Drrtt. Drrtt.
Telepon pagi itu menghentikan mimpiku yang masih hangat di dalam selimut. Kusentuh layar ponselku dan mataku segera tertuju pada angka 08:00 yang berkilau di jam dinding."Hmm?" tanyaku dengan suara masih terdengar mengantuk."Mama...." suara Rendra terdengar cemas di ujung telepon.Segera terbangun dari kantukku, "Ada apa, Rendra? Katakan dengan jelas!" ucapku, mencoba menghilangkan kebingungan."Orangtuaku ada di depan," ucap Rendra, dan rasanya detak jantungku langsung berhenti sejenak."Anya, ada di kamarku," tambahnya lagi.Sial!! Masih pagi, tapi ada saja masalah yang datang.Aku merasa kebingungan, mengutuk dalam hati. Orangtua Rendra datang di pagi hari seperti ini? Dan Anya ada di kamarnya?Aku meminta Rendra untuk menemui orangtuanya terlebih dahulu, mencoba untuk menenangkan diri. "Datangilah mereka terlebih dahulu," pintaku padanya.Tapi Rendra bertanya, "Kenapa begitSetelah beberapa saat, Mama Rendra berdiri dari tempatnya dan menyeka lengan bajunya. "Kami sebaiknya segera pulang, Lusi, Rendra. Kami tidak ingin mengganggu kalian terlalu lama.""Ah, tidak apa-apa, Ma. Kami senang bisa berbincang-bincang sebentar," ucapku sambil mencoba menenangkan suasana.Papa Rendra mengangguk setuju. "Iya, tetapi kami tidak ingin menyita waktu kalian terlalu banyak."Mereka memberikan senyuman hangat. Aku tersenyum balik, mencoba menyembunyikan perasaan canggung yang masih menghantui.Mama Rendra mengeluarkan sebuah kunci dari dalam tasnya dan menyerahkannya padaku dengan lembut. "Kunci cadangan rumah ini, sekarang kamu yang harus memegangnya, Lusi," ucapnya dengan nada hangat.Aku menerima kunci itu dengan senyum tipis. "Terima kasih banyak, Ma," ucapku tulus.Papa Rendra menambahkan, "Kami akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua."Kami berdua mengucapkan terima kasih lagi sambil m
Aku tidak pernah menyangka Anya akan melakukan sesuatu seperti ini, bahkan sampai pada titik rela melukai dirinya sendiri."Apa sebenarnya yang Anya inginkan?" gumamku pelan, mencoba merenung atas tindakannya.Hening terasa menyelimuti ruangan, hanya terdengar hembusan napasku yang panjang saat aku menyandarkan diriku ke sofa yang empuk. Udara sejuk pagi hari menyusup masuk melalui jendela terbuka, menambah kesan sepi. Ting tong.Bel rumahku berbunyi, memecah keheningan dengan suaranya yang samar. Aku bergerak perlahan, meninggalkan sofa, langkahku memecah kesunyian ruangan saat aku menuju pintu untuk melihat siapa yang datang di pagi hari."Bukankah kamu adalah kekasih Raju?" tanyaku, mencoba memastikan dugaanku.Wanita itu mengangguk, "Saya Lia," sapanya sambil mengulurkan tangan.Aku tidak membalas uluran tangannya, memandangnya dengan ketus. "Ada apa?" tanyaku tegas."Bisakah kita membicarakannya di dalam?" tanya Lia, mencoba menembus dinginnya suasana.Aku merenung sejenak, lalu
"Kerjasama dalam hal apa?" tanya Frans, mencari klarifikasi tentang kerjasama yang telah disebutkan.Lia berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan penuh antusias, "Merobek topeng Raju!!"Frans mengangguk setuju, "Aku ikut dia saja," ucapnya sambil menunjukku, menunjukkan kesediaannya untuk bergabung dengan rencana tersebut.Namun, aku dengan tegas menolak, menghentikan senyuman yang terlukis di bibir Lia. "Aku tidak setuju," ucapku dengan tegas, merasa bahwa rencana itu terlalu berisiko.Lia dan Frans menatapku dengan serius, menunggu penjelasan lebih lanjut dari sikapku yang tegas. "Kamu harus banyak istirahat, Lia," tegasku lagi, mencoba menjaga keamanan Lia.Frans menyipitkan matanya, seolah-olah mencoba membaca pikiranku. "Tidak biasanya kamu akan menolak hal seperti ini," ucapnya, menunjukkan keheranannya atas sikapku yang tidak biasa."Aku akan baik-baik saja, Lusi," jelas Lia padaku, mencoba meyakinkanku. Dia melanjutkan dengan pelan, sambil menunduk mengelus perutnya,
Di ruang tamu yang sunyi, aku merenung tentang masa lalu yang penuh kenangan indah bersama keluargaku. Ingatan akan tawa dan cerita di sekitar meja makan membuat senyum terukir di wajahku. "Aku rindu tinggal bersama Mama, Papa," gumamku pelan, merasa kesepian di tempat yang sunyi ini.Saat matahari mulai meredup dan cahaya senja memenuhi ruang tamu, aku merasa damai dan tenteram. Suasana yang tenang membuatku semakin larut dalam ingatan- ingatan manis bersama keluargaku.Lama-kelamaan, kelelahan yang menumpuk dari hari yang panjang membuatku terlelap di sofa yang nyaman. Ketika aku terbangun dari tidurku, ruangan tampak lebih gelap dari sebelumnya. Cahaya redup dari lampu malam memancar lembut, menerangi sudut ruangan, dan memancarkan suasana yang tenang. Aku menggosok-gosokkan mata, mencoba memperjelas pandanganku, sementara hening malam membuatku merasa tenang."Sudah berapa lama aku tertidur?" gumamku pelan, mencari jawaban dalam kegelapan yang menyelimuti ruangan. Aku melirik
