Share

PERJODOHAN GADIS MUDA
PERJODOHAN GADIS MUDA
Penulis: rainflowers

1. Perjodohan

Kaki seorang gadis cantik yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, melangkah dengan cepat. Membawa sepucuk surat yang sepertinya sangat berarti baginya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa saat ini ia sedang bahagia. Senyuman manis jelas tercetak di wajah polosnya itu.

Marisya yang biasa dipanggil 'Ica' itu, tiba di depan sebuah rumah yang cukup sederhana. Rumah peninggalan Kakeknya yang diwariskan kepada Ayahnya—Danu. Ica langsung saja memasuki rumah hendak menyampaikan kabar yang membuatnya sangat bahagia kepada Ayah dan Ibunya.

Gadis itu melihat kedua orang tuanya sedang duduk berdampingan. "Ayah, Ibu. Baca surat ini!" gumam Ica dengan sorot mata penuh bahagia.

Puspita—Ibunya Ica mengambil surat yang disodorkan oleh Putrinya itu. Ia membaca surat itu bersama Danu—Suaminya. Raut wajah mereka berdua sama sekali tidak menunjukkan raut wajah bahagia ataupun bangga, padahal surat itu berisi pengumuman bahwa Ica mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan.

"Ayah sama Ibu ngga senang, ya?" tanya Ica menundukkan sedikit kepalanya. Tangannya meraih kembali surat yang dipegang oleh Puspita. Gadis itu berusaha menyembunyikan rasa sedihnya ketika melihat tidak ada respon apa-apa dari kedua orang tuanya.

Ica memilih untuk masuk ke dalam kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika Danu memanggil Ica untuk duduk bersamanya. Sepertinya ada sesuatu yang akan disampaikan oleh pria tersebut. Tidak biasanya Ayahnya seserius itu. Hal itu membuat Ica sedikit bertanya-tanya dalam hatinya.

"Kenapa, Yah?" tanya gadis itu. Ia duduk tepat di depan Ayahnya.

Danu melirik sekilas ke arah istrinya yang hanya menunduk. Kembali ia arahkan pandangannya ke arah Ica yang masih bertanya-tanya dalam hati. "Ica, Ayah mau ngomong serius sama kamu. Ayah harap kamu bisa menerima semuanya."

Ica menautkan kedua alisnya heran. "Ngomong apa, Yah?"

Danu menggeleng pelan. Helaan nafas berat pria itu membuat Ica sedikit merinding. Mulai timbul perasaan tidak enak dalam hati Ica.

"Bukannya Ayah ngga senang kamu lulus beasiswa, Ca. Ayah senang dan Ayah bangga sama kamu, t-tapi ...." Ucapan Danu terhenti sembari melirik ke arah Puspita yang menatap sendu ke arah suaminya seakan memohon kepada Danu untuk tidak melanjutkan perkataannya.

"Tapi, apa, Yah?" tanya Ica kebingungan.

Pria itu menghela nafasnya sejenak. "Tapi, kamu tidak usah melanjutkan hal itu, Ca. Kamu akan Ayah jodohkan dengan seorang CEO yang memimpin sebuah perusahaan besar di kota kita ini. Dia akan menjadi suami kamu. Segala kebutuhan kamu akan tercukupi. Pasti kamu tidak akan merasa kekurangan seperti sekarang ini. Kamu ngga perlu kuliah capek-capek."

Ica menggeleng kepala dengan kencang. "Yah, aku ngga merasa kekurangan kok selama ini. Aku merasa bersyukur dengan kehidupan kita sekarang, Yah. Ayah kan tau kalau dari dulu, aku ingin banget melanjutkan pendidikan sampai mendapat gelar yang pastinya bakal bisa menaikkan derajat keluarga kita, Yah."

Danu menggeleng. "Ayah tetap mau menjodohkan kamu dengan CEO itu."

"Ngga bisa gitu dong, Yah. Usia aku masih 18 tahun. Masih sangat belia dan ngga layak untuk menikah, Yah. Lagian pasti umur CEO tersebut udah sangat jauh di atas aku, Yah. Aku ngga mau, Yah. Aku akan tetap lanjutkan pendidikan ku!" bantah Ica.

"Ayah punya alasan ngelakuin ini, Ca."

