Share

2. Bertemu Kembali

Ica mencoba menutup matanya sejak tadi. Hendak melelapkan dirinya sejenak. Namun, sayangnya ia tidak bisa tidur. Pikirannya selalu tertuju pada perkataan Ayahnya tadi. Dunianya benar-benar runtuh saat ini. Mungkin, inilah titik terendah dalam hidupnya.

Gadis itu melangkah menuju dapur hendak mengambil segelas air. Mungkin saja dengan meminum segelas air dapat menyegarkan pikirannya. "Aku harus cerita ke siapa masalah ini?" gumam Ica seraya mengambil gelas di rak piring dengan tatapan kosong.

Tidak sengaja, gelas itu terjatuh dari tangannya. Suara pecahan gelas membuat Puspita segera berlari ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. Wanita itu melihat Putrinya tengah membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai.

"Udah, Ca. Ibu aja yang bersihkan, ya. Kamu duduk aja. Nanti tangan kamu berdarah," ucap Puspita khawatir.

Ica tersenyum simpul. "Ngga apa-apa, Bu." Ia menjawab Ibunya tanpa menoleh ke arah Ibunya. Sepertinya gadis itu masih merasa sedih dengan apa yang terjadi saat ini.

Puspita yang mengerti perasaan Putrinya itu langsung berjongkok. Menyetarakan tingginya dengan Ica. "Ca, Ibu pengen sekali bawa kamu lari dari rumah ini, tapi Ibu ngga punya cukup uang untuk buat kamu bahagia. Ibu juga ngga setuju dengan keputusan Ayahmu. Kamu ini anak satu-satunya kami, Ca."

Tidak ada respon apa-apa dari Ica. Gadis itu berdiri hendak membuang pecahan gelas yang ia letak di dalam plastik.

"Ca, tunggu!"

Ica menghentikan langkahnya sejenak. "Bu, seberharga itu ya rumah ini dibandingkan aku? Ayah memang ngga pernah sayang kan sama aku, Bu?" tangis Ica meremas bagian samping celana yang ia kenakan.

Puspita melangkah perlahan. Memeluk Ica dengan erat. "Ibu sama Ayah sayang banget sama kamu, Nak, tapi, Ibu ngga bisa berbuat apa-apa. Maafin Ibu, Ca."

Gadis itu menyeka air matanya kasar. "Impian aku memang udah benar-benar hancur, Bu. Padahal Ibu tau kan, aku pengen banget kuliah dan jadi anak kebanggaan Ibu sama Ayah, tapi, semua udah benar-benar hancur, Bu. Aku bakal nikah sama laki-laki yang aku ngga tau siapa dia. Bisa aja dia laki-laki tua atau mungkin sebenarnya dia udah punya istri dan aku dijadikan istri kedua. Aku benar-benar ngga bisa bayangkan itu semua, Bu. Ibu ngga ngerasain makanya Ibu ngga tau!"

Ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh Ica membuat hati Puspita teriris-iris. Baru ini Ica berbicara dengan nada tinggi di hadapannya. Bahkan saat ini, Puspita tidak mengenali Ica.

"Ica ... Tahan emosi kamu, kamu sedang bicara di depan Ibu yang melahirkan kamu, Ca."

Seketika Ica menutup mulutnya. Merasa dirinya sudah kelewatan batas. "Bu, maafin Ica."

Gadis itu ingin bersujud di hadapan Ibunya. Namun, dilarang oleh Puspita. Ia justru merangkul Putrinya yang sedang bersedih. Mereka hanya berpelukan selama beberapa menit tanpa ada berbicara sedikit pun.

"Bu, Ica mau pergi cari angin segar dulu."

****

Ica melangkahkan kakinya di sebuah taman kecil yang berada dekat rumahnya. Ia memandangi anak-anak yang berlarian ke sana kemari. Gadis itu tersenyum kecil melihatnya. Seakan melihat dirinya yang dulu masih seumuran anak-anak itu.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. Membuat Ica sedikit tersentak dari lamunannya. Gadis itu langsung menoleh ke belakang hendak melihat siapa yang menepuk pundaknya. Ketika ia melihat orang itu, matanya membelalak sempurna. Ica menunjukkan raut wajah terkejut.

"R-Ref-Refan?" Ica tampak masih terkejut melihat lelaki yang berdiri di dekatnya.

