Home / Urban / PERJAKA NEXT LEVEL / 2. Tuduhan Keliru

Share

2. Tuduhan Keliru

Author: Nezunez
last update Last Updated: 2025-10-06 18:20:57

Sambil berlari masih bisa didengarnya teriakan para pria.

“Jangan lari!"

“Tangkap penculik itu!”

"Hah! Peculik?" Dadanya sesak, nafasnya ngos-ngosan, tapi otaknya lebih tidak karuan. "Penculik apa? Ya Tuhan, apalagi ini?"

“BERHENTI….!!”

"Matilah aku!" Nobu menahan langkah. Tiga orang pria muncul di depan. Dia terkepung.

Harus berpikir cepat. Di sisi kanan, matanya menangkap pembatas teralis di atas tangga tingkat dua. Tanpa pikir panjang, ia melesat, kakinya menapaki anak tangga sekuat tenaga.

"Jangan kabur!"

"Tangkap dia!

Teriakan mereka bagai raungan binatang buas.

Clek! Pagar teralis terkunci tepat waktu. Pagar itu cukup kuat—setidaknya untuk saat ini. Sementara, di depan, belasan wajah garang menatapnya dengan nafsu membunuh. Tangan-tangan terkepal, mata-mata penuh dendam.

"Keluar kau!"

"Jangan kira bisa kabur!"

Beruntung tinggi pagar teralis menutup sampai langit-langit, kalau tidak, mereka pasti bisa memanjat. Maka matilah dia!

“Pak, saya salah apa? Kenapa kalian mengejar saya?” Nobu terengah, napasnya tersengal,

“Kau tanya salah apa? Dasar penculik kurang aja!" maki salah seorang.

Makin kebingungan Nobu dibuatnya. “Penculik apa, Pak? Saya menculik siapa?”

“Mana anaknya? Bawa kesini!”

Tak lama, muncul seorang ibu muda menggendong anak umur sekitar tiga atau empat tahun. Celakanya, anak itu langsung menunjuk Nobu. “Om jahat,” ucapnya sambil menangis.

‘Hah! Itu kan anak yang tadi pagi.’ Nobu ingat kejadiannya.

“Kalian salah paham.” Sedikit lega karena sudah tau akar permasalahan, dan Nobu pikir dia hanya perlu jelaskan dan selesai. “Tadi anak ini hampir tertabrak sepeda. Saya justru menolongnya.”

"Aah! Banyak alasan!" Malah bentakan yang dia Terima.

"Sudahlah mukamu jelek, sifatmu jelek pula!" sahut yang lain, disambut tawa penuh ejekan.

"Kalau tidak salah, kenapa pula kau lari?” timpal yg lain, “Cepat keluar! Orang kayak kau pantas mati!”

Oh tidak, ternyata tidak semudah dipikiran Nobu. "Demi Tuhan, aku bukan penculik. Kalian salah orang." Nobu sampai berlutut, suaranya mulai bergetar. "Tolong percayalah padaku! Aku bukan orang jahat!"

Namun kata-katanya itu menguap sia-sia.

Wajar jika warga di sana murka. Sepanjang tahun ini saja sudah ada lima kasus penculikan yang sama, semua korbannya anak-anak. Terlebih kasus terakhir baru terjadi seminggu ini, sedang hangat-hangatnya.

“Bakar dia! Bayangkan kalau anak kalian yang jadi korban.” Suara teriakan wanita. Entah sejak kapan wanita itu ada di sana, yang jelas dia berhasil melempar bom kebencian pada massa. Amarah mereka meledak. Semua mulai menggila.

"Tolong percayalah! Kalian salah orang. Bukan saya orangnya!" Dengan kedua telapak tangan terlipat di dada, Nobu bersimpuh.

"Jangan kasih lolos! Penculik itu harus mati!”

"Bakar... bakar ... bakar!" Kerumunan riuh, suara mereka bagai paduan suara kematian, seolah mengisap jiwa Nobu keluar dari tubuhnya.

Makin tak terkendali, mereka menyerbu pagar pembatas kencang-kencang. Melihat engsel pagar mulai longgar, Nobu pasrah. 'Ya Tuhan, apa aku akan mati seperti ini?' Tidak ada yang bisa dilakukan, dijelaskan seperti apapun tidak akan ada yang percaya.

Nobu pasrah. Sedikit lagi pagar lepas. Hidupnya akan menemui akhir tragis.

"Tuhan, ini tidak adil!"

