Share

3. Ingin Lari dari Kenyataan

Pria yang mengenakan kaos bergaris hitam itu, mendekat ke arah bangku yang ditempati Ica dan Refan. Raut wajah pria itu terkesan menahan amarah. Matanya tertuju ke arah Ica lalu ke arah Refan.

"Halo, Om Danu." Refan tersenyum tipis hendak menyalam Ayahnya Ica.

"Kamu siapa, ya? Kenapa duduk berduaan dengan Ica?" tanya Danu menatap sinis Refan.

Takut akan terjadi keributan, Ica langsung menjawab pertanyaan Ayahnya, "jangan salah paham dulu, Yah. Ini teman SDnya aku dulu. Kalau Ayah ingat, dia Refan Aksara. Anaknya Pak Budiman," jelas Ica.

"Siapapun dia, Ayah ngga mau kamu dekat-dekat dengan laki-laki lain. Gimana kalau Pak Boron tau kelakuan kamu Ica? Kamu ini akan segera menikah dengan orang yang tidak sembarangan. Orang dari keluarga terpandang. Jangan malu-maluin Ayah!" tegas Danu.

Refan berusaha meredamkan emosi Danu. "Om, mending kita duduk dulu, ya, Om. Kita ngomong pelan-pelan."

"Siapa kamu ngatur-ngatur saya?" ketus Danu.

"Oke, Om. Gini, saya udah tau kalau Om punya utang sama Pak Boron itu, saya bisa kok bantu Om untuk melunasi utang-utang Om itu," ujar Refan menatap Danu.

Ica mendesis pelan. "Ref!"

"Ca. Aku ikhlas ngelakuinnya. Aku ngga akan nuntut apa-apa kok," ujar Refan.

Tiba-tiba Danu menepuk kedua tangannya tepat di depan wajah Refan. Seakan senyum meremehkan. "Saya tau Refan, kalau kamu anak orang kaya. Pastinya, kamu akan bantu saya dengan menggunakan uang orang tua kamu. Apalagi, kamu anak dari si Budiman, kan? Saya tidak akan sudi menerima bantuan kamu!"

Refan memandang bingung ke arah Danu. Lalu, matanya tertuju kepada Ica hendak meminta penjelasan. Laki-laki itu heran mengapa tiba-tiba Danu membenci Papanya. Padahal dulunya mereka adalah teman akrab. Sama seperti Refan dan Ica.

Tanpa menunggu waktu lama, tangan Ica langsung ditarik oleh Ayahnya untuk meninggalkan taman. Gadis itu sedikit meringis karena tarikan kuat yang diberikan Ayahnya. Melihat hal itu, Refan sangat tidak senang dengan apa yang ia lihat.

"Om, jangan lakukan ini! Om jangan kasar dengan Ica!" Refan melepaskan tangan Danu dari Ica.

"Diam kamu anak kecil! Ngga usah ikut campur urusan saya!"

"Om, saya sayang sama Ica. Dia teman kecil saya. Saya ngga mau dia kenapa-kenapa. Oke, kalau Om ngga mau terima bantuan saya, ngga masalah, tapi apa Om tega ngelihat Ica harus menikah dengan seorang laki-laki yang pastinya umurnya begitu jauh dari Ica? Om tega ngelihat Ica harus mengubur impiannya yang ia bangun sejak dulu? Ayah macam apa Om ini?!" tukas Refan membesarkan suaranya.

Danu memukul sudut bibir Refan dengan keras. Hal itu membuat Refan tersungkur ke tanah dengan darah segar mengalir dari sudut bibirnya.

"REFAN!" teriak Ica terkejut dengan apa yang ia saksikan.

Saat ia ingin membantu Refan berdiri, Ayahnya justru menarik tangannya dengan keras. Meninggalkan Refan yang masih tersungkur di tanah. Gadis itu hanya bisa menangis. Pikirannya tidak tenang karena melihat Refan yang berdarah akibat dipukul Ayahnya.

"Ayah tega! Ayah jahat! Aku benar-benar ngga kenal Ayah!" teriak Ica melepaskan tangannya dari genggaman Ayahnya. Ia berlari sekencang-kencangnya menuju rumah.

Saat gadis itu berlari mendekat ke arah rumahnya, ia mendapati mobil mewah sedang terparkir di depan rumahnya. 'Apa ada tamu?' batin Ica heran. Ia menghentikan langkahnya sejenak.

"Apa jangan-jangan itu CEO yang bakalan dijodohin sama aku? Ngga. Aku belum siap jumpa sama dia. Aku ngga mau. Ya Tuhan, aku harus apa?" tangis Ica sembari menoleh ke arah belakang hendak memastikan apakah Ayahnya ada di dekatnya atau tidak.

"Ica!" teriak Ayahnya dari kejauhan sambil berlari menghampiri gadis itu.

Mata gadis itu membulat. Ia bingung harus bagaimana sekarang. Pilihannya hanya dua, ia masuk ke dalam rumah dan ia akan bertemu dengan CEO tersebut atau dia kabur agar pernikahannya dibatalkan.

"Aku harus apa?" isak Ica masih terbengong melihat Ayahnya yang masih berlari dari kejauhan.

Gadis itu tersentak ketika melihat motor yang berada di belakangnya. "Ica, naik!" titah pengendara tersebut. Pengendara itu adalah Refan. Entah dari mana asalnya, laki-laki itu bisa tiba di dekat Ica, padahal tadinya ia masih berada di taman.

