LOGINSekarang Nobu jadi yakin kalau memang dirinya yang diincar. “Tapi kenapaa....??!!
Sambil berlari masih bisa didengarnya teriakan para pria. “Jangan lari!" “Tangkap penculik itu!” "Hah! Peculik?" Dadanya sesak, nafasnya ngos-ngosan, tapi otaknya lebih tidak karuan. "Penculik apa? Ya Tuhan, apalagi ini?" “BERHENTI….!!” "Matilah aku!" Nobu menahan langkah. Tiga orang pria muncul di depan. Dia terkepung. Harus berpikir cepat. Di sisi kanan, matanya menangkap pembatas teralis di atas tangga tingkat dua. Tanpa pikir panjang, ia melesat, kakinya menapaki anak tangga sekuat tenaga. "Jangan kabur!" "Tangkap dia! Teriakan mereka bagai raungan binatang buas. “Clek!” Pagar teralis terkunci tepat waktu. Pagar itu cukup kuat—setidaknya untuk saat ini. Sementara, di depan, belasan wajah garang menatapnya dengan nafsu membunuh. Tangan-tangan terkepal, mata-mata penuh dendam. "Keluar kau!" "Jangan kira bisa kabur!" Beruntung tinggi pagar teralis menutup sampai langit-langit, kalau tidak, mereka pasti bisa memanjat. Maka matilah dia! “Pak, saya salah apa? Kenapa kalian mengejar saya?” Nobu terengah, napasnya tersengal, “Kau tanya salah apa? Dasar penculik kurang aja!" maki salah seorang. Makin kebingungan Nobu dibuatnya. “Penculik apa, Pak? Saya menculik siapa?” “Mana anaknya? Bawa kesini!” Tak lama, muncul seorang ibu muda menggendong anak umur sekitar tiga atau empat tahun. Celakanya, anak itu langsung menunjuk Nobu. “Om jahat,” ucapnya sambil menangis.‘Hah! Itu kan anak yang tadi pagi.’ Nobu ingat kejadiannya. “Kalian salah paham.” Sedikit lega karena sudah tau akar permasalahan, dan Nobu pikir dia hanya perlu jelaskan dan selesai. “Tadi anak ini hampir tertabrak sepeda. Saya justru menolongnya.” "Aah! Banyak alasan!" Malah bentakan yang dia Terima. "Sudahlah mukamu jelek, sifatmu jelek pula!" sahut yang lain, disambut tawa penuh ejekan. "Kalau tidak salah, kenapa pula kau lari?” timpal yg lain, “Cepat keluar! Orang kayak kau pantas mati!” Oh tidak, ternyata tidak semudah dipikiran Nobu. "Demi Tuhan, aku bukan penculik. Kalian salah orang." Nobu sampai berlutut, suaranya mulai bergetar. "Tolong percayalah padaku! Aku bukan orang jahat!" Namun kata-katanya itu menguap sia-sia. Wajar jika warga di sana murka. Sepanjang tahun ini saja sudah ada lima kasus penculikan yang sama, semua korbannya anak-anak. Terlebih kasus terakhir baru terjadi seminggu ini, sedang hangat-hangatnya. “Bakar dia! Bayangkan kalau anak kalian yang jadi korban.” Suara teriakan wanita. Entah sejak kapan wanita itu ada di sana, yang jelas dia berhasil melempar bom kebencian pada massa. Amarah mereka meledak. Semua mulai menggila. "Tolong percayalah! Kalian salah orang. Bukan saya orangnya!" Dengan kedua telapak tangan terlipat di dada, Nobu bersimpuh. "Jangan kasih lolos! Penculik itu harus mati!” "Bakar... bakar ... bakar!" Kerumunan riuh, suara mereka bagai paduan suara kematian, seolah mengisap jiwa Nobu keluar dari tubuhnya. Makin tak terkendali, mereka menyerbu pagar pembatas kencang-kencang. Melihat engsel pagar mulai longgar, Nobu pasrah. 