Klik!

Tiba-tiba dari arah samping, sebuah pintu terbuka. Seorang pria melangkah keluar, dan seketika dunia seolah terhenti. “Ada apa ini?” tanyanya.

Hening. Bukan karena pertanyaan, melainkan karena sosok yang baru muncul itu. Wajahnya memancarkan pesona yang tak bisa dijelaskan. Rambutnya yang tersisir rapi, matanya yang dalam bagai lautan, senyumnya yang seolah menyimpan rahasia alam semesta. Berlebihan memang, tapi begitulah rupanya.

Semua mata terpaku, termasuk Nobu, untuk sesaat lupa bahwa nyawanya sedang di ujung tanduk.

Siapa dia? Malaikat?

Bukan hanya Nobu, kerumunan yang tadi mengamuk kini terdiam, seolah terhipnotis

“Jelaskan padaku. Apa yang terjadi di sini?” Nada suaranya tidak meninggi, tapi cukup membuat massa terdiam. Dalam hening itu, Nobu menemukan keberaniannya lagi. Ia menyeret langkah mendekat. Bagai menjangkar harapan terakhir, tubuhnya merosot hingga memeluk kaki pria itu.

“Pak, tolong saya, Pak! Mereka mau membunuh saya!”

“Berikan dia pada kami! Itu sindikat penculik anak!” seseorang berteriak.

“Demi Tuhan, saya bukan penculik!” Nobu memohon, suaranya nyaris patah. “Mereka salah paham.”

“Salah paham bagaimana?” Pria itu menatapnya — tatapan yang menembus, seolah bisa melihat isi hati. “Jelaskan,” katanya pelan.

Dengan napas tersengal, Nobu menceritakan segalanya: tentang anak kecil yang nyaris tertabrak, tentang kerumunan yang tiba-tiba menyerangnya.

“Bohong! Jangan percaya!” seseorang menyela. “Kalau penjahat jujur, penjara pasti penuh!”

Kerumunan bergemuruh lagi. Pagar bergetar, suara besi menjerit.

“Cukup.” Satu kata itu, datar dan dingin, tapi cukup untuk mematikan amarah puluhan orang.

“Jangan biarkan kemarahan membuat kalian jadi pembunuh,” lanjutnya. “Kalau kalian benar, buktikan dengan kepala dingin. Setiap sudut jalan punya mata — kamera pengawas. Mari kita lihat apakah dia berbohong.”

Kata-kata itu seperti air disiram ke api. Orang-orang saling pandang, seolah baru tersadar dari kebodohan kolektif. Bisikan mulai muncul: CCTV? Ya, CCTV… kenapa tak terpikirkan?

Beberapa jam kemudian, rekaman itu bicara. Nobu bukan penculik — justru penyelamat. Namun, kemenangan itu hambar. Cemoohan baru menggantikan tuduhan.

“Wajar dikira penjahat, lihat mukanya ngeri begitu,” kata seseorang.

“Pantas anak kecil itu nangis, kirain monster!” tawa lain menyusul.

Nobu hanya diam. Ia tak lagi punya tenaga untuk marah.

“Bagaimana, sudah tenang?” Suara pria itu lembut, terlalu lembut untuk ukuran manusia biasa. Nobu mengangguk pelan. Ia kini duduk di ruang flat pria itu — interiornya modern, tapi dingin. Tak ada bingkai foto, tak ada tanda kehidupan selain aroma samar cendana.

“Terima kasih, Pak. Kalau tidak ada Anda, saya—”

“Jangan terburu-buru,” potong pria itu. “Bersihkan dulu wajahmu.”

Nobu baru sadar tubuhnya penuh noda telur busuk dan debu. Ia mengangguk, lalu menuju kamar mandi. Di depan cermin, wajahnya menatap balik — pucat, aneh, dengan gigi berjejal. Ia tersenyum miris. ‘Benar, mereka tak salah. Aku memang seperti monster.’

Ia membasuh wajahnya, lalu kembali keluar.

“Sudah selesai?” tanya pria itu tanpa menoleh.

“Iya, kalau begitu saya pamit.”

“Kenapa buru-buru, Nobu?” Nada itu membuat Nobu berhenti. “Bukannya kau tidak ada jadwal kuliah hari ini?”

Nobu menatapnya — darahnya terasa dingin. Ia menelusuri ingatan. Tidak, ia tak pernah menyebutkan nama, apalagi jadwal kuliah.

