"Kamu mau kemana, Al?" tanya Reno sembari menyesap kopinya.
Reno sedang menikmati kopi paginya, saat Alana berjalan melintas. Dia melihat sang putri sudah berdandan rapi di pagi ini. Tidak seperti biasanya, yang hanya memakai baju rumahan saat hari libur seperti hari ini."Aku sedang ada urusan sebentar, Yah. Ada apa?" sahut Alana berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaan sang ayah.Sudah satu minggu berlalu semenjak acara pertunangan Alana digelar. Hari ini dia sudah bersiap untuk pergi."Ayah hanya ingin mengingatkanmu, sebentar lagi kamu akan menikah. Jadi batasi pergaulanmu, jangan sampai membuat Shaka kecewa padamu," ucap Reno dengan entengnya, sembari meletakkan cangkir kopi di atas meja.Alana merasa hatinya tertusuk mendengar ucapan sang ayah. Padahal Alana hanya ingin pergi sebentar untuk melihat pameran lukisan sang kakak. Dia juga tidak akan melakukan hal yang ditakutkan oleh sang ayah. Tapi kenapa Reno begitu tidak percaya pada putrinya sendiri? Alana hanya bisa terdiam mendengar ucapan Reno yang menyakitkan. Dia tidak mau menjelaskan apapun pada sang ayah.Alana kembali melangkah pergi tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Dia terlalu malas untuk menanggapi ucapan Reno. Padahal dulu, Alana tidak pernah bertindak kurang ajar seperti itu kepada ayahnya. Tapi sekarang, dia sedang mencoba menahan diri untuk tidak melawan sang ayah."Anak jaman sekarang suka kurang ajar, jika diingatkan malah diam saja dan pergi begitu saja," gerutu Reno sembari menatap kepergian anak gadisnya tersebut.Alana acuh mendengar gerutuan Reno, dia tetap melangkah pergi keluar rumah. Berada di rumah terus membuatnya sesak, apalagi jika sang ayah ada di rumah. Dia akan selalu diingatkan tentang perjodohannya dengan Shaka. Padahal tidak perlu diingatkan pun dia sudah mengerti jika sebentar lagi dia akan menjadi seorang istri dari Arshaka"Memangnya yang menjadi anak ayah itu aku atau Shaka? Hingga ayah tidak khawatir padaku, dan malah membela Shaka terus menerus," gumam Alana merasa muak dengan semuanya.Alana segera masuk ke mobilnya begitu keluar rumah, dia ingin cepat-cepat bertemu dengan sang kakak. Sejak pertunangannya minggu lalu, dia belum bertemu dengan Andra sama sekali. Kakaknya itu sedang sibuk mempersiapkan pameran untuk karyanya. Ada rasa bangga tersendiri bagi Alana tentang kemajuan karir sang kakak. Tidak sia-sia perngorbanan yang dia berikan untuk satu-satunya kakak yang dimilikinya itu.Hari ini Andra sedang menggelar pameran dengan teman-teman komunitasnya. Dan Andra mengundang Alana untuk menghadiri pameran tersebut. Tentu Alana tidak akan melewatkan undangan dari kakak lelakinya itu, dia juga ingin mencari hiburan di luar rumah, untuk mengalihkan rasa sedihnya. Barangkali dia bisa melupakan sejenak perjodohannya dengan lelaki yang tidak disukainya itu.Selang satu jam perjalanan, Alana pun tiba di gedung tempat pameran diadakan. Dia memarkirkan mobil dan bergegas turun dari mobil.Alana melangkah menuju pintu masuk gedung, dia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu masih menunjukkan pukul sembilan lebih empat puluh menit pagi. Sementara pameran baru akan dibuka pukul sepuluh. Alana masih memiliki waktu sebelum pameran dibuka.Alana pun mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam gedung, lalu dia memutar tubuhnya, melangkahkan kaki menuju ke taman. Di samping gedung ada sebuah taman kecil. Alana berpikir bisa menunggu