas dan pasangan







