Waduh Alvaro .😁😁😁 Terus ikuti kisah Ambar dan Alvaro b B ..m
‘A-apa maksud Alvaro? Apakah malam ini dia akan meminta haknya sebagai suami?’ batin Ambar.Kali ini bukan hanya jantung Ambar yang berlompatan, tetapi bibirnya mendadak kelu. Dia kehilangan kata-kata dan tak sanggup merespon ucapan Alvaro itu. Tanpa sadar tangan Ambar naik ke pipi yang dirasakannya mulai memanas. Gadis itu bermaksud menutupi pipinya yang merona, tetapi Alvaro mencegahnya, “Tidak usah ditutupi. Biarkan aku dan orang lain menikmati keindahan pipimu yang memerah bagaikan kelopak mawar.” Mata Ambar membulat mendengar kata-kata Alvaro. Dia tidak pernah tahu mantan majikan yang kini menjadi suaminya itu bisa menebar rayuan gombal. ‘Ke mana perginya Alvaro yang sedingin kulkas itu?’ batinnya sambil tetap menatap lelaki itu. Melihat Ambar terpaku menatapnya, Alvaro segera meraih tangan Ambar dan melingkarkan di lengannya. Saat itulah muncul seorang pemain musik yang menggenggam saxophone. Pemusik itu mulai meniup saxophone dan melangkah di depan kedua mempelai. Dengan me
"Kamu menyindirku? Dengar, ya. Aku nggak bakalan jatuh cinta setengah mati kepada seorang perempuan meski dia adalah istriku. Apalagi kalau hanya untuk diselingkuhi!” Alvaro menjeda kata-katanya sebentar untuk menarik napas dan meredam emosinya sebelum melanjutkan, “Jadi kalau kamu menuntut cinta baru kamu mau memberikan hakku sebagai suami, maka lupakan saja!" Selesai membentak Ambar, Alvaro keluar dari kamar hotel dengan membanting pintunya. Ambar melongo melihat Alvaro pergi dengan marah. “Apa salahku? Bukankah dia sendiri yang membuat aturan itu? Jadi kenapa dia marah waktu aku tolak? Lelaki aneh. Labil. Kadang baik kadang ju tek. Terserah deh dia pergi ke mana. Males mikirin. Aku mau istirahat saja,” Ambar menggerutu sambil menata bantal untuk bersandar. Ambar menyalakan televisi dan mencari acara yang dianggapnya menarik. Akhirnya dia memutuskan untuk menonton drama korea favoritnya. Namun, meski matanya melihat ke layar kaca seolah-olah menikmati tontonan itu, sesungguhn
“Aku akan menuntut penjelasan darinya! Apa maksudnya tidak mencariku sama sekali?” Alvaro berkata dengan geram sambil melangkah tergesa-gesa. Aneka pemikiran buruk memenuhi isi kepalanya, bahkan ucapan Siska ibu tirinya yang menyebut Ambar adalah pemburu harta terus terngiang-ngiang di telinganya. “Awas aku akan memberinya pelajaran. Enak saja dia menginginkan hartaku, tapi nggak mau memberikan hakku! Kalau dia tetap ngotot gak mau menyerahkannya dengan suka rela, aku akan merenggutnya dengan paksa. Itu hukuman untuknya!” Alvaro benar-benar sudah menjadi gelap mata. Kemarahannya kepada Ambar membuatnya merencanakan perbuatan jahat kepada gadis itu. Semua ekspresi Alvaro itu tak luput dari perhatian sepasang mata yang duduk di pojok bar. Dia tampaknya sangat mengenal Alvaro terlihat dari kata-kata yang dia gumamkan, “Ada yang aneh. Pengantin baru kok malah nongkrong di bar.” Ketika melihat Alvaro pergi meninggalkan bar, orang tersebut buru-buru turun dari kursinya di depan meja bar
“Tidak perlu … pakaian, tas dan sepatu saya masih bagus-bagus.”“Tapi kamu tetap harus beli lagi. Karena kamu perlu pakaian, sepatu dan tas yang cocok dipakai ke kantor. Mulai besok kamu bekerja di kantor saya. Membantu saya sampai perusahaan mendapat pengganti Tante Siska,” terang Alvaro.Ambar terbelalak dan berteriak, “Apa?” “Kamu apa-apaan, sih! Kenapa berteriak seperti itu?” sentak Alvaro.Pengusaha muda itu lalu menoleh ke sekelilingnya. Dia ingin memastikan tidak banyak orang yang mendengar teriakan Ambar. Alvaro baru menghembuskan napas lega ketika melihat semua orang sibuk menikmati makanannya. “Ma-maaf … saya terlalu kaget mendengar ucapan Anda. Jadinya spontan berteriak. Lagipula wajar kalau saya kaget. Bagaimana mungkin seorang mantan baby sitter seperti saya bisa bekerja di perusahaan apalagi perusahaan sebesar Hadinata Grup?”“Kenapa tidak mungkin? Kamu kan gadis yang cerdas. Pasti kamu bisa mengimbangi ritme kerja perusahaan.” “Saya bukan seorang sarjana. Kenapa per
“O ya satu hal lagi. Tanggung jawab utama kamu tetaplah Afreen. Jadi kamu akan saya beri izin terlambat datang ke kantor,” ucap Alvaro yang membuat Ambar melongo. ‘Apalagi ini? Kenapa aku jadi merasa bekerja rodi?’ batin Ambar.Alvaro menatap wajah Ambar yang terdiam. “Kenapa? Kamu mengerti maksud saya, kan?” Ambar menghela napas sebelum menjawab, “Saya mengerti. Cuma saya jadi merasa kalau tanggung jawab saya banyak sekali. Mengurus Afreen di rumah, tapi masih harus mikirin pekerjaan kantor juga.” “Kamu keberatan?” tuduh Alvaro tak suka. “Sekarang, sih, belum. Nggak tahu kalau nanti. Kalau pekerjaan di kantor terlalu banyak, sementara di rumah Afreen juga perlu perhatian, saya harus pilih yang mana?”“Utamakan Afreen. Saat ini kamu sudah jadi ibunya. Urusan kantor bisa ditunda, kamu tinggal bilang saja kepada saya. Nanti saya yang bilang ke HRD.”Ambar mengangguk mendengar pesan Alvaro. Setidaknya meski dia keberatan bertambah tanggung jawab, dia tahu mana yang harus diutamakan.
“Hubungan? Hubungan apa? Bertemu dengan Pak Salman aja baru sekali ini, bagaimana saya bisa punya hubungan dengan beliau?” tanya Ambar dengan nada bingung.“Jangan pura-pura lugu!” sentak gadis lain yang rambutnya dicat merah di ujungnya. “Kami tidak akan tertipu dengan gaya sok polos kamu itu!” Ambar berniat berdiri dari kursinya, tetapi perempuan ketiga menahan bahunya dengan kuat sehingga dia terhempas kembali. Ambar melongo mendapat perlakuan kasar seperti ini. Seumur hidup baru kali dia dihinakan oleh orang yang baru pertama kalinya dia temui. Akan tetapi bukan Ambar namanya kalau tidak bisa mengatasi hal tersebut. Dengan tenang Ambar menatap satu per satu ketiga rekan kerja yang baru ditemuinya ini. Tatapan Ambar tajam tak tergoyahkan dan membuat ketiga perempuan yang berdiri di depannya ini saling pandang satu sama lain. Perlahan-lahan wajah mereka mulai menunjukkan perasaan gentar ketika melihat ketenangan Ambar. “Maafkan saya yang mungkin dianggap kurang sopan karena terlam
Bab 32 Ambar Melawan “Ada apa ini? Siapa yang akan dituntut karena sudah melakukan pencemaran nama baik?”Sebuah suara bariton membuat Ambar menoleh. Di pintu ruangan divisi procurement berdiri dua orang lelaki. Mereka melangkah menuju kubikel Ambar yang tak jauh dari pintu. “Eh kenapa kok nggak ada yang jawab pertanyaanku?” Lelaki yang usianya lebih muda kembali bertanya. “Jangan tanya saya, Her. Tuh tanya anak baru,” jawab Susan dengan sengit. Sontak pandangan kedua lelaki berbeda umur itu beralih ke Ambar ketika mendengar jawaban Susan tersebut. “Ooo ada anak baru. Kenalkan saya Heru.” Lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu mengangsurkan tangannya. Ambar menjabat tangan yang terulur itu. “Nama saya Ambar, Pak.”“Pak? Emangnya saya terlihat setua itu ya? Saya aja belum punya istri loh, Mbak. Jadi panggil nama saja seperti yang lain.” “Jangan genit gitu, Her. Kamu itu kebiasaan, deh. Selalu menggoda setiap bertemu perempuan,” sungut Wulan yang tampak cemburu melihat
Bab 33 Fitnah Baru untuk Ambar“Ada apa ini? Ambar! Kenapa kamu belum ke kantor Pak Alvaro?”“I-Iya Pak … saya masih beres-beres, Pak,” jawab Ambar terbata-bata. “Kenapa lama sekali? Dari tadi Pak Alvaro sudah menunggu!”“Itu anu, Pak ….” Ambar sedikit bingung dalam menjelaskan sehingga dia memberikan jawaban yang tidak jelas. “Anu apa? Kamu jawabnya yang jelas!” sentak Pak Salman.Ambar berkata dalam hati ‘Mana mungkin aku ngomong sejujurnya’“Kenapa? Kamu diganggu sama mereka?” desak Pak Salman.“Wulan apa yang kamu lakukan? Jangan merasa sebagai seorang senior lantas kamu bebas melakukan apapun kepada pegawai baru ini!” Wulan menunduk. Dia tidak berani mengangkat kepalanya. Begitu pula kedua temannya. “Kamu merundung Ambar?” Pak Salman menatap Wulan tajam. “Tidak kok, Pak,” Wulan menhawab lirih. “Ya sudah kalau begitu! Lainnya lanjutkan pekerjaan. Ambar cepat kamu pergi ke ruangan Pak Alvaro.”“Baik, Pak,” jawab Ambar tepat sebelum Pak Salman memutar tubuh dan kembali ke rua