PGK 86 “Buya bisa melihat bagaimana kamu selalu tersenyum malu-malu setiap bertemu dengan Mandala. Kamu sering memperhatikan Mandala diam-diam dan seolah mencari kesempatan bertemu Mandala. Kamu juga selalu antusias setiap ada yang membahas mengenai Mandala,” ucap Buya. Semua sikap Humairah selama ini tak lepas dari perhatiannya. Mendengar penjabaran Buya membuat Humairah semakin gugup, ia meremas jarinya di balik kerudung. “Semua sikap itu menunjukkan jelas kalau kamu tertarik pada Mandala. Benar begitu?” tanya Buya. Buya menatap teduh dan hangat pada Humairah, sementara mata Humairah bergerak gelisah ketika dihadapkan pertanyaan ini. “Benar kamu mencintai Mandala, Neng?” Kali ini Umi yang berganti bertanya dengan lembut dan hati-hati, tatapannya seolah menanti jawaban Humairah. Kepala Humairah langsung tertunduk kembali, sungguh ia takut menjawabnya. Tak mungkin dia berbohong pada Buya dan Umi yang sudah Humairah anggap sebagai orang tuanya sendiri. Namun jika harus mengataka
"Diskusikan dengan keluargamu dulu. Shalat istikharah. Buya beri waktu seminggu untuk kau berfikir. Jika setuju, kita langsungkan pernikahan di sini." Mandala terdiam. Di waktu yang bersamaan, Humairah masuk membawakan air. Berjalan sambil menduduk. Berlutut di dekat meja dan menyimpan dua gelas. Mandala mengamati wajahnya kali ini. Putih bersih, hidung mungil, bibir tipis berwarna pink. Tanpa waktu seminggu, dia sudah punya jawabannya. Tentu saja 'iya'. Bodoh kalau dia menolak. Humaira bukan hanya cantik, dia Solehah dan terjaga. Wanita itu deskripsi bidadari dunia. Mandala jadi bergetar melihatnya, serupa melihat burung indah yang terbang bebas. Kemudian timbul rasa ingin memasukannya segera ke dalam sangkar emas. "Kembali masuk, Maira!" "Sumuhun (iya), Buya." * Setelah kejadian yang menyebabkan Sovia diasingkan dari kediaman utama, hidup Handri juga berubah menjadi tak teratur. Dia menjadi lebih jarang pulang dan memilih tidur di mana saja. Kadang tidur di rumah Daffa, ka
“Aku yakin, tapi gak semudah itu menghilangkan trauma. Mana tahu satu hari nanti Allah kembali uji dan kita merenggang lagi. Bukankah ujian hidup terus berganti?” “Ada dua ilmu yang mau Kakak bagi ke kamu sekarang.” Daffa mengangkat kepalanya sedikit. Dia melihat Klarisa. “Apa?” “Tidur sini dong!” Daffa menepuk lengannya. Klarisa segera bergeser dan melabuhkan kepala di atas lengan Daffa. “Yang pertama. Ilmu psikologi. Pikiran kita yang negatif pada satu hal akan menarik hal-hal negatif itu untuk benar terjadi. Ini sejalan dengan hadis kudsi, ‘Aku sesuai perasangka hambaku’ jadi tetap berfikir positif dan suudzon sama Allah. “Yang ke dua. Ujian buat manusia itu kalau bukan untuk memperbanyak pahala, ya meringankan dosa. Jadi tidak perlu takut dengan ujian esok hari. Esok adalah nanti. Kemarin sudah berlalu. Hidup kita adalah hari ini.” Klarisa mengangguk mengerti. “Jadi point pentingnya dua. Tetap berpikir positif, tidak perlu takut pada ujian esok nanti.” Daffa memutar tubuhny
BAB 88Mandala langsung berjalan tergesa-gesa meninggalkan Daffa. Setelah mendengar saran dari Daffa, dia telah membulatkan tekadnya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.Sementara Daffa yang melihat sahabatnya hanya menggeleng pelan dan tersenyum kecil. “Kayaknya bentar lagi kamu bakal dapat kabar bahagia, Ris,” gumam Daffa.Membayangkan bagaimana ekspresi bahagia Klarisa ketika dia pulang nanti dan mendengar kabar bahwa Mandala telah menemukan gadis impiannya di sini. Itu adalah harapan Klarisa selama ini.Sementara Mandala yang telah berdiri di depan kediaman Buya menghentikan langkahnya sejenak, ia mengeluarkan ponselnya dan memutuskan untuk menelepon ibunya dahulu.Tak membutuhkan waktu lama Raida langsung mengangkat panggilan Mandala dan menyapa Mandala dari seberang sana.“Tumben pagi-pagi begini menelepon. Kamu baik-baik aja kan?” tanya Raida.“Ada hal penting yang mau aku tanya ke Mama,” ucap Mandala cemas.Ia berjalan mondar-mandir dengan hati ketar-ketir, berharap ibun