“Maaf, Pak.” suaranya bergetar. “Bagaimana Anda tahu nama saya?”

Pria itu akhirnya berbalik. Senyum tipis menghiasi bibirnya — terlalu tenang untuk manusia biasa. Dalam sekejap, cahaya di ruangan bergetar samar, udara menipis.

Sosok di hadapan Nobu perlahan berubah — bahunya menipis, rambutnya memanjang, wajahnya melunak jadi lembut, tapi tetap berbahaya. Mata yang tadinya dingin kini berkilat perak.

“Sudah kuduga kau akan bertanya itu.” Suaranya berubah, lebih tinggi, namun menggema di kepala Nobu.

“Aku bukan ‘Pak’. Namaku Zayreena. Dewi Zayreena.”

Ia tersenyum, bibirnya merah seperti darah. “Dan kita akan bertemu lagi, Nobu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PERJAKA NEXT LEVEL   48. Ronde Kedua

    Nobu melangkah maju. Tepat di hadapan si kaos hitam, kaki kirinya maju setengah langkah, pinggul berputar.“JAB!”Tinju kanannya melesat lurus, mengenai dagu lawan.“BRAAK!”Kepala pria itu terdongak keras ke belakang, tubuhnya terangkat dari tanah, melayang dua meter, lalu menghantam aspal membuat suara dentum yang keras.Dia ambruk tak bergerak, darah segar langsung mengalir deras dari hidung dan sudut bibirnya, membentuk genangan kecil di bawah kepalanya yang jatuh miring.Dua pria yang tersisa langsung membelalak heran, kaki mereka gemetar sampai mundur selangkah bersamaan.Nobu menatap tangan kanannya yang masih mengepal, urat-urat di lengannya berdenyut keras. Matanya membulat—bukan takut, tapi girang setengah tak percaya.“Gila… cuma satu pukulan?!” Suaranya bergetar penuh adrenalin, senyum lebar mengembang di wajah itu. “Kekuatan ini… beneran nggak masuk akal!”Di kepalanya langsung berputar rencana-rencana gila yang dulu cuma berani dia simpan dalam khayalan.‘Kalau satu puku

  • PERJAKA NEXT LEVEL   47. Tiga Lawan Satu

    Nobu baru saja melambaikan tangan terakhir ke Lia yang masuk mobil. Dia menarik napas panjang, lalu berjalan sendirian menuju area parkir motor di ujung kompleks waterboom.Langit sudah jingga, lampu taman mulai menyala satu per satu.Sepatu ketsnya berderit pelan di aspal. Tangan masih memegang helm, pikiran melayang ke kata-kata Lia tadi “setahun”.Tanpa sadar, langkahnya semakin lambat.Tiba-tiba suara kasar dari belakang.“Hei, jagoan! Buru-buru amat? Pacar seksimu di mana?”Nobu langsung menoleh.Tiga orang berdiri di belakangnya, sekitar lima meter. Yang bicara tadi berkaos hitam. Di sebelahnya pemuda rambut pirang, senyumnya sinis. Nobu langsung ingat wajah-wajah itu.Mereka berdua yang tadi pagi mengganggu Lia di terowongan akuarium. Tapi yang satu orang lagi, Nobu tidak ingat melihatnya tadi. Badannya paling besar dan kekar. Tato yang entah bentuk apa terlihat di lengan kiri dan kanan. Dia berdiri di tengah dengan tangan mengepalNobu berhenti, tidak mundur selangkahpun . “Ad

  • PERJAKA NEXT LEVEL   46. Perosotan Celaka!

    Dia segera memposisikan tubuhnya di depan Lia supaya orang lain tak bisa melihat, lalu menarik ban itu ke sudut kolam yang lebih sepi.“Tunggu di sini, aku cari sekarang,” katanya cepat sambil melepas kaus renangnya sendiri dan melingkarkannya ke bahu Lia. “Pake ini dulu, nutupin.”Lia memegang kaus itu erat-erat, matanya berkaca-kaca. “Makasih, Nob…”Nobu langsung menyelam. Beberapa kali masuk-keluar air,Nobu menyelam lagi, mata terbuka lebar di bawah air. Tapi otaknya malah lari ke mana-mana.‘Bikini atasnya lepas… berarti sekarang Lia… nggak pake apa-apa di atas… YA TUHAN!’ Bayangan muncul sendiri. Nobu langsung memukul kepalanya sendiri di dalam air. ‘Berhenti! Berhenti mikir yang nggak-nggak!’Dia muncul sebentar, tarik napas, lalu tengok kanan-kiri. Beberapa cowok di pinggir kolam mulai curi-curi pandang. Ada yang nyengir genit, ada yang pura-pura sibuk tapi matanya tetap ke arah ban kuning.Nobu langsung mendekat, badannya jadi tameng hidup untuk Lia. Dia menarik ban kuning itu