'Ya Tuhan, apa aku akan mati seperti ini?' Tidak ada yang bisa dilakukan, dijelaskan seperti apapun tidak akan ada yang percaya. Nobu pasrah. Sedikit lagi pagar lepas. Hidupnya akan menemui akhir tragis. "Tuhan, ini tidak adil!" Klik! Tiba-tiba dari arah samping, sebuah pintu terbuka. Seorang pria melangkah keluar, dan seketika dunia seolah terhenti. “Ada apa ini?” tanyanya. Hening. Bukan karena pertanyaan, melainkan karena sosok yang baru muncul itu. Wajahnya memancarkan pesona yang tak bisa dijelaskan. Rambutnya yang tersisir rapi, matanya yang dalam bagai lautan, senyumnya yang seolah menyimpan rahasia alam semesta. Berlebihan memang, tapi begitulah rupanya. Semua mata terpaku, termasuk Nobu, untuk sesaat lupa bahwa nyawanya sedang di ujung tanduk.Siapa dia? Malaikat? Bukan hanya Nobu, kerumunan yang tadi mengamuk kini terdiam, seolah terhipnotis “Jelaskan padaku. Apa yang terjadi di sini?” Nada suaranya tidak meninggi, tapi cukup membuat massa terdiam. Dalam hening itu, Nobu menemukan keberaniannya lagi. Ia menyeret langkah mendekat. Bagai menjangkar harapan terakhir, tubuhnya merosot hingga memeluk kaki pria itu. “Pak, tolong saya, Pak! Mereka mau membunuh saya!” “Berikan dia pada kami! Itu sindikat penculik anak!” seseorang berteriak. “Demi Tuhan, saya bukan penculik!” Nobu memohon, suaranya nyaris patah. “Mereka salah paham.” “Salah paham bagaimana?” Pria itu menatapnya — tatapan yang menembus, seolah bisa melihat isi hati. “Jelaskan,” katanya pelan. Dengan napas tersengal, Nobu menceritakan segalanya: tentang anak kecil yang nyaris tertabrak, tentang kerumunan yang tiba-tiba menyerangnya. “Bohong! Jangan percaya!” seseorang menyela. “Kalau penjahat jujur, penjara pasti penuh!” Kerumunan bergemuruh lagi. Pagar bergetar, suara besi menjerit. “Cukup.” Satu kata itu, datar dan dingin, tapi cukup untuk mematikan amarah puluhan orang. “Jangan biarkan kemarahan membuat kalian jadi pembunuh,” lanjutnya. “Kalau kalian benar, buktikan dengan kepala dingin. Setiap sudut jalan punya mata — kamera pengawas. Mari kita lihat apakah dia berbohong.” Kata-kata itu seperti air disiram ke api. Orang-orang saling pandang, seolah baru tersadar dari kebodohan kolektif. Bisikan mulai muncul: CCTV? Ya, CCTV… kenapa tak terpikirkan? Beberapa jam kemudian, rekaman itu bicara. Nobu bukan penculik — justru penyelamat. Namun, kemenangan itu hambar. Cemoohan baru menggantikan tuduhan. “Wajar dikira penjahat, lihat mukanya ngeri begitu,” kata seseorang. “Pantas anak kecil itu nangis, kirain monster!” tawa lain menyusul. Nobu hanya diam. Ia tak lagi punya tenaga untuk marah. “Bagaimana, sudah tenang?” Suara pria itu lembut, terlalu lembut untuk ukuran manusia biasa. Nobu mengangguk pelan. Ia kini duduk di ruang flat pria itu — interiornya modern, tapi dingin. Tak ada bingkai foto, tak ada tanda kehidupan selain aroma samar cendana. “Terima kasih, Pak. Kalau tidak ada Anda, saya—” “Jangan terburu-buru,” potong pria itu. “Bersihkan dulu wajahmu.” Nobu baru sadar tubuhnya penuh noda telur busuk dan debu. Ia mengangguk, lalu menuju kamar mandi. Di depan cermin, wajahnya menatap balik — pucat, aneh, dengan gigi berjejal. Ia tersenyum miris. ‘Benar, mereka tak salah. Aku memang seperti monster.’ Ia membasuh wajahnya, lalu kembali keluar. “Sudah selesai?” tanya pria itu tanpa menoleh. “Iya, kalau begitu saya pamit.” “Kenapa buru-buru, Nobu?” Nada itu membuat Nobu berhenti. “Bukannya kau tidak ada jadwal kuliah hari ini?” Nobu menatapnya — darahnya terasa dingin. Ia menelusuri ingatan. Tidak, ia tak pernah menyebutkan nama, apalagi jadwal kuliah. “Maaf, Pak.” suaranya bergetar. “Bagaimana Anda tahu nama saya?” Pria itu akhirnya berbalik. Senyum tipis menghiasi bibirnya — terlalu tenang untuk manusia biasa. Dalam sekejap, cahaya di ruangan bergetar samar, udara menipis. Sosok di hadapan Nobu perlahan berubah — bahunya menipis, rambutnya memanjang, wajahnya melunak jadi lembut, tapi tetap berbahaya. Mata yang tadinya dingin kini berkilat perak. “Sudah kuduga kau akan bertanya itu.” Suaranya berubah, lebih tinggi, namun menggema di kepala Nobu. “Aku bukan ‘Pak’. Namaku Zayreena. Dewi Zayreena.” Ia tersenyum, bibirnya merah seperti darah. “Dan kita akan bertemu lagi, Nobu.”"Tidak ada alasan! Saya sudah ingatkan kalau makalah kali ini sangat penting. Empat minggu itu waktu yang cukup panjang. Jadi tidak ada alasan! Kalau saya bilang hari ini terakhir, maka hari ini terakhir." Pria tua dengan kacamata tebal melihat jam di tangan. "Kalian masih punya tiga puluh menit sebelum saya pulang."Tiga puluh menit, itu mustahil! pikir Nobu. ”Tapi, Pak. Saya benar-benar sudah kerjakan. tapi waktu ma—””Jadi, cuma kau yang mengerjakan? Bagaimana dengan Tama, Kevin, Bagas?” Dosen tua dengan wajah tegas melirik tajam pada ketiganya. Mereka ada di sana, tapi diam saja.”I-itu,” Nobu menyesal karena terdesak membuatnya salah bicara. ”M-maksud saya, sudah kami kerjakan, tapi waktu mau dicetak, komputer yang saya pakai kena virus termasuk flashdisk-nya juga. Tolong kasih satu hari lagi, Pak! Besok pagi-pagi sekali sudah ada di meja Bapak.” ucap Nobu dengan kedua tangan terlipat.Pak Tantowi menggeleng, wajahnya dingin seperti batu. "Nol! Nilai kalian nol! Keluar sekarang,
“Aku tidak mau!”“Oh, ayolah, itu sangat mudah.”“Mudah, katamu.” Nobu tertawa getir. Jangankan mencium, menatap mata seorang gadis saja tak ada nyalinya, lalu ini pula … diminta mencium sembarang orang. Gila!Menolak kerjasama dengan makhluk seperti Zayreena, Nobu pikir dia sudah membuat keputusan yang tepat. Bayangkan saja, belum lagi apa-apa, sang dewi sudah membuatnya berdiri di tepi jurang.“Maaf, aku ada urusan lain.”“Lemah!” Baru satu langkah, suara Zayreena menghentikan.“Aku?”“Ya, kau lemah, Nobu.”“Bukan tentang lemah, tapi tantanganmu tidak masuk akal.” Nobu menggaruk kepala. “Aku memang butuh uang, tapi … serius saja! Mencium orang asing? Aku bisa dipenjara! Atau diludahi! Atau... diamuk massa! Kamu tidak liat banyak orang di sini. Bukan monster saja, bisa-bisa aku dikenal Nobu Si Mesum. Ah! Memikirkannya saja bikin aku gila. Bukannya membantu malah bikin tambah masalahku. ”“Wow.” Tatapan Zayreena justru seolah kagum. “Kau sadar Nobu, bukankah ini adalah kalimat terpanj