Usai menentukan tanggal dan segala persiapan, Mandala dan Humairah memutuskan untuk tidak mengadakan acara pernikahan yang besar-besaran. Hanya sebuah acara kecil di pesantren yang dihadiri oleh orang-orang terdekat mereka saja.Bagi kedua mempelai, bukan meriahnya yang dicari, tetapi keberkahan di dalam acara tersebut.Hari ini akad nikah antara Mandala dan Humairah akan dilaksanakan, Raida dan keluarga Klarisa telah datang di Tasik sejak semalam untuk menemani Mandala.“Assalamualaikum,” ucap Raida, ia memasuki kamar tempat Humairah dirias. “Masyaallah, cantiknya.”Raida benar-benar dibuat terpana dengan kecantikan calon menantunya, walaupun riasan di wajah Humairah tidak terlalu tebal dan berlebihan. Mandala tak berbohong, Humairah benar-benar cantik.Humairah langsung menyambut Raida dan menyalimi tangan calon mertuanya. Sementara Raida tak berhenti tersenyum melihat calon istri putranya yang benar-benar sempurna.“Maaf ya Mama baru bisa ketemu sama kamu sekarang,” ucap Raida meny
BAB 89 “Saya terima nikah dan kawinnya Humairah Nur Hafidzah binti Almarhum Abdul Aziz dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Mandala menyelesaikan kalimat ijabnya hanya dalam satu tarikan nafas dengan intonasi yang mantap dan tanpa ragu. Dia telah latihan selama seminggu hanya untuk menghafal kalimat sakral ini dan memastikan tidak salah ketika di pernikahannya. “Bagaimana para saksi? Sah?” “Sah!” Teriakan orang-orang yang menjadi saksi pernikahan Mandala dan Humairah terdengar menyambut meriah, membuat hati Mandala bergetar saking terharunya. “Alhamdulillah,” ucap Buya penuh syukur. Pria itu juga tampak sangat bahagia karena telah menunaikan tugasnya sebagai paman dari Humairah. Dia telah menjalankan amanah saudaranya untuk menikahkan Humairah dengan pria yang baik dan bertanggungjawab. Selang beberapa menit, Humairah dibawa masuk ke dalam masjid dengan diapit oleh Umi dan Raida. Wajah Humairah tertutup cadar dan hanya menyisakan kelopak matanya yang indah. Sepanjang jala
Mandala yang baru saja keluar dari kamar mandi dibuat terpana dengan penampilan Humairah. Untuk pertama kalinya dia melihat Humairah tanpa tertutup hijab, ada desiran aneh yang menguasai tubuh Mandala. “Mas? Sudah selesai?” tanya Humairah. Sedikit canggung harus terbiasa tidur dengan orang lain di kamarnya, tetapi Humairah berusaha membiasakan diri. “I-iya,” sahut Mandala. Ia kembali duduk di pinggir ranjang, dan Humairah bergabung di sebelahnya dengan malu-malu. “Terima kasih sudah mau terima aku jadi istri Mas. Aku janji bakal berusaha jadi istri yang baik, sholehah, dan patuh pada kamu, Mas,” ucap Humairah lembut. “Sekarang kamulah surgaku, dan aku akan mengabdi untuk mendapatkan surga itu.” Sudut bibir Mandala berdenyut. Mendengar Humairah yang begitu memuliakannya membuat Mandala merasa minder. Mendengar harapan Humairah untuk mendapat surga membuat Mandala kembali berintrospeksi. Dirinya tidaklah sempurna. Begitupun agamanya, masih sangat kurang. Apa dia bisa memberikan s
PGK 90Setelah mengobrol panjang sepanjang malam, Mandala tak kunjung melakukan apapun sesuai dengan harapan Humairah. Pria itu malah mengajaknya untuk tidur karena hari yang sudah larut.“K-kamu mau langsung tidur, Mas?” tanya Humairah ragu, memastikan.Mandala mengangguk. “Kamu pasti capek kan? Yuk tidur,” ajak Mandala.Dia sudah lebih dulu membaringkan tubuhnya di atas ranjang, tertidur dengan posisi membelakangi Humairah. Sikap Mandala yang seperti itu sedikit banyaknya menyakiti hati Humairah.Apa suaminya sedang berpura-pura tidak tahu? Bukankah malam pertama tidak dihabiskan hanya dengan tidur seperti ini?Namun, Humairah tak ingin mengambil pusing, dia berpikir bahwa mungkin saja Mandala benar-benar sedang lelah sehabis acara tadi. Dia pun memilih ikut berbaring di sebelah Mandala, menatap punggung suaminya.**Keesokan harinya, Mandala terbangun dan sedikit bingung melihat kabarnya yang berbeda dari biasa. Ia menatap sekeliling, mengumpulkan kesadarannya. Setelah beberapa men