BAB 11Kak Daffa diam. Pria berkemeja hitam yang dua kancingnya terbuka ini hanya melihat jalanan depan sekolah dengan tatapan kosong. Dia bersandar pada kursi. Sebelah tangannya di belakang kepala.Dari semerawut tampilannya, tidak akan ada orang yang menyangka dia anak pemilik perusahaan multimedia, bahkan pada salah satu chanel televisi tersemat namanya, “DaffaTv”. Dia lebih terlihat seperti karyawan biasa yang kerjaannya kabur-kaburan di jam kerja. Apa lagi dibilang santri, sungguh tak ada muka santri sama sekali.Ponsel terasa bergetar di dalam tas. Sambil menunggu Kak Daffa kembali bicara, aku merogoh dan membuka pesan masuk.Andre:[Mr. Richard sudah masuk kelas, kamu tidak kelihatan. Di mana?]Aku mengetik balasan cepat, tapi urung mengirim karena Kak Daffa kembali bicara.“Hidup gue ada di telunjuk papi.” Kak Daffa mengacungkan telunjuk. “Di sini.” Dia menatap ujung telunjuknya. “Gue harus ikut semua yang dia tentukan. Gue bukan anak. Gue kacungnya dia.“Gue mengawali hari be
Aku menghela napas. Apa yang Kak Daffa katakan memang benar. Selama ini Kak Mandala sibuk menafkahi keluarga.Aku jadi teringat bagaimana manusia dingin itu menghabiskan masa remajanya. Papa pergi saat dia kelas dua SMA. Habisnya uang pesangon dan harta berharga lainnya, membuat kami jatuh miskin. Mama memang pernah membuka usaha kue, katering, warung kelontong, jual pakaian, tapi semua bangkrut. Pada akhirnya Mama hanya jadi tukang cuci gosok.Cukup? Tentu tidak. Rumah kami yang besar itu, untuk air dan listrik saja mungkin habis sejutaan.Pernah ada wacana untuk menjual rumah dan kami semua pindah ke kampung Mama, tapi beliau terlalu berat dan kami juga tidak mau meninggalkan Jakarta. Akhirnya, hidup seadanya.Selama hidup sulit itu Kak Mandala tidak pernah meminta uang pada Mama. SMA sampai kuliah dia pakai uang sendiri. Dari mana uangnya? Ini yang unik.Di Jakarta ini, banyak siswa yang orang tuanya kaya banget. Kak Mandala yang punya wajah cukup oke mendekati mereka. Memacari lal
BAB 12Hari semakin sore, mata kuliah Mr. Richard pasti sudah berakhir. Aku tidak kembali lagi ke kampus. Kak Daffa langsung mengantarkan ke rumah.Setiap detik aku memikirkan tawaran Kak Daffa. Mau setuju, berat. Mau dilepas juga sayang.“Jangan dulu bilang apa-apa sama Mandala. Takutnya dia malah semakin nolak kalau tahu lo mau nerima ini karena gak mau nyusahin dia,” kata Kak Daffa di perjalanan. Aku tidak mendebat, hanya mengiyakan saja.Tiba di rumah. Langsung beres-beres seperti biasa. Bantu Mama ini itu. Magrib. Terus makan malam.Saat Kak Mandala sibuk dengan rutinitasnya dan Mama mulai istirahat, aku mendekati Mama.“Ma.” Aku membuka pintu kamar Mama.“Risa. Ada apa?” tanya Mama yang sedang memakai krim wajah.Aku duduk di kasur. Mengawasi wanita berdaster yang tengah menggosok wajahnya dengan gerak memutar di depan meja rias.“Menurut Mama, apa Kak Mandala sudah ingin menikah?”“Usia Mandala sekarang sudah 28 tahun, sebentar lagi 29. Wajar kalau sudah ingin menikah. Apa kaka
Pagi, siang, sore di hari Sabtu, aku terus mempertimbangkan tawaran Kak Daffa. Sambil nyiram bunga, sambil beres-beres, sambil makan, bahkan sambil nonton drakor. Yang kupikirkan hanya itu saja.Terlintas dalam benak, bagaimana di usia ini harus menikah lalu menjadi seorang istri dari lelaki yang kuanggap kakak sendiri. Tinggal sekamar. Berdua. Tiga bulan lamanya. Mau ngapain aja?Ah, ngapain, kek. Yang penting dia udah janji gak akan ngapa-ngapain. Aku-nya juga ogah. Kalau dia melanggar janji, aku tinggal bilang Om Handri.“Heh! Budeg, ya. Itu hape bunyi dari tadi!” Kak Mandala melotot ke arah ponsel yang tergeletak di sampingku.Aku memperbaiki poni lalu mengambil ponsel.“Nonton TV kek nonton apa sampe gak kedengeran.” Lelaki dingin itu lanjut mengomel.Terlihat panggilan dari Andre di layar ponsel.“Ya, Dre.”“Asalamualaikum, Risa.”“Wa’alaikumusalam.”“Malam ini ada acara enggak?”“Enggak. Kenapa?”“Kalau aku ajak jalan mau enggak?”“Hah?” Aku yang sedang duduk selonjoran di karp