Keesokan paginya, sinar mentari menyapu ruangan dengan lembut, menandakan kedatangan pagi. Aku membuka mata dengan perasaan segar, tetapi ketika kugeliatkan pandanganku ke arah tempat tidur Kakek, sebuah kegelisahan menyelinap perlahan ke dalam hatiku. Napasnya terdengar berat, dan warna kulitnya terlihat pucat dibandingkan semalam. Langkahku ragu ketika kudekati Kakek, dan ketakutan menghantui pikiranku saat aku meraih tangannya yang semakin dingin.Dengan getaran hati, aku menggenggam erat tangan Kakek. "Kakek, tolong bertahanlah," bisikku dengan suara gemetar, doa terlontar dari bibirku dalam keheningan pagi.Segera aku mencari bantuan dengan memanggil perawat yang bertugas. "Maaf, bisakah Anda segera memeriksa kondisi Kakek? Saya merasa ada yang tidak beres," ucapku dengan ketegangan yang terasa memenuhi udara.Dalam hitungan detik, seorang perawat memasuki ruangan dengan ekspresi cemas yang terpahat jelas di wajahnya. "Keluarga Kakek Jaya, kondisinya semakin memburuk. Kami har
Pemakaman Kakek dihadiri oleh keluarga dan sahabat yang sedang berduka. Mereka saling memberikan dukungan dan penghiburan, membagi kesedihan mereka dalam suasana yang hening.Di tengah kerumunan, Rendra tiba bersama keluarganya. Melihatnya, tangisku tak tertahankan lagi. Aku berlari ke arahnya, mencari pelukan yang bisa menguatkan.Rendra melingkarkan lengannya di sekelilingku dengan penuh kelembutan. Aroma maskulin dari parfumnya menyapu indera penciumanku, memberikan sedikit kenyamanan di tengah kesedihan yang melanda."Menangislah sepuasmu," bisiknya dengan suara yang hangat, menenangkan hatiku yang hancur karena kehilangan Kakek."Dia begitu istimewa bagiku, Rendra. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melanjutkan hidup tanpa Kakek," ucapku di antara isakan yang tak terbendung.Rendra mengelus punggungku dengan lembut, membiarkan aku melepaskan semua rasa sakit dan kehilangan yang terpendam.Aku membiarkan diriku tenggelam dalam pelukannya, membiarkan air mataku mengalir tanpa hamba
Keesokan harinya, cahaya lembut matahari mulai menyinari langit, memberikan kesan hangat pada pagi yang sepi. Saat aku bangun dari tidurku, perasaan kehilangan Kakek masih membayangi pikiranku, membuat langkahku terasa berat saat aku keluar kamar.Di ruang tengah, Rendra sudah menunggu dengan secangkir kopi di tangannya, wajahnya tampak lebih tenang daripada kemarin. Aroma kopi yang harum memenuhi udara, memberikan suasana yang tenang dan nyaman."Aku sudah membeli makanan untukmu, makanlah," ucap Rendra sambil menawarkan sepiring cumi hitam kesukaanku.Aku mengangguk sambil tersenyum, mengambil sepotong makanan dan menyuapkannya ke mulut. "Ini adalah makanan kesukaanku," ucapku pelan, sambil membiarkan rasa nostalgia memenuhi ruangan.Rendra mengangguk, senyumnya tersirat di bibirnya yang lembut. "Kakekmu yang memberitahuku," balasnya.Aku memandang Rendra, terpancar kehangatan dalam tatapan kami yang saling bertaut. Dalam keheningan itu, terlihat jelas kedekatan antara Rendra dan K
Rendra tersenyum misterius, "Aku tahu kamu menyukai suasana pasar malam, jadi aku pikir ini akan menjadi tempat yang sempurna untuk melanjutkan hari yang indah ini."Senyuman tak tertahankan terukir di wajahku mendengar kata-kata Rendra. Aku berterima kasih dalam hati atas usahanya untuk menghiburku.Kami berdua berjalan-jalan di sepanjang pasar malam, menikmati berbagai makanan lezat dan melihat-lihat berbagai barang dagangan yang dipajang di sepanjang lorong-lorong pasar.Suasana ramai dan penuh warna dari lampu-lampu hias yang menghiasi sekitar memberikan nuansa keceriaan."Ingat waktu Kakek selalu membawamu ke pasar malam saat kamu kecil?" tanya Rendra sambil memandangiku dengan penuh kehangatan.Aku menoleh terkejut ke Rendra, "Bagaimana kamu bisa tahu banyak tentangku dan Kakek?" tanyaku pada Rendra.Rendra menghela napas, "Bagaimana aku tidak tahu banyak, jika setiap aku bertemu dengannya, yang dibahas adalah dirimu," jawa