  • PERJAKA NEXT LEVEL   45. Ban Kuning Penyelamat

    Petugas mengulangi arahan sambil tersenyum ramah, “Tolong kakinya diluruskan dan diletakkan di bawah lengan orang yang di depan, biar posisinya lebih aman.” Nobu menelan ludah. “Baik… begini ya?” Dengan hati-hati ia meluruskan kakinya, lalu menggeser ke depan. Ujung kakinya langsung menyentuh kulit Lia yang licin karena air—tepat di bawah lengan, dekat sisi tubuhnya. ‘Uwoooww…!’ batin Nobu langsung berteriak. ‘Ini nggak bener… kakiku nempel di sini… aaaa… mana tahan gini...!’ Lia cuma terkekeh kecil, seolah tidak terlalu peduli. “Iya, betul seperti itu! Selamat meluncur!” kata petugas sambil mendorong ban dengan kuat. “WOOOHOOOOO!!!” Lia langsung berteriak girang. Ban meluncur kencang. Kecepatan tinggi membuat tubuh mereka terdorong ke belakang. Kaki Nobu yang tadi sudah “terkunci” di bawah lengan Lia, kini tertekan lebih dalam lagi. Kulit telanjang, hangat, dan licin itu terus bergesekan dengan betisnya setiap ban berbelok. “AHHHH…” Nobu berteriak, tapi bukan karena takut ket

  • PERJAKA NEXT LEVEL   44. Two-Piece Bikini

    Di dalam toko suvenir yang ber-AC dingin, Lia sudah memilih dua handuk dan celana pendek buat Nobu. Mereka berdua masuk ke area ganti di belakang toko, lalu keluar lagi sambil bawa kantong plastik.Lia memandang Nobu yang masih memakai masker hitam seperti biasa.“Nob… buka maskernya dong,” kata Lia sambil tersenyum kecil. “Kita mau main air, nanti basah juga.”Mata Nobu langsung membulat. “B-buka masker?”“Iya, emang kenapa?” Lia mendekat, suaranya lembut. Dia tahu banget Nobu selalu menyembunyikan giginya yang berantakan. “Santai aja, aku nggak apa-apa kok.”“Bukan gitu, Li…”“Udah, lepasin aja. Aku janji nggak kaget,” goda Lia sambil terkekeh.Nobu menghela napas panjang, lalu pelan-pelan menurunkan maskernya.Begitu masker terlepas, Lia langsung terdiam. Keningnya berkerut, matanya melebar.“Nob… gigi kamu?” tanyanya pelan, jari telunjuknya menunjuk ke arah mulut Nobu.Nobu cuma nyengir kecil, malu-malu. “Hehe… iya.”Gigi depannya rapi, putih bersih, sama sekali nggak berantakan se

  • PERJAKA NEXT LEVEL   43. Gangguan Kecil

    “Sst… itu cewek sendirian,” bisik pemuda berkaos hitam pada dua temannya, matanya tertuju pada Lia.“Wah, cakep banget. Ayo samperin!” sahut yang rambutnya pirang sambil menyenggol temannya, sudah tersenyum lebar.Ketiganya langsung bergerak santai, tapi jelas menuju Lia yang sedang berdiri sendiri.Cahaya biru dari air akuarium menyorot wajah Lia, membuat kulitnya nampak makin glowing. Dia asik melihat gerombolan ikan pari yang melayang-layang di atas kepala, sambil menghitung satu-persatu jenis ikan yang dilihatnya.“Hai cantik, kok sendirian? Mau abang temenin?” kata yang paling depan, suaranya dibuat ramah tapi tatapannya jelas tidak sopan.Lia hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus ke akuarium. Dia sengaja mengacuhkan, berharap mereka segera pergi. Tapi ternyata mereka makin menjadi-jadi“Diam gini artinya boleh dong,” canda yang satu lagi sambil tertawa kecil.“Minta nomor WA boleh nggak? Kamu suka ikan ya? Nanti abang ajakin mancing ke laut. Lebih seru daripada di sini." Ia m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status