Share

5. Perihal Jodoh

Ica membantu Tania untuk menyediakan makan malam. Kebetulan juga, Tania saat ini sedang memasak banyak sekali makanan untuk menyambut anak sambungnya yang baru kembali pulang ke rumah setelah bertahun-tahun tidak pulang.

"Kalian cocok, loh," ucap Tania tersenyum sembari mengambil beberapa piring dari rak yang tergantung.

Ica tersenyum malu. "Tante bisa, aja."

"Tante, serius," ujar Tania.

Gadis itu mendekat ke arah Tania. "Tante, menurut Tante aku berjodoh ngga, ya, sama Refan? Aku tau sih jodoh diatur oleh Tuhan, tapi kalau aku mau jodoh aku Refan bukan CEO itu, bisa ngga, ya, Tante?"

Tania tersenyum lembut menatap wajah polos Ica. "Tante akan selalu doain supaya kamu berjodoh dengan Refan. Kamu mau tau sesuatu, ngga? Dulu, Tante sama Papanya Refan itu teman SMP. Kami sama sekali ngga pernah dekat sewaktu SMP. Nah, saat SMA, Tante sepertinya menyukai dia, tapi Papanya Refan udah punya pacar, itulah Mamanya Refan. Tante berusaha untuk melupakan dia dengan cara pergi ke luar negeri."

Wanita itu menghentikan ucapannya sejenak. "Kami lost contact lama banget sampai suatu saat Tante bertemu dengan dia. Papanya Refan udah bercerai dengan Mamanya Refan. Baru ngelihat Refan aja, Tante udah sayang banget sama dia, tapi sayang Refan ngga terima Tante. Mungkin, dia berpikir kalau Tante adalah dalang di balik kehancuran rumah tangga Mama dan Papanya," jelas Tania sembari menahan air matanya.

"Jadi, intinya, kita ngga tau jodoh kita siapa. Mungkin aja, dia harus terlibat dalam hubungan dulu, baru dia bisa bersama kita. Rencana Tuhan itu unik sekali."

Ica merasa bersalah karena sudah membawa percakapan sampai sejauh ini. "Tante, aku yakin kok suatu saat nanti. Hubungan Tante sama Refan akan membaik. Aku janji akan bantu hal itu," ucap Ica memeluk Tania layaknya seorang anak perempuan memeluk Ibunya.

"Acara apa ini peluk-pelukan?" tanya Budiman tertawa. Berjalan menuju meja makan bersama Refan.

"Papa ... Biasalah omongan calon mertua dan calon menantu," kekeh Tania mengelus rambut Ica.

Pipi Ica memerah. Kepalanya menunduk.

"Yaudah, kita makan aja sekarang. Kayaknya Ica lapar banget, tuh," ucap Refan tertawa meledek Ica.

Gadis itu memonyongkan bibirnya, "apaan sih, Ref. Kamu yang lapar, kamu nuduh aku yang lapar. Nyebelin," kesal Ica.

Mereka semua tertawa sumringah. Semua makanan sudah tersedia, mereka menyantap makanan dengan lahap. Sampai tiba-tib, Ica membuka percakapan karena ia melihat Papanya Refan sudah selesai makan.

"Om, aku minta maaf ya atas kesalahan Ayah selama ini," ujarnya serius.

"Kamu ngga usah mikirin hal itu, Ca. Om udah lupain semua kejadian itu. Ya, walaupun Ayah kamu benci banget sama Om sekarang. Yaudah lah, kita berdoa saja semoga semua baik-baik aja," jawab Budiman tenang.

Mereka semua dikejutkan dengan gedoran pintu yang kuat. Suara itu menjerit memanggil nama Ica. Gadis itu langsung bersembunyi di bawah kolong meja makan. "Itu Ayah."

Refan sedikit syok ketika tahu bahwa yang datang adalah Ayahnya Ica. Ia tidak mau ada keributan lagi antara Papanya dan Danu. Begitu juga dengan Ica, gadis itu tidak mau pulang dalam waktu dekat ini karena ia tidak mau dinikahkan dengan CEO itu.

"Papa aja yang buka." Budiman hendak melangkah meninggalkan meja makan.

"Pa, Refan mohon jangan ribut," pinta Refan penuh harap.

