Sesuai apa yang telah aku rencanakan kemarin, misiku hari ini adalah mencari tukang untuk memperbaiki dinding dan pintuku.
"Ah, lapar sekali," ucapku sambil meng-scroll aplikasi pesan antar makanan.Aku akan memesan makanan untukku dan Rendra, "Kamu seharusnya beruntung memiliki istri sepertiku. Lihat, aku juga memesankan makanan untukmu," ucapku berbangga diri.Sambil menunggu pesanan, aku duduk di sofa ruang tamu sambil berpikir, "Kira-kira siapa yang punya kenalan seorang tukang?""OH! SELLA!!!" pekikku teringat seorang teman masa kuliah yang memiliki banyak kenalan tukang karena kelurganya selalu melakukan renovasi rumah tiap dua bulan sekali."Halo Sella," sapaku pada Sella melalui telepon."Iya Lusi. Ada apa nih?" tanya Sella"Jadi gini Sel, aku lagi mau merenovasi kamarku. Kamu ada rekomendasi tukang gak?" jelasku pada Sella."Butuh kapan Lus?" tanya Sella memastikan."Aku butuh hari ini, ada gak ya Sel?" ucapku pada Sella."Coba aku cariin ya, nanti aku hubungi lagi," balas Sella mengakhiri telepon kami."Langkah pertama sudah kulakukan, sekarang saatnya menunggu makanan datang," ucapku senang karena rencanaku sudah berjalan sedikit.Pesananku sudah datang, aku memilih untuk menikmatinya sendirian.Aku menoleh ke arah kamar Rendra, pintunya tertutup sangat rapat, "Sepertinya dia kelelahan," ucapku mengingat kejadian tadi malam.Aku memilih untuk membiarkan Rendra bangun sendiri dan keluar kamar, aku enggan sekali untuk membangunkannya.Sret, sret, sret.Aku mendengar langkah kaki berjalan mendekat ke arahku."Makanlah, aku sudah pesan untukmu juga," ucapku sambil terus menikmati makananku.Dia tidak meresponku dan terus berjalan mendekat."Kenapa kamu masih ada di sini?!" tanyaku kaget setelah mengetahui bahwa Anya masih berada di dalam rumahku dan Rendra."Apalagi? aku menginap kemarin," balasnya santai."Orang gila, gak waras kamu!!" protesku berdiri dari meja makan.Aku mengambil semua makanan yang ada di atas meja dengan kasar, "Hei kenapa kamu mengambilnya?" protes Anya tidak terima atas tindakan yang aku lakukan.Aku menatapnya tajam, kemudian aku tersenyum padanya, "Oh maaf aku tidak tahu kalau kamu juga mau. Kalau begitu ulurkan tanganmu," ucapku sambil memeluk semua makananku.Anya tampaknya ragu, namun akhirnya dia memilih mengulurkan tangannya.Duh.Aku meludahi tangan Anya.Aku berjalan keluar rumah sambil mendengar omelan Anya yang tidak aku pedulikan, "Selamat menikmati ludahku Anya," gumamku senang atas tindakan yang aku lakukan.Segera saja aku masuk ke dalam mobilku dan berangkat ke rumah sakit, "Ah lapar sekali," keluhku karena belum sempat menghabiskan makanan milikku karena Anya.Setidaknya aku akan lebih nyaman makan di rumah sakit bersama Kakek, dan mungkin saja ada orang tuaku di sana."Kamu kenapa datang sendirian?" tanya Mama yang melihat aku pergi ke sana sendirian tanpa Rendra.Aku hanya mengangkat bahu karena malas menjawab hal yang berhubungan dengan Rendra, aku memilih untuk duduk dan makan makanan yang telah aku pesan karena merasa sangat lapar."Jangan menatapku seperti itu, aku baik-baik saja," ucapku pada Mama, Papa, dan Kakek karena terus menatapku.Mereka tahu betul kalau kami menikah bukan atas dasar cinta, karena Kakek sendirilah yang memintaku menikah dengan Rendra."Katakan kepada Kakek jika Rendra menyakitimu," ujar Kakek kepadaku."Memang apa yang akan Kakek lakukan?" tanyaku penasaran sambil terus mengunyah makanan."Kakek memintamu menikah dengan Rendra karena