BAB 13Bersama dengan bulatnya keputusan, perlahan aku menjauhi Andre. Kasihan dia kalau sampai punya perasaan lalu aku tiba-tiba menikah.Jujur, aku juga berat melakukan ini, tapi harus bagaimana lagi.Pagi hari, aku melarang Andre menjemput dengan alasan akan diantar Kak Mandala. Sorenya aku beralasan akan dijemput Kak Daffa. Ini bukan bohong, tapi sekalian menghindar juga.Mobil biru itu sudah mendekati kampus jam lima sore. Aku yang memang sudah menunggunya langsung masuk. Melepas tas dan memasang sabuk.“Apa kabar, calon istri?”“Kurang baik, calon suami.”Kak Daffa tertawa mendengar balasan panggilanku.“Kenapa kurang baik?” tanyanya bersama mobil yang melaju.“Enggak enak banget musti jauhi Andre. Kemaren kita malam mingguan, loh.”“Wah? Sudah jadian?”“Kagak. Beruntung juga ya belum jadian, kalau udah, dilema berat gue.”“Baru pacar. Lagian apa sih yang lo lihat dari dia. Muka pas-pasan, duit pas-pasan.”“Yeeey ... namanya suka.”Aku memicing. “Cemburu lo, ya, Kak? Andre kan b
“Jadi, lo mau mempermainkan pernikahan. Lo harusnya tahu hukumnya kayak gimana.”“Gak akan ada yang mempermainkan pernikahan, Mandala. Kita akan menikah secara sah sesuai agama dan negara.”“Terus motif lo di belakang ini?”“Itu perjanjian atas asas pertimbangan. Ini seperti perjodohan. Nikah kita sah meski ada keterpaksaan di dalamnya. Masalah perjanjian tiga bulan itu, gue ambil sebagai solusi untuk menjaga marwah Klarisa agar tidak merugi di kemudian hari.”“Pinter lo mempermainkan hukum. Lo memang menjanjikan apa sampai dia mau?”“Apa yang dia mau.” Kak Daffa mengangkat pundak.“Murahan banget gue punya adek.”“Gue kan belajar dari lo, Kak. Yang penting gak jual diri. Gue masih mending lah gak morotin cowok. Gue juga pengin kali, bantu perekonomian keluarga. Masa repotin lo mulu. Kebetulan aja kerjaannya gak berat.”“Siap lo jadi janda?”“Gak masalah. Udah gue pikirkan.”“Kalau dalam tiga bulan ini lo malah jatuh cinta sama Daffa, tapi dia ninggalin lo gimana?”“Gue gak akan jatu
BAB 14Mama sangat tidak menyangka atas jawabanku. Menurutnya, aku masih terlihat belia. Apa lagi hubunganku dengan Kak Daffa yang malah terlihat seperti adik kakak. Menikah. Itu benar-benar di luar prediksinya.Beliau sempat mengkhawatirkan kelanjutan pendidikanku, tapi Kak Daffa berhasil meyakinkan Mama.“Sepertinya Daffa tidak harus menjanjikan apa-apa, Tante. Bukannya selama ini pun Daffa mendukung kuliahnya Risa. Risa boleh tetap kuliah. Daffa akan menjamin biayanya. Justru Tante bisa lebih tenang, ada Daffa yang pasti jagain.”“Tapi tante kok merasa belum siap kehilangan anak.”“Tante gak kehilangan anak, tapi tambah. Sebelum menikah pun rumah ini seperti rumah ke dua bagi Daffa, Tan. Hanya ikatan yang akan berubah.”“Iya, kamu benar, Daffa.”Obrolan hari itu, membuahkan hasil restu Mama. Meski beliau terlihat berat, tapi mau dikata apa. Kak Daffa siap menikahiku. Aku menerima. Kak Mandala pun setuju.Beberapa hari kemudian, Om Handri mengadakan pertemuan keluarga di sebuah rest
“Saya merasa sangat senang atas kedatangan kalian,” ujar Om Handri.“Undangan ini sangat mendadak, Tuan. Saya benar-benar kaget mendengarnya.”“Lihat, Raida. Bukankah anak-anak kita sangat cocok?”“Tetap saja saya kaget. Daffa sudah saya anggap anak sendiri.”Tante Sovia berdecak. Wanita yang mengangkat dagunya tinggi-tinggi itu melempar pandangannya dari Mama. Ih, aku gemas sekali melihat gayanya. Kenapa dia terlihat tidak suka pada Mama?“Awas saja kalau ujung-ujungnya mereka pura-pura lagi.”“Ya kalau tidak percaya lebih baik jangan, lah. Asal jangan pake alesan lagi untuk mengembalikan apa yang harusnya menjadi milikku.” Kak Daffa melihat maminya dengan tatap tak suka.Oh, jadi begitu hubungan mereka. Aku baru tahu. Dulu pernah bertemu saat ikut Kak Mandala menghadiri acara kantor. Kupikir hubungan mereka biasa saja.“Sudah, jangan rusak keindahan malam ini. Sebaiknya kita makan dulu.”Dua chef itu membawa nampan-nampan menu dengan gerak begitu ringan. Hanya butuh beberapa detik,