Budiman tersenyum singkat. Menganggukkan kepalanya. Pria itu membukakan pintu untuk Danu. Budiman melihat sorot mata Danu yang sepertinya sedang membara. Tangan Pria itu terkepal kuat.

"Ada apa?" tanya Budiman pura-pura tidak tahu dengan tujuan Danu.

"Ngga usah pura-pura bodoh kamu, Budiman. Kamu sembunyikan dimana anak saya? Anak kamu bawa anak saya pergi naik motor. Ini motornya, berarti Ica ada di rumah ini. Benar, kan?!" pekik Danu dengan suara keras.

Budiman menarik nafasnya. "Ngga. Ica ngga ada di sini. Memang ini motor Refan. Anak saya juga sudah pulang. Sendirian tanpa ada orang lain, kamu ini jangan mengada-ada, lah."

Danu tidak mampu menahan emosi. Ia hendak menerobos masuk ke dalam rumah Budiman. Untung saja, Budiman dengan cepat menghalangi langkah pria itu. "Tolong sopan kamu! Ini rumah saya. Kamu datang teriak-teriak, nuduh-nuduh. Sekarang mau terobos masuk begitu saja?"

"Saya cuma mau anak saya dikembalikan. Anak kamu sudah bawa lari anak saya. Asal kamu tau, sebentar lagi saya akan kaya raya. Saya akan punya menantu kaya. Seorang CEO terkenal di perusahaan yang terkenal di kota ini. Kamu tidak akan bisa menghina saya lagi."

Pria yang mengenakan baju biru itu tersenyum. "Saya tidak pernah menghina kamu, Danu."

Danu meludah seperti jijik mendengar penuturan Budiman. "Ica akan segera menikah dengan CEO itu. Kembalikan dia!"

"Kamu bangga menjodohkan anak kamu sebagai ganti utang? Kalau saya, pasti tidak akan mau melakukan itu. Apalagi kamu tau, Ica anaknya pintar, dia pasti masih sangat ingin melanjutkan pendidikannya setinggi mungkin."

"Itu anak saya. Kamu tidak usah ikut campur!" tegas Danu tidak suka.

"Anak kamu? Apa sifat kamu mencerminkan kalau kamu adalah Ayah kandung dari Ica?"

Danu terdiam sejenak mendengar ucapan Budiman. Ternyata, Puspita—Istrinya menyusul ke rumah Budiman. Wanita berusia sekitar 40 tahunan itu langsung mengajak suaminya pulang serta meminta maaf pada Budiman karena sikap Danu.

"Ibu pulang aja. Ayah masih mau cari Ica di rumah ini karena Ayah yakin kalau Ica disembunyikan oleh laki-laki ini," ketus Danu kasar.

Budiman hanya diam saja. "Yaudah, lah kalau tidak percaya. Ibu Puspita tolong bawa suaminya pulang. Sebelum nanti saya laporkan membuat keributan di rumah saya."

Puspita membujuk suaminya untuk pulang. Saat ingin pulang, Puspita seperti mendapat kode dari Budiman, jikalau Ica sedang berada di rumahnya. Wanita itu mengangguk paham. Ia juga tidak tega jika Ica harus pulang saat ini. Pastinya, Ayahnya akan segera menikahkan Ica dengan CEO itu.

***

Ica menangis di pelukan Tania. Sejak tadi, Refan sudah berusaha membujuk kekasihnya itu. Hasilnya nihil, tetap saja Ica menangis.

"Sayang, udah, ya. Kamu ngga usah nangis. Tante yakin, kok kalau nanti semua bakalan ada jalan keluarnya."

Budiman duduk di sebelah Refan. Ia memberikan tepukan pelan di pundak Putranya itu. "Udah. Biarin aja dulu Ica nangis, melepaskan kesedihannya. Papa juga lagi mikir gimana caranya supaya Ica tidak jadi menikah dengan CEO tersebut," bisik Budiman agar tidak terdengar oleh Ica.

"Gimana kalau nanti Ica tetap menikah dengan dia, Pa? Aku ngga siap, Pa. Aku sayang sama Ica," ujar Refan menahan tangisnya dengan suara yang bergetar.

Budiman menggeleng pelan. "Percaya sama Papa. Kalau jodoh, ngga akan kemana. Papa akan selalu dukung kalian kok," ujar Pria itu berwibawa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status