"Tante?" Sentuhan lembut di lengan ini membuatku tersentak kaget.
"Tante kenapa melamun? Tante tidak tahu, ya, di mana Ayahku?" tanya anak ini kembali.Aku masih diam. Namun gemuruhnya dadaku terdengar dengan jelas. Aku meneguk ludah kasar. Mengendalikan diri dan hati yang sudah porak-poranda.Entah berapa lama aku terpaku, akhirnya aku menoleh dan menatap kembali anak perempuan yang tengah bersamaku kini.Bukannya menjawab pertanyaan anak ini. Tanganku yang gemetar justru membuka dompet kembali. Mengeluarkan secarik foto yang memuat gambarku bersama Mas Rafka. Sebenarnya, hanya foto berukuran kecil saat aku iseng mengajaknya untuk photobox di sebuah mall. "E ... ini ... Ayah kamu?" tanyaku kemudian.Perempuan kecil ini melihat pada pas foto di tanganku sebelum kemudian mengangguk. "Iya, Tante. Ini Ayah," jawabnya dengan senyuman manis.Aku menatap sepasang manik hazelnya dengan perasaan entah. Ribuan batu seakan menghantam hati ini dengan kerasnya. Aku menarik tanganku dari depan tubuh anak perempuan ini. Tanpa sepengetahuannya, aku meremas foto Mas Rafka.Kenyataan macam apa ini?Mas Rafka memiliki anak yang sudah sebesar ini? Sejak kapan dia mengkhianati pernikahan kami? Kenapa tidak ada satu petunjuk saja yang menunjukkan kecurangannya sebelum hari ini? Kenapa? Batinku menjerit pilu."Kalau Tante tidak tahu, tidak apa-apa. Mungkin benar kata Ibu, Ayah memang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Jadi belum memiliki waktu luang untuk menemuiku dan Ibu," tuturnya dengan wajah polos tanpa merasa berdosa. Sebelum kemudian dia menundukkan kepalanya dan raut wajah itu berbuah kecewa."T-tante tahu di mana Ayah kamu. T-tante bisa membawa kamu bertemu dengan dia," ucapku bahkan masih dengan gemetar.Sepasang netra indah anak perempuan ini membulat. "Benarkah, Tante?" tanyanya girang.Aku mengangguk patah-patah. "I-iya. Benar. T-tapi sebelumnya, emm kamu bisa bawa Tante ke rumah kamu dulu?" pintaku terbata. Jujur saja dadaku masih merasakan sesak napas.Anak perempuan ini seketika berdiri dari duduknya di sebelahku. Kepalanya terangguk dengan cepat. Bahkan tangannya sudah meraih tanganku dan menggenggamnya. "Ayok, Tante! Biar aku juga bilang sama Ibu, kalau Tante tahu di mana Ayah. Aku sama Ibu udah lama gak ketemu Ayah," ajaknya begitu antusias.Aku tak berdaya menolak. Tubuhku bahkan telah ikut berdiri meski kakiku rasanya lunglai. Aku menganggukkan kepalaku menyetujui ajakan anak kecil ini.Bahkan aku belum tahu siapa namanya. Aku kehilangan fokus. Setelah anak perempuan ini menanyakan foto Mas Rafka, dan mengakui sebagai Ayahnya. Mungkinkah lelaki yang begitu kupercaya dan kupuja itu telah berbagi hati sejak lama?Ya Tuhan bangunkan aku dari mimpi buruk ini.~Sekitar dua puluh menit dari pusat perbelanjaan oleh-oleh tadi. Kini kakiku sudah menapak di halaman kecil sebuah rumah minimalis.Halaman rumah yang tak berpagar, tak seberapa luas dan memiliki taman kecil. Satu hal yang menyita perhatianku, taman kecil itu ditumbuhi mawar mawar putih. Bunga kesukaan Mas Rafka.Aku terpaku.Bersusah payah aku menguatkan hati dan juga tubuh ini agar dapat tetap berdiri tegak."Ayok, Tante. Kita bertemu Ibuku di dalam sana," ajak anak perempuan yang tak lepas menuntunku sejak tadi.Aku menelan saliva kesusahan. "E ... kamu ... masuk duluan saja, ya. T-tante ... mau hubungi dulu teman sebentar. Nanti Tante menyusul masuk," alibiku.Gadis kecil ini mengangguk patuh. Dia melangkahkan kakinya ringan. Berjalan dengan langkah terayun menuju teras rumahnya.Rumah dengan tipe 36 di hadapanku saat ini begitu mungil. Didominasi warna putih dengan halaman kecil yang bersih, membuat rumah ini terlihat begitu asri dan meneduhkan.Aku menyeret kaki. Mengikuti gadis kecil itu dari belakang tanpa sepengetahuannya. Anak perempuan itu sudah masuk ke dalam rumahnya tanpa perlu mengetuk pintu. Dia masuk dan membiarkan pintu rumahnya terbuka lebar.Aku berdiri tepat di samping kusen pintu. Aku bersembunyi dengan tubuh rapat di balik tembok rumah ini."Bu, hari ini ada yang borong lukisan tangan ibu. Ini uangnya." Terdengar suara anak perempuan itu di dalam sana."Wah. Alhamdulillah, Sayang. Tapi besok kamu enggak perlu jual lagi lukisan ibu ini, ya. Biar ibu yang menjualnya di galeri khusus lukisan. Kamu belajar saja di rumah." Suara perempuan terdengar begitu lembut menyahut."Tapi aku suka, Bu. Aku suka menjual lukisan-lukisan tangan ibu. Aku mau semua orang bisa menikmati karya bagus dari ibu. Aku bangga punya ibu yang pandai melukis."Seketika hening. Dengan segenap kekuatan, aku memberanikan diri mencondongkan badan. Mengintip ke arah dalam rumah ini.Di sana, ibu dan anak itu tengah berpelukan. Hingga