"Hai, Ica! Udah lama kita ngga ketemu. Apa kabar kamu?" tanya laki-laki itu seraya menepuk kedua pundak Ica.

Ica tersenyum manis. "Aku baik-baik aja seperti yang kamu lihat, Ref."

"Kamu makin cantik. Sebenarnya dari jaman SD, kamu juga udah cantik sih," ujar Refan menggaruk tengkuknya. Sepertinya laki-laki itu sedikit gengsi mengatakan hal itu.

"Kamu bisa aja, Ref. Kamu kenapa ga pulang-pulang ke sini?" tanya Ica mengajak Refan duduk di bangku yang ada di taman.

Refan menghela nafasnya panjang. "Sengaja. Biar kamu kecarian," ujar Refan bercanda.

Gadis itu mencubit pinggang Refan dengan pelan. Kelakuan laki-laki itu memang tidak pernah berubah. Sejak SD, ia kerap menggoda Ica. Padahal mereka masih terlalu muda untuk hal itu.

"Hmm, tapi kamu ingat ngga Ca? Dulu itu, sebelum aku SMP di luar kota, kita pernah janji untuk tamatin sekolah kita. Lalu, kita berkuliah di tempat yang sama. Aku memilih kembali ke sini karena aku tau, kamu bakal kuliah di kota ini juga, iyakan?" tanya Refan bahagia.

Raut wajah Ica seketika berubah mendengar pertanyaan dari Refan. "Iya, aku masih ingat itu semua, Ref, tapi itu semua udah sirna. Harapan hanya sekedar harapan. Ngga akan pernah terjadi," ujar Ica menahan air matanya yang hampir tumpah membasahi pipinya.

Laki-laki itu memandang heran dan bingung dengan jawaban dari Ica. Harapan hanya sekedar harapan? Apa maksud dari kalimat itu? Kira-kira begitulah batin Refan.

"Maksud kamu apa, Ca?" tanya Refan.

Ica menutup matanya beberapa detik. "Aku memang lulus beasiswa di Universitas terbaik di kota ini, tapi tadi saat aku bawa kabar bahagia itu, Ayah justru mematahkannya seketika dengan bilang kalau aku akan segera menikah dengan seorang CEO dalam waktu dekat ini. Makanya, aku ngga bisa kuliah, Ref."

Tangis Ica pecah saat itu juga. Ia tidak sanggup menahan beban hidupnya saat ini.

Refan berinisiatif memeluk Ica. Meletakkan kepala Ica tepat di bahunya. Tangannya mencoba untuk menyeka air mata yang menetes deras dari mata gadis itu. "Ca, aku benar-benar sedih ketika dengar berita kamu ini. Aku tau kamu pasti sedih banget, tapi kalau aku boleh tau, kenapa Ayah kamu ngelakuin itu? Bukannya, dulu Ayah kamu pengen kamu jadi sarjana ya?" tanya Refan seraya mengelus rambut Ica lembut.

"Ayah punya utang sama Pak Boron. Pak Boron itu Papanya CEO yang bakal dijodohkan sama aku."

"Utang Ayah kamu berapa, Ca?"

"90 Juta, Ref. Tadinya aku mau bantu Ayah lunasin utang itu, tapi uang tabungan aku ngga cukup."

Ica mengambil posisi duduk bersandar di bangku taman. Wajahnya tampak kebingungan saat ini.

"Ayah bilang dia ngga mau kehilangan rumah itu. Jadi, dia lebih memilih untuk menjodohkan aku dengan CEO itu."

Refan berdiri lalu berjongkok di depan Ica. Ia memegang tangan gadis itu serta menatapnya sendu. "Ca, aku bakal bantuin kamu. Apapun itu, Ca. Aku bisa bilang ke orang tuaku untuk bantu bayar utang Ayah kamu, Ca."

Gadis itu menggeleng kasar. "Jangan, Ref. Aku ngga mau ngerepotin kamu. Kita baru jumpa loh setelah sekian lama."

"A-aku sayang sama kamu, Ca. Makanya, aku mau bantu kamu."

Mata Ica membulat mendengar ucapan Refan. Saat SD, Refan juga sering mengatakan bahwa ia sayang pada Ica. Namun, kali ini rasanya sudah berbeda. Ica merasa makna 'Sayang' Refan memiliki arti lain.

"ICA!"

Teriakan keras itu membuat mereka menoleh ke sumber suara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status