pembukaan pameran di sana. Lumayan untuk melepaskan rasa sesak yang menghimpit hatinya, sejak mengetahui perjodohan yang diatur oleh ayahnya.Setelah tiba di taman, Alana melihat bangku kosong di sudut taman. Dia pun melangkahkan kakinya di sana. Bermaksud untuk menghabiskan waktu yang tersisa dengan duduk di sana. Tapi saat akan melangkah, sebuah bola menggelinding ke arah kakinya. Alana pun menghentikan langkahnya dan mengambil bola yang berhenti di samping kakinya."Bola siapa ini?" gumam Alana sembari memandang ke arah sekitar taman. "Tidak ada siapa-siapa, lalu ini bola siapa?"Alana mengamati bola di tangannya, bola berwarna biru dengan bahan plastik itu terlihat masih baru. Pasti baru saja dibeli oleh yang punya. Pikir Alana.Tak berapa lama, seorang bocah lelaki berlari menghampiri Alana. Bocah berkulit putih itu memegang ujung kemeja Alana. Lalu menariknya pelan hingga si empunya menoleh ke arahnya."Kak ... bola, itu bolaku," ucap bocah lelaki itu, dengan wajah polosnya.Alana menatap anak lelaki berambut ikal di depannya tersebut dengan ramah. Lalu dia pun berjongkok menyejajarkan diri dengan anak lelaki tersebut. Alana sangat menyukai anak-anak. Itulah sebabnya dia ingin menjadi dokter anak. Mimpi yang telah dia pupuk tinggi-tinggi tapi malah akan kandas di tengah jalan."Jadi ini bolamu?" tanya Alana sembari menunjukkan bola di tangannya.Anak lelaki tersebut menganggukkan kepalanya menanggapi pertanyaan Alana."Baiklah. Ini bolamu," tutur Alana sembari menyerahkan bola tersebut. Senyum terbit di bibir tipis Alana.Anak lelaki tersebut langsung mengambil bola dari tangan Alana. Lalu dia memeluk bola tersebut dengan kedua tangan mungilnya. Mata beningnya menatap takjub ke arah senyum Alana yang manis."Devan ...." Suara bariton terdengar memanggil.Alana pun mengangkat pandangannya, lalu menoleh ke arah sumber suara. Netra Alana membulat ketika melihat siapa pemilik suara yang baru saja dia dengar.Sementara pemilik suara tersebut juga terkejut dengan pemandangan di depannya. Dia langsung menghentikan langkahnya ketika melihat pemandangan tersebut.Keponakannya sedang bersama dengan wanita yang akan menjadi istrinya beberapa minggu lagi. Tapi dalam sekejap kemudian, wajahnya berubah datar. Dia tidak mau memperlihatkan keterkejutannya pada wanita yang memakai kemeja berwarna lilac itu.Alana bangkit dari posisinya, dia berdiri memandang lelaki tinggi yang memakai kaos hitam itu dengan raut terkejut."Om ... Devan sudah dapat bolanya!" seru anak yang berusia enam tahun itu sembari berlari menghampiri Shaka.Shaka tersentak mendengar seruan sang keponakan, kemudian dia langsung menyambut Devan, dan menggendong keponakannya itu."Baiklah, ayo kita kembali, Boy," ucapnya tanpa menghiraukan kehadiran Alana.Padahal Alana adalah wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Tapi Shaka memperlakukan Alana dengan dingin seperti itu.Shaka pun memutar tubuhnya, lalu beranjak pergi meninggalkan Alana tanpa menegurnya sama sekali. Lelaki dingin itu berjalan tanpa menoleh ke arah Alana sama sekali.Sementara Alana hanya melongo melihat punggung lebar Shaka semakin menjauh dari tempatnya berdiri. Dia tidak menyangka jika lelaki yang akan menjadi suaminya itu sangat dingin padanya. Bahkan untuk menyapanya saja tidak mau. Padahal mereka bertemu untuk pertama kalinya setelah acara pertunangan mereka diadakan.Hati Alana mencelos, seperti itukah lelaki yang akan hidup bersamanya? Alana