“Hahh…” Nobu melempar tubuh ke atas ranjang, tapi pikirannya masih terbelenggu pada kejadian tadi. Zayreen, Dewi Zayreena. Nama itu melekat jelas di kepala. Sosok apa sebenarnya wanita itu? Nobu pikir mimpi, tapi handuk kecil yang diberikan tadi, masih ada di tangannya. Bukan halusinasi, ini nyata. Seharian dengan kejadian menguras emosi, serta kehadiran Zayreena, makhluk nisterius yang tiba-tiba datang, tiba-tiba hilang, membuat dirinya lelah. Tidak perlu waktu lama, Tubuh itu pun terlelap, masuk menuju mimpi yang paling dalam.Zzz ... zzz …‘Kabut apa ini…? Hmm… nyamannya…’ Nobu menghirup nafas panjang. Kabut kuning keabuan menyelimuti sekitar, lembut bagai sentuhan sutra membelai kulit. Aroma memabukkan—perpaduan cendana, melati, dan... sesuatu yang liar—sungguh menggoda indranya, menariknya lebih dalam, lebih nyaman. Lalu lamat-lamat terdengar suara rintik air jatuh, ia berjalan ke arah suara, ternyata sebuah kolam. Diperhatikannya dengan mata menyipit. "Apa itu …?" Sesuatu
Sekarang Nobu jadi yakin kalau memang dirinya yang diincar. “Tapi kenapaa....??!! Sambil berlari masih bisa didengarnya teriakan para pria.“Jangan lari!"“Tangkap penculik itu!”"Hah! Peculik?" Dadanya sesak, nafasnya ngos-ngosan, tapi otaknya lebih tidak karuan. "Penculik apa? Ya Tuhan, apalagi ini?"“BERHENTI….!!”"Matilah aku!" Nobu menahan langkah. Tiga orang pria muncul di depan. Dia terkepung.Harus berpikir cepat. Di sisi kanan, matanya menangkap pembatas teralis di atas tangga tingkat dua. Tanpa pikir panjang, ia melesat, kakinya menapaki anak tangga sekuat tenaga."Jangan kabur!""Tangkap dia!Teriakan mereka bagai raungan binatang buas.“Clek!” Pagar teralis terkunci tepat waktu. Pagar itu cukup kuat—setidaknya untuk saat ini. Sementara, di depan, belasan wajah garang menatapnya dengan nafsu membunuh. Tangan-tangan terkepal, mata-mata penuh dendam."Keluar kau!""Jangan kira bisa kabur!"Beruntung tinggi pagar teralis menutup sampai langit-langit, kalau tidak, mereka pasti
“Aah… sayang… emmhh... sebentar. Oughh ~"'Keparat, bajingan! Dasar tidak tau malu! Bisa-bisanya bercumbu di depanku! Kurang ajaaaarrr!'Sungguh! Banyak sekali sumpah serapah di kepala Nobu. Ingin diteriakan semua, tapi apa yang bisa dilakukan pecundang seperti dirinya selain mengutuk dalam hati. Meski dua sejoli itu sudah keterlaluan, Nobu pilih bungkam seolah tak terganggu."Sayang... beneran deh jangan di sini, aku malu tau. Itu tuh! Si Nobu liatin kita terus." dagu Si Gadis terangkat ke arah Nobu yang berjarak hanya empat meter dari mereka.Pria diatasnya menoleh ke arah yang sama. Dilihatnya Nobu sibuk dengan laptop dan kertas-kertas tugas.Seharusnya tugas itu adalah tanggung jawab bersama. Empat orang, harusnya. Tapi lihat! Hanya Nobu saja yang kerja sendirian.Sang ketua kelompok tidak bisa hadir, tapi ia memberi uang sebagai ganti. Nah, masalahnya ada pada dua orang ini. Tidak ingin buang kesempatan, mereka mengundang serta pasangan masing-masing.Saat ini, Bagas dan pasangan