"Apa alasannya, Yah?" tanya Ica meneteskan air matanya. Nafasnya mulai tidak beraturan.

"Ayah punya utang dengan Papanya CEO tersebut. Ayah ngga sanggup bayar utang tersebut, Ca. Papanya, yaitu Pak Boron meminta Ayah untuk menjodohkan kamu dengan anaknya. Pak Boron tidak ingin anaknya salah memilih perempuan yang hanya ingin menguasai hartanya saja. Pak Boron yakin kamu adalah perempuan baik-baik," jelas Danu.

Ica semakin bingung mendengar penjelasan Ayahnya. "Utang Ayah berapa? Ayah bisa pake uang tabungan aku selama ini supaya bisa melunasi utang-utang Ayah ke Pak Boron," ucap Ica menyeka air matanya.

"90 Juta, Ca. Kamu ngga mungkin punya uang sebanyak itu. Tadinya, Pak Boron ingin menyita rumah peninggalan Kakek ini tapi, Ayah ngga mungkin membiarkan rumah ini tersita begitu saja. Rumah ini sangat berarti buat Ayah, Ca," papar Danu menarik nafas perlahan.

Puspita menggebrak meja dengan keras. Sejak tadi ia hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Sepertinya kali ini, ia sangat marah dengan kata-kata yang dilontarkan oleh suaminya yang lebih menyayangi rumah dibandingkan Putrinya sendiri.

"Ayah egois. Ibu kecewa sama Ayah!" ketus Puspita menggeram kesal.

Ica tidak bisa berkata apa-apa ketika mendengar ucapan Ayahnya. "Ibu benar, Yah. Ayah egois. Kenapa harus aku yang jadi korbannya, Yah? Apa ngga ada jalan keluar yang lain, Yah? Kenapa harus aku yang menikah dengan anaknya Pak Boron, Yah?" tangis Ica pecah di dekapan sang Ibu yang juga ikut menangis.

Danu mengelus pucuk kepala Ica. "Maafin Ayah, Ca, tapi Ayah ngga sembarangan menjodohkan kamu. Anaknya Pak Boron itu seorang CEO, hidupnya mapan dan pastinya dia bisa memenuhi segala kebutuhan kamu, Ca. Ayah yakin kamu pasti bahagia, Nak."

"Gimana kalau aku ngga bahagia, Yah?"

"Ayah jamin, kamu akan bahagia bersamanya, Ca."

"Ngga, Yah. Aku bahkan ngga tau siapa dia, gimana sifatnya. Ayah harus tau, banyak impian aku yang belum tercapai, Yah. Tolong, Ayah pikir lagi keputusan Ayah," ucap Ica berusaha menahan sesak di dadanya yang tak tertahan.

Puspita mendekap putrinya itu dengan sangat hangat. Ia tidak setuju dengan keputusan suaminya. Ingin sekali rasanya saat ini, ia membawa Ica berlari meninggalkan kota ini. Memulai hidup baru tanpa suaminya. Namun, ia juga tidak punya apa-apa untuk membahagiakan Ica.

"Ayah mohon sekali sama kalian berdua. Terutama kamu Ica, mau kan kamu menikah dengan anaknya Pak Boron? Besok mereka akan datang ke sini untuk membicarakan tentang pernikahan ini. Lagian, hari ini juga hari kelulusan SMA kamu kan? Berarti kamu sudah bukan anak SMA lagi, Ca."

Ica melemparkan tatapan sendu ke Ayahnya. Gadis itu sangat berharap Ayahnya akan merubah keputusannya saat ini. Sepertinya, harapan Ica pupus saat Danu menyuruhnya untuk masuk ke dalam kamar. Mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut Pak Boron beserta pria yang akan dijodohkan dengannya.

Saat berada di dalam kamar, Ica memandang ke arah cermin dengan tatapan kosong. Hari ini adalah hari yang begitu buruk baginya. Segala impiannya yang ia bangun sejak dulu, seketika runtuh begitu saja.

"Beneran aku akan segera menikah dengan seorang yang umurnya lebih jauh dari aku? Gimana sama impianku untuk menjadi seorang sarjana?" tangis Ica menahan sesak di dadanya. Tangannya meremas kuat selimut yang ada di dekatnya.

Gadis itu menyeka air matanya. "Aku ngga bisa tinggal diam. Aku harus lakukan sesuatu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status