Tanpa menunggu lama, Ica langsung menaiki motor Refan. Terpaksa Ica melakukan itu semua karena hati kecilnya memang sangat menolak untuk menikah dini. Selama perjalanan, Ica hanya bisa menangis. Hidupnya kini bagai buah simalakama.

"Ca, kamu jangan nangis, dong! Aku ngga tega lihat kamu nangis," ujar Refan lembut sembari tangan kirinya mengelus punggung tangan Ica. Berusaha menenangkan gadis itu.

"Aku bingung, Ref. Aku ngga tau sampai kapan aku harus gini." Ica mengehembuskan nafasnya pasrah.

Melihat situasi mulai aman dan mereka juga sudah berada sangat jauh dari wilayah rumah Ica. Refan memberhentikan motornya di sebuah supermarket. Refan menyuruh Ica untuk menunggu di motor saja. Sementara, ia masuk ke dalam supermarket. Seperti ingin membeli sesuatu.

Setelah 5 menit berlalu, Refan kembali dengan 2 es krim cokelat di tangannya. Laki-laki itu tersenyum manis kepada Ica. "Nah, ini untuk kamu dan ini untuk aku. Kita makan di sini aja, kalau di jalan, takutnya aku lebih fokus ke es krimnya lagi," ujar Refan tertawa pelan.

Ica mengambil eskrim dari tangan Refan dengan hati yang bahagia. Ia masih tidak menyangka bahwa hari ini, ia akan bertemu dengan Refan—Teman masa kecilnya. "Makasih, Ref. Ternyata, kamu masih ingat kalau aku lagi sedih, aku pasti pengen makan es krim cokelat. Oh, iya, bukannya kamu ngga suka cokelat? Kamu kan dulunya suka es krim rasa vanilla."

Sambil memakan es krimnya, Refan tersenyum malu. "Ternyata cokelat ngga semenjijikan itu lah, Ca. Maaf, ya, dulu pas SD, aku suka ejek kamu kalau suka cokelat," kekeh Refan. Mereka tertawa bersama sembari memakan es krim.

Terjadi keheningan beberapa detik, sebelum Refan membuka suara.

"Ca."

"Iya, Ref?"

"Aku sayang sama k-kamu, Ca."

Ica menautkan kedua alisnya bingung. Apa maksud dari kata 'Sayang' yang diucapkan Refan barusan. Apakah maknanya masih tetap sama seperti SD dulu atau kali ini mengandung arti yang berbeda?

"Gimana?" tanya Ica bingung.

"Aku baru berani bilang sekarang, kalau aku cinta sama kamu. Dulu aku ngga tau apa itu cinta, apa itu suka sama orang. Kita masih terlalu kecil waktu itu, Ca. Orang bilang itu cuma sekedar cinta monyet, tapi sejak tamat SD, aku berada di SMP, lanjut SMA, bahkan sampai sekarang, cuma kamu yang aku cinta, Ca."

Pernyataan yang diucapkan oleh Refan membuat Ica sedikit terkejut. Ia tidak menyangka kalau Refan menyukai dirinya lebih dari seorang teman. Gadis itu tidak tahu harus menjawab apa. Ia memilih diam tanpa suara.

"Maaf, kalau ini bisa merusak pertemanan kita, Ca, tapi setelah aku dengar kabar kamu mau dijodohkan, aku beraniin diri, Ca untuk ngungkapinnya. Kamu mau ngga, Ca, jadi pacar aku?" tanya Refan menggenggam tangan Ica lembut.

Mata gadis itu membelalak sempurna mendengar pertanyaan dari Refan. "Ref, kamu pasti bercanda, kan?" tanya Ica tertawa bingung.

"Karena aku terlalu suka bercanda, kamu menganggap keseriusan aku itu sebuah candaan, Ca?"

"Bu-bukan gitu."

Ica menghembuskan nafasnya sejenak. "Kamu tau kan kalau aku bakal dijodohkan sama Ayah aku? Setelah itu, aku bakal jadi istri orang, gimana mungkin kita bisa pacaran, Ref?" tanya Ica dengan mata sayup.

Refan mengalihkan tangannya pada kedua pundak Ica. "Kamu ngga akan jadi istri orang, Ca. Kamu punya aku dan aku punya kamu. Kita bisa bilang kalau kita pacaran. Mungkin, risikonya akan besar, tapi aku siap hadapinnya. Terutama, CEO tersebut. Dia kan juga ngga tau kalau dia akan dijodohkan Ayahnya. Pasti kalau dia tau kalau kamu udah punya pacar, dia juga ngga mau dijodohkan sama kamu, Ca."

"Kenapa kamu bisa yakin? Gimana kalau CEO itu tetap mau menikah dengan aku?"

"Tenang aja, Ca. Aku yakin kita bisa lewati itu semua."

Hati Ica sedikit tenang mendengarkannya. Ia berharap apa yang dikatakan Refan akan sesuai dengan kenyataannya.

"Jadi gimana, Ca? Kamu mau jadi pacar aku?" tanya Refan tersenyum tulus.

Ica mengangguk pelan. "Aku mau, Ref. Aku juga sadar kalau selama ini aku suka sama kamu. Selama sekolah, aku belum pernah pacaran," ujar Ica.

"Sekarang, kita udah resmi pacaran. Aku janji, Ca. Kamu akan aman di dekat aku. Ngga ada yang bisa misahin kita. Aku janji," tutur Refan bahagia sekali.

'Tapi, aku ngga bisa janji, Ref. Aku takut kalau kisah kita ngga akan berakhir bahagia,' batin Ica berusaha menyembunyikan ketakutannya dari Refan yang tengah bahagia memeluknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status