tidak berharap banyak pada lelaki macam Shaka. Tapi tidak bisakah Shaka bersikap baik padanya? Paling tidak Alana bisa bertahan untuk hidup berdua dengan lelaki yang akan menjadi imam dalam pernikahannya nanti.Bagi Alana pernikahan itu sangat sakral. Dia ingin melakukannya sekali seumur hidupnya. Jadi walaupun dia tidak menyukai Shaka, dia akan tetap bertahan dalam ikatan pernikahan yang akan dijalaninya nanti."Bagaimana perkembangan rencana kita, Man?" tanya Shaka."Kamu tenang saja, sebentar lagi kita bisa benar-benar mendepak tua bangka itu," sahut Lukman pada sahabatnya itu.Shaka tersenyum, "Bagus, tidak sia-sia aku bersabar untuk menghancurkan lelaki itu. Sebentar lagi dia akan merasakan bagaimana pedihnya pembalasanku. Aku ingin Reno benar-benar hancur.""Kita akan segera melihatnya, Ka. Kamu pasti akan puas dengan hasil kerjaku. Kamu harus memberikan imbalan yang besar untukku," ujar Lukman membanggakan dirinya. Dia memang mendapat tugas dari Shaka untuk mengalihkan dokumen kepemilikan perusahaan Reno.Lukman bekerja sebagai sekretaris Shaka di perusahaan Reno demi memudahkan tugasnya. Tidak ada yang tahu jika sebenarnya Lukman adalah orang kepercayaan Shaka sekaligus sahabatnya."Tentu ... kamu pasti akan mendapatkan bagianmu," tutur Shaka sembari menepuk pundak sang sahabat. Lalu Shaka mengambil cangkir di atas meja. Dia pun menyesap cairan pekat tersebut secara perlahan.Senyum t
"Aku antar pulang, Al," ucap Afnan.Alana menggeleng, "Tidak perlu, Kak. Aku bisa naik taxi," sahut Alana. Dia tidak mau merepotkan Afnan lagi. Alana sudah sangat berterima kasih karena Afnan mau membantunya."Ayolah, Al. Naiklah, aku akan mengantarmu sampai rumah."Alana terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran Afnan lagi. Sebenarnya dia bisa menghemat uang jika pulang bersama dengan Afnan. Tapi, Alana tidak enak hati terus merepotkan lelaki itu. Afnan sudah terlalu banyak membantunya selama ini."Apa lagi yang kamu pikirkan, Al? Naiklah. Mau sampai kapan kita berdiri di samping mobil terus menerus?" ucap Afnan lagi. Dia gemas sendiri melihat Alana masih terlihat bimbang dengan tawarannya."Baiklah, Kak," sahut Alana akhirnya menerima tawaran Afnan.Alana pun beranjak dari posisinya hendak masuk ke dalam mobil, tapi sebelum dia masuk sebuah tangan mencengkram lengannya hingga Alana menghentikan gerakannya memasuki mobil. Alana menoleh, melihat siapa yang menahan dirinya. Sedetik kem
"Ada apa dengan dahimu?" tanya Afnan yang bersandar di mobilnya yang masih terparkir di depan cafe. Dia sengaja menunggu Alana keluar dari cafe untuk menanyakan luka pada dahi gadis itu.Afnan hanya ingin tahu sebab luka Alana, dan ingin tahu alasan adik sahabatnya itu tidak jujur pada sang kakak. Afnan pikir ada masalah yang sedang dihadapi Alana.Alana pun terkejut ketika mendengar suara Afnan, dia langsung menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah lelaki itu. Ditatapnya Afnan dengan pandangan penuh tanya."Kamu tidak berpikir kalau aku percaya dengan alasanmu tadi 'kan, Al?" tanya Afnan lagi sembari menatap Alana. "Aku juga sudah membantumu menutupinya dari Andra," lanjutnya.Pandangan mereka pun bertemu, beberapa detik mereka masih tetap saling berpandangan, hingga Alana mengalihkan pandangannya."A-apa maksudmu?" Alana tergagap, dia merasa seperti telah tertangkap basah sedang berbohong.Afnan menghela napas panjang, lalu menegakkan badannya dan mulai mendekat ke arah Alana.
Alana merintih kesakitan, lalu dia berusaha bangun dari posisinya. Shaka yang melihat Alana terluka pun terkejut, dia tidak menyangka jika tindakannya membuat gadis tersebut terluka. Shaka buru-buru membungkuk, bermaksud untuk membantu Alana bangun. Tapi Alana langsung menepis tangan Shaka, dia tidak mau dibantu oleh lelaki yang telah menyakitinya."Jangan sentuh ...! Aku bisa berdiri sendiri," sentak Alana.Shaka mundur, dia hanya bisa melihat Alana berdiri, lalu langsung pergi meninggalkannya yang merasa bersalah karena membuat gadis itu terluka. Shaka tidak bermaksud membuat Alana terluka seperti itu. Dia hanya terbakar emosi yang entah datangnya dari mana.Netra Shaka memandang kosong punggung Alana yang semakin menjauh. Hatinya terasa ditusuk duri melihat gadis bertubuh ramping itu menjauh sembari memegang dahinya yang terluka. Seketika Shaka meraba dadanya, ada rasa nyeri di sana, dia merasa ada yang salah dengan dirinya sekarang.Sementara Alana langsung menuju kamar mandi dan
Hawa dingin semakin menusuk tulang, Alana mengeratkan sweater yang dipakainya. Hujan masih turun dengan derasnya. Sejak beberapa hari yang lalu, hujan selalu turun di waktu malam. Membuat Alana kedinginan saat tidur di sofa.Hari ini, Alana sedikit merasa terhibur karena Shaka telah mengijinkannya kembali untuk melanjutkan pendidikannya, dengan syarat Alana sendiri yang mencari biaya untuk pendidikannya itu. Untunglah, Alana memiliki sedikit tabungan untuk sekedar membayar biaya pendidikannya untuk satu semester. Kini dia tinggal mencari pekerjaan agar bisa menabung untuk membayar semester berikutnya.Sebenarnya bisa saja dia meminta bantuan kepada Reno, tapi pantang buat Alana meminta uang pada ayahnya itu. Cukup kini dia berusaha sendiri, tanpa bantuan ayahnya itu. Alana juga tidak bisa meminta bantuan Andra, kakaknya itu sedang merintis kariernya. Tidak mungkin Alana menambah beban sang kakak.Alana kembali mengeratkan sweaternya ketika dingin kembali menyerangnya. Alana sedang dud
Alana menghela napas panjang, dia merasa sangat kesepian di rumah sendirian setelah Maya dan suaminya pergi. Tidak ada yang bisa Alana ajak bicara. Apalagi nanti jika Shaka sudah pulang dari bekerja, Alana hanya akan berdua saja dengan suaminya itu. Dia merasa tidak nyaman hanya berdua dengan Shaka."Apa yang harus aku lakukan ketika Shaka pulang nanti? Kami pasti akan canggung nantinya," gumam Alana. Dia sedang berada di sofa kamar, tempatnya biasa tertidur selama ini.Alana berbaring sembari menatap langit-langit kamar dengan padangan kosong, lalu dia mulai mengantuk karena hari sudah mulai malam. Tak berselang lama Alana memasuki alam mimpi. Alana telah tertidur.Di sisi lain Shaka tengah dalam perjalanan pulang, dia tidak mengira jika pekerjaannya membutuhkan waktu banyak. Dia harus sampai lembur hingga malam. Hujan turun ketika Shaka tengah dalam perjalanan pulang, membuatnya harus berhati-hati dalam mengemudi karena jarak pandang terlalu pendek.Shaka membutuhkan satu jam untuk