Kakek menilai dia adalah orang yang baik, terlebih dia adalah cucu sahabat Kakek. Namun, jika penilaian Kakek salah, ternyata Rendra bukan orang yang baik dan dia menyakitimu, Kakek tidak akan rela," jelas Kakek yang sepertinya sedang khawatir dengan hubunganku dan Rendra.Aku berhenti mengunyah dan berpikir, "Apakah perbuatan Rendra dapat dikatakan menyakitiku?" tanyaku dalam hati."Tidak Kek, aku masih bisa mengatasi ini. Rendra tidak menyakitiku, ini hanya perkara karena kita tidak saling mencintai," ucapku menenangkan Kakek."Kakek berharap kamu akan bahagia bersama Rendra," harap Kakek terhadap hubunganku dan Rendra.Aku hanya tersenyum tipis atas ucapan Kakek, "Maaf Kek, sepertinya harapan Kakek tidak akan terjadi," ucapku dalam hati.Aku sebenarnya tidak sakit hati atas tindakan yang dilakukan Rendra, aku hanya kesal karena itu menggangguku. Andai saja Rendra dan Anya melakukannya dengan mode senyap, aku sangat tidak keberatan.Setelah makan dan beristirahat sejenak di rumah sakit, aku kembali ke rumah dengan perasaan yang sedikit lebih lega. Meskipun masalah dengan Rendra masih ada, aku berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada penyelesaian perbaikan rumah.Sementara itu, di rumah aku sudah tidak merasakan kehadiran Anya dan Rendra, "Sepertinya mereka sudah pergi," pandanganku beralih melihat jam yang menempel di dinding, "Harusnya Rendra sedang berada di kantornya."Drtt. Drtt.Sella menelponku."Nah, ini yang aku tunggu," ucapku tidak sabar mendengar kabar baik dari Sella."Hallo, gimana Sel?" tanyaku penasaran."Ada nih Lus, bisa kerja sekarang. Aku kirim nomornya ke kamu ya, lalu kamu share lokasi rumahmu," balas Sella memberikan kabar yang sangat baik."Oke Sel, terima kasih banyak. Nanti kalau kamu free ayo kita ke restoran makan makanan enak!" ucapku pada Sella karena merasa senang atas bantuan yang diberikan.YES!!! MISSION COMPLETED LUSI!!!!"AKHIRNYA!!!" pekikku karena merasa sangat senang.Aku tidak sabar menunggu para tukang datang, aku terus saja memperhatikan pintu rumahku.Aku mencoba menjaga ketenangan pikiran dengan melakukan aktivitas yang membuatku nyaman. Aku memilih untuk membaca buku yang sudah lama terbengkalai sambil mendengarkan musik yang menenangkan sambil menikmati secangkir teh hangat di ruang tamu.5 menit berlalu...10 menit berlalu...15 menit berlalu...."ITU!! MEREKA DATANG," ucapku seorang diri melihat segerombolan motor berdatangan ke arah rumahku.Segera saja aku berjalan menyambut mereka, "Halo Pak, saya Lusi. Silakan masuk ke dalam," perintahku pada para tukang untuk masuk ke dalam rumah.Aku berjalan mengarahkan mereka ke kamarku, "Ini Pak kamar yang perlu direnovasi," jelasku pada mereka.Para tukang mengangguk paham dan segera melakukan pekerjaannya."Maaf Pak, perkiraan akan selesai berapa hari ya Pak? Jika setiap hari dilakukan sampai jam 5 sore," tanyaku kepada para tukang memastikan."3 hari cukup Bu," balas salah satu tukang di sana.Aku merasa lega karena akhirnya masalah itu akan segera terselesaikan.Selama proses perbaikan berlangsung, aku mencoba untuk tetap tenang dan tidak terlalu terganggu dengan kehadiran tukang di rumah.Aku lanjut membaca buku sambil menunggu waktu jam kerja tukang hari ini selesai, aku juga memesan beberapa makanan dan minuman untuk dihidangkan pada mereka."Sudah jam 16.50, kalian bisa bersiap untuk pulang," perintahku pada mereka.Aku melihat Rendra pulang ke rumah. Ketika Rendra sampai di rumah, dia terkejut melihat kehadiran sejumlah tukang di rumahnya. Pasti dia kebingungan, dia merasa tidak melakukan renovasi apapun.Dia menatapku seakan meminta jawaban padaku. Sorot matanya penuh dengan keheranan dan kebingungan, mencerminkan perasaannya yang campur aduk di tengah kekacauan yang tak terduga.Aku membiarkan Rendra tenggelam oleh pikirannya sendiri, aku akan menjelaskan setelah para tukang meninggalkan rumah kami.Rendra terus mengawasi para tukang yang ada di sana, seperti khawatir akan terjadi sesuatu di rumahnya."Lucu juga ekspresi dia di situasi seperti ini," ucapku dalam hati melihat ekspresi Rendra.Aku mengantarkan para tukang hingga di sampai halaman rumah kami, "Hati-hati ya pak," ucapku pada para tukang di sana.Aku berjalan kembali masuk ke dalam rumah, di sana aku melihat Rendra duduk di sofa sambil menatapku tajam."Apa yang sedang kamu lakukan di rumahku?!" introgasi Rendra padaku."Aku hanya melakukan perbaikan sedikit pada kamarku," balasku santai seperti tidak bersalah."Kamu memangnya sudah izin padaku?!" tanya Rendra dengan nada menekan."Bukankah itu kamar milikku, jadi mau aku apakan terserahku?" balasku yang tidak mau kalah dengan Rendra."Bagaimanapun kamu harusnya izin terlebih dahulu!!" ucap Rendra terus menatapku."Aku tidak akan melakukan ini jika kamu tidak menggangguku dengan suara berisikmu dan kekasihmu itu," tegasku pada Rendra."Ini adalah rumahku," ujar Rendra tidak mau kalah."Sudah menjadi rumah kita, bagaimanapun sekarang kita sudah sah menjadi suami istri," balasku dengan menekan kata 'sah' pada Rendra."Rendra, setidaknya pakailah otakmu," lanjutku saling bertatapan tajam dengan Rendra."Aku tahu kita tidak boleh mengganggu urusan pribadi, tapi setidaknya hargai keberadaanku di sini!" ucapku dengan napas yang memburu.Aku berhenti berdebat dengan Rendra dan pergi meninggalkannya untuk kembali ke kamar.Ketika aku akhirnya sampai di pintu kamar, aku menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menghapus jejak-jejak kekesalan yang merayapi pikiranku, "Tenang Lusi..." ucapku dalam hati menenangkan diri.Dengan gerakan lambat, aku memasuki ruangan yang gelap, membiarkan keheningan malam menyelimuti diriku seperti selimut yang dingin namun menenangkan."Aku sekarang sudah tidak peduli sama sekali dengannya, aku tidak akan pernah memesan makanan untuknya, aku hanya akan berfokus pada diriku sendiri.""Nanti malam ada acara keluarga," ucap Rendra ketika aku lewat di depannya, sedang duduk di sofa ruang tamu."Artinya aku harus bersandiwara menjadi pasangan sungguhan dengannya?" pikirku dalam hati mengenai ucapan Rendra.Aku tidak memedulikan ucapannya, melewatinya begitu saja dan menyambut para tukang yang sudah datang.Aku berjalan keluar rumah dan berhenti di depan pintu, "Halo, kamu mau kerjaan?" tanyaku kepada seseorang melalui telepon."Temui aku di butikku," ucapku yang kemudian mengakhiri telepon.Aku melirik Rendra sejenak, "Dia sedang siap-siap untuk berangkat ke kantor."Kruyuk, kruyuk.Perutku berbunyi."Sabar, habis ini kita makan enak," ucapku kepada perut rataku.Aku berjalan menuju tempat mobilku terparkir, saat aku hendak membuka pintu, sebuah mobil berhenti di halaman rumahku."Siapa itu?" gumamku dalam hati memperhatikan seseorang tersebut hingga keluar dari mobilnya."Hai," sapa seseorang padaku, dan dia adalah...."Anya," gumamku pelan.Aku masuk ke dalam mobilku
"Memangnya aku akan berbuat apa?" gumamku dengan kesal mendengar ucapan Rendra.Aku bersiap-siap dengan dress ungu muda yang Rendra berikan. Dress itu terlihat begitu indah dan pas di tubuhku."Bagaimana sekretaris Rendra tahu kalau aku mengincar dress ini?" tanyaku seorang diri masih penasaran.Aku tersenyum, "Tapi dia manis juga membelikanku dress ini."Aku berputar-putar di depan kaca, melihat penampilanku.Ketika merasa sudah siap, aku berjalan keluar kamar untuk menemui Rendra yang sepertinya sudah menunggu di depan. "Rendra," sapaku pada Rendra ketika aku melihatnya dari belakang sedang duduk di sofa.Rendra menoleh saat aku memanggil namanya, tatapannya terpaku selama beberapa detik, "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" tanyaku pada Rendra memastikan bahwa tidak ada yang aneh dengan penampilanku."Tidak. Ayo berangkat," balasnya kemudian jalan keluar rumah.Aku mengikuti langkah kaki Rendra, mencoba mensejajarkan dengan langkahnya, "Apakah aku tidak terlihat cocok denga
Suasana di rumah terasa tegang dan penuh dengan ketegangan. Wajah Rendra masih memancarkan amarah, mencerminkan ketidakpuasan dan ketegangan yang mendalam dalam dirinya. Dengan langkah perlahan, aku memasuki dapur untuk mencari segelas air minum. Dengan suara yang lembut, aku menawarkan air tersebut kepadanya, mencoba memberikan sedikit ketenangan, "Minumlah agar kamu lebih tenang," ucapku sambil menyerahkan gelas air ke tangannya. Rendra menerima gelas air dengan tangan yang gemetar, menunjukkan kegelisahan yang masih terasa di dalam dirinya. Setelah mengambil beberapa tegukan air, ekspresinya sedikit mereda, tetapi suasana tegang masih terasa di sekitarnya, seolah-olah siap meledak setiap saat. Dengan napas yang masih memburu, Rendra menoleh ke arahku, "Kenapa kamu sendirian di sana?" tanyanya dengan nada tajam. Aku menjelaskan situasi yang terjadi sebelumnya, "Aku hendak berjalan ke arahmu, namun Tante Dewi-" "Jangan menyebut namanya, itu akan mengotori rumahku," potong Rendra
"Anya?" ucapku dengan terkejut ketika melihat yang ada di depan pintu bukan kurir, melainkan Anya. Anya mengernyitkan dahinya, "Kenapa kamu begitu terkejut?" tanyanya padaku. "Rendra di dalam kan?" tanyanya lagi sambil melihat ke arah dalam rumahku. Saat Anya hendak masuk ke dalam rumah, aku menahannya, "Hari ini libur dulu, biarkan Rendra istirahat," tegasku padanya. Anya menatapku dengan tatapan heran, mencoba memahami alasan di balik kata-kataku. Wajahnya memperlihatkan sedikit kebingungan, seolah tidak yakin dengan ucapan yang baru saja aku sampaikan. "Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran, mencerminkan ketidakpastian yang ada di benaknya. "Aku hanya ingin Rendra mendapatkan istirahat yang cukup," jawabku dengan mantap, mencoba meyakinkan Anya tentang ucapanku. "Dia akan lebih baik jika bersamaku," ucap Anya dan mendorong tubuhku agar bisa menerobos masuk ke dalam rumahku. Meskipun Anya berusaha keras, aku menahan langkahnya. "Aku mengerti bagaiman
Aku terkejut, sontak membuka mata dan merasakan suasana yang hening. Mengalihkan pandanganku ke arah pintu, aku menyadari bahwa aku tertidur di sofa. "Aku ketiduran di sini, lalu bagaimana dengan Anya?" pikirku dalam hati, sambil mencoba memahami keadaan sekitar.Aku keluar untuk melihat mobil Anya yang awalnya terparkir di sana. Sial! Tapi mobil Anya sudah tidak berada di tempatnya. Perasaanku campur aduk."Bukan aku yang mengerjainya tapi dia yang mengerjaiku," gumamku pelan sambil mengusap wajah kasar, mencoba memahami apa yang terjadi.Drtt. Drtt. Telepon dari Frans masuk."Jam berapa aku harus ke sana?" tanya Frans melalui telepon."Sekarang aja, sekalian bawakan makanan, aku lapar," jawabku cepat."Ini hari terakhir para tukang bekerja. Apa saja yang akan aku lakukan hari ini?" pikirku dalam hati, mencoba merencanakan langkah selanjutnya."Pertama aku harus makan dulu," ucapku sambil membayangkan makanan yang lezat, mencoba menenangkan perut yang kosong."Kemudian, aku akan ke b
Aku terus mengamati pergerakan Raju dan wanita itu di tengah keramaian restoran yang penuh dengan aroma makanan lezat dan gemerlap lampu. Lampu-lampu berwarna-warni memantulkan cahaya yang memperindah suasana, sementara bau rempah-rempah dari masakan yang sedang dimasak membuat perutku bergelora.Seketika aku teringat ucapan Raju ketika kami masih berpacaran, "Aku akan membangun restoranku sendiri satu atau dua tahun kemudian, aku akan memberi nama Ra-food. Bagaimana menurutmu?" Ucapannya menggema di telingaku, dan rasanya aneh untuk menyadari bahwa restoran ini adalah buah dari mimpi yang pernah diucapkannya padaku."Jadi, inilah restoran milik Raju. Dia tidak lagi bekerja di restoran keluarganya," gumamku seorang diri, memperhatikan pergerakan Raju dan wanita itu dari kejauhan."Lalu, siapa wanita itu?" tambahku penasaran, mencoba mengintip percakapan mereka dari kejauhan.Rasa penasaranku membuatku berjalan mendekat ke arah kasir. Aku ingin memastikan apakah pemilik restoran ini be
Malam itu, aku kembali ke rumah dengan perasaan kosong. Aku memutuskan untuk memberikan waktu dan ruang bagi diriku sendiri, untuk menyembuhkan luka dan menerima kenyataan yang sulit ini.Sesampai di rumah, aku tidak merasakan keberadaan Rendra. Aku memilih untuk mengabaikannya dan segera masuk ke kamar untuk istirahat."Raju. Aku tidak menyangka dia pandai membalikan fakta. Membuat seolah-olah dia adalah korban," ucapku pada diri sendiri, mencoba meredakan kekesalan dan kekecewaan yang melanda hatiku. Perasaan itu terus menghantuiku bahkan di dalam kegelapan kamar yang sunyi. Aku membiarkan diriku terlelap dalam kelelahan yang menyelimuti hatiku. Sesak. Sesaat, semua terasa sesak.Pagi-pagi buta, mentari menyapa jendela kamarku dengan sinar hangatnya. Kuatkan hati, aku bersiap untuk menghadapi hari dengan tekad baru. Aku meninggalkan kamar dan menuju ke dapur untuk mengambil segelas air. Saat itu, Rendra terlihat sibuk di dapur, sementara Anya dengan senyuman penuh kemenangan menya
Setelah menempelkan kertas pemberitahuan di sebelah bel rumahku, aku memasuki rumah dan memilih untuk melanjutkan aktivitasku di ruang tamu. Aku ingin memantau pergerakan kurir yang datang.Dari dalam rumah, aku memperhatikan beberapa kurir yang berdatangan dan meletakkan paket-paket mereka sesuai petunjuk yang aku tulis di kertas yang aku tempelkan di depan pintu. Suara derap langkah kaki yang terdengar dari ruang tamu yang sepi. Sambil bersandar di sofa yang empuk, aku menggumam sendiri, "Berapa banyak pesanan Anya?"Keramaian dari para kurir yang masuk dan keluar tidak mengganggu ketenanganku di ruang tamu. Aku memilih untuk membiarkan mereka bergerak dengan leluasa, membawa paket-paket yang ditujukan untuk Anya."Hah... Anya Anya," desisku tak habis pikir atas tindakan yang dilakukannya untuk membalasku. Rasa heran campur jengkel menyelinap ke dalam hatiku, menghadapi serangan balasan yang begitu tak terduga."Ini bukan levelku, Anya. Mudah sekali untuk kuatasi," gumamku pelan, men