BAB 14Mama sangat tidak menyangka atas jawabanku. Menurutnya, aku masih terlihat belia. Apa lagi hubunganku dengan Kak Daffa yang malah terlihat seperti adik kakak. Menikah. Itu benar-benar di luar prediksinya.Beliau sempat mengkhawatirkan kelanjutan pendidikanku, tapi Kak Daffa berhasil meyakinkan Mama.“Sepertinya Daffa tidak harus menjanjikan apa-apa, Tante. Bukannya selama ini pun Daffa mendukung kuliahnya Risa. Risa boleh tetap kuliah. Daffa akan menjamin biayanya. Justru Tante bisa lebih tenang, ada Daffa yang pasti jagain.”“Tapi tante kok merasa belum siap kehilangan anak.”“Tante gak kehilangan anak, tapi tambah. Sebelum menikah pun rumah ini seperti rumah ke dua bagi Daffa, Tan. Hanya ikatan yang akan berubah.”“Iya, kamu benar, Daffa.”Obrolan hari itu, membuahkan hasil restu Mama. Meski beliau terlihat berat, tapi mau dikata apa. Kak Daffa siap menikahiku. Aku menerima. Kak Mandala pun setuju.Beberapa hari kemudian, Om Handri mengadakan pertemuan keluarga di sebuah rest
“Saya merasa sangat senang atas kedatangan kalian,” ujar Om Handri.“Undangan ini sangat mendadak, Tuan. Saya benar-benar kaget mendengarnya.”“Lihat, Raida. Bukankah anak-anak kita sangat cocok?”“Tetap saja saya kaget. Daffa sudah saya anggap anak sendiri.”Tante Sovia berdecak. Wanita yang mengangkat dagunya tinggi-tinggi itu melempar pandangannya dari Mama. Ih, aku gemas sekali melihat gayanya. Kenapa dia terlihat tidak suka pada Mama?“Awas saja kalau ujung-ujungnya mereka pura-pura lagi.”“Ya kalau tidak percaya lebih baik jangan, lah. Asal jangan pake alesan lagi untuk mengembalikan apa yang harusnya menjadi milikku.” Kak Daffa melihat maminya dengan tatap tak suka.Oh, jadi begitu hubungan mereka. Aku baru tahu. Dulu pernah bertemu saat ikut Kak Mandala menghadiri acara kantor. Kupikir hubungan mereka biasa saja.“Sudah, jangan rusak keindahan malam ini. Sebaiknya kita makan dulu.”Dua chef itu membawa nampan-nampan menu dengan gerak begitu ringan. Hanya butuh beberapa detik,
BAB 15“Masuk!” Kak Daffa memerintah.Tak banyak bicara, aku kembali pada perkumpulan. Kulihat Om Handri sedang mengobrol santai dengan Kak Mandala. Mama melihat chef yang sedang merias piring. Fania memainkan ponsel. Gea dan ibunya tidak terlihat.Dua chef itu kemudian mengisi meja luas ini dengan aneka kudapan. Semuanya kudapan penutup. Seperti es krim, puding, dan cake. Dihias dengan saus salai atau buah stroberi.“Mohon maaf, sebelum kembali makan, saya mau memberikan sesuatu untuk Klarisa.” Suara Kak Daffa cukup keras sehingga bisa didengar oleh semua.Aku menunggu. Apa?“Saya beli ini mendadak, tapi terima saja sebagai simbolik, nanti kalau kurang pas bisa ditukar.” Kak Daffa mengeluarkan sesuatu. Dari kotaknya saja aku sudah tahu pasti itu cincin.Kak Daffa membuka kotak itu. Terlihatlah cincin emas putih dengan kilau menawan di tengahnya. Kak Daffa menyerahkannya pada Mama.“Ini lamaran dari Daffa, Tante. Mulai hari ini Klarisa saya ikat. Dengan ini Klarisa tidak boleh menerim
Esoknya, aku kuliah seperti biasa. Naik angkot karena gak bisa nebeng Kak Mandala akibat kesiangan. Andre jelas tidak ada.Aku berjalan menuju gedung fakultas dengan langkah lemas. Di jalan berpapasan dengan Andre, tapi dia cuek saja. Sama seperti dulu saat kita belum satu team. Bedanya dulu aku suka kecentilan godain dia. Sekarang, untuk menyapa saja tidak berani.Jam makan siang, aku, Andre, dan anak-anak berkumpul. Ini meeting terakhir sebelum pengambilan adegan. Sebagai ketua team, dia profesional sebagaimana biasanya.Sepanjang meeting aku tidak ikut bicara. Hanya mengisi binder dengan coretan-coretan tidak jelas.“Sa, kamu pake cincin.” Natasya tiba-tiba menarik tangan kiriku.Aku menarik cepat. Menyembunyikan ke dalam kantung hoodie.“Lo tuangan?”“Apaan, sih? Kepo, deh.”“Eh, beneran. Lo tunangan? Apa jangan-jangan ….” Dua iris Natasya mengawasi aku dan Andre. “Kalian?”“Bukan aku, tapi Kak Daffa. Klarisa tunangan dengan Kak Daffa,” jelas Andre santai.Natasya dan Mita menutup
BAB 16Payah. Baru nganter gitu doang udah mabuk. Kak Daffa gak sekeren oppa Korea yang kalau diajak belanja sabarnya luar biasa.Aku masuk kamar. Melihat semua belanjaan dengan mata berbinar. Wow, aku punya semua yang aku mau. Kalau begini seserahan aja tiap bulan.“Risa … Ris ….” Mama mengetuk pintu.“Ya, Ma.”“Bukannya urus calon suamimu malah langsung tidur.”Aku memutar bola mata. Calon suami bohongan ini. “Iya, Ma.”Meski malas aku keluar kamar. Mengikuti Mama ke dapur. Kak Daffa terlihat lagi tengkurap di karpet depan TV.“Daffa sampai mabuk gitu kamu apain?”“Cuma nemenin belanja.”“Belanja segitu banyak?”“Baru belanja semalaman belum seharian.”“Daffa dari pagi kerja.”“Risa juga kuliah.”“Kuliah cape apanya memang. Sana bikin rebusan jahe!”“Ya.”Aku membuat air rebusan jahe sesuai instruksi Mama. Selama di dapur berdua, Mama ngomel terus.“Kalau butuh tenaga suami, lihat kondisi suami. Bisa apa tidak. Salah-salah nanti kita yang kena marah.”“Kak Daffa kan belum jadi suami
Memang dasar, tuh orang nyebelinnya setengah idup. Tahu mau nikah bohongan. Masih menuntut totalitas. Pake minta Mama ajarin segala. Yang biasanya abis subuh tidur lagi, hari ini gak bisa. Mama gedor-gedor pintu. Suruh kerja ini itu. “Jadwal beres-beres Risa, kan, sore, Mama.” Aku menguap malas. Udah jelas tiap malam tidur larut, masih kudu bangun pagi. “Nanti kamu tinggal di rumah mertua malu-maluin abis subuh tidur lagi. Abis subuh langsung kerja.” “Kan ada ART. Di rumah Kak Daffa, ART-nya banyak.” “Meskipun punya ART perempuan itu harus tahu pekerjaan rumah. Harus unggul di dapur, di kasur, di sumur. Gimana bisa mengatur ART kalau kamu sendiri gak tahu kerjaan.” Aku ambil sapu dan kemoceng. Beres-beres sambil menguap. Ini pekerjaan paling totalitas yang pernah kukerjakan. Aktingnya harus setiap waktu. Semoga cepet nikah dan cepet tiga bulan sajalah. Biar hidupku bebas lagi. *** Sejak hari itu, hidupku benar-benar berubah. Tidak bisa lagi bersantai-santai manja. Pagi, bangun
BAB 17“De ....” Suara Kak Mandala di depan pintu kamar.“Ya, Kak.”“Kakak masuk, ya?”“Hm ....”Kak Mandala membuka pintu perlahan. Suara ramainya saudara di luar yang tadi kedap jadi terdengar bersama terbukanya pintu. Sudah dari kemarin kerabat Mama dari Jawa Tengah pada menginap di sini untuk ikut serta menghadiri pernikahan.Kak Mandala sedikit menutup pintu lalu duduk di sisi ranjang. Pria dingin ini menyugar rambut panjangnya sambil melihat-lihat isi kamar.“Lu udah siap jadi istri orang besok?”Aku yang sedang tidur telentang memandangi lampu, mengubah posisi. Mengambil boneka dan menghadap Kak Mandala.“Gak usah serius gitu, Kak. Kan, bohongan.”“Tetep aja kalau udah ijab kabul lo jadi milik orang, Ris. Yang bohongan cuma bagaimana cara kalian menghadapinya.”“Gue siap lahir batin, kok.”Siap entar dapat cuan besar, maksudnya. Kalau aku punya penghasilan, lo bisa nikah tanpa pikirin hidup gue lagi, Kak.“Sa, sorry, ya, kalau gue gak bisa jadi kakak yang bener buat lo. Selama
Pagi, aku dan keluarga sudah ada di hotel tempat acara. Duduk di salah satu kamar sambil dipercantik oleh MUA pilihan. Dua jam saja, tangan handalnya membuat wajahku flawless. Gaun pengantin modern rancangan desainer ternama tak kalah menyempurnakan penampilanku. Oh, ya, hari ini kepalaku dibalut kerudung. Katanya akan ada guru-gurunya Kak Daffa. Jadi, malu kalau tidak tertutup. Pintu kamar diketuk, team MUA membuka pintu. Pria gagah dengan penampilan bak raja itu berjalan menghampiri. “Kakak mau bicara.” Kak Daffa menarik tanganku ke sudut ruang. “Kenapa?” Aku bertanya sambil merapikan gaun. “Kamu harus mulai mengubah cara bicara. Gak ada gue lo lagi mulai sekarang.” “Oohhh, gampang itu. Gue cantik, enggak?” “Baru juga dikasih tau.” Aku menepuk jidat. Lupa. “Agak anggun, kek. Udah cantik begini gaya masih begitu.” Aku menurunkan tubuh sedikit sambil memegangi gaun, mengangguk anggun ala putri raja. “Siap, Pangeran.” Pria yang tadi bermimik serius ini jadi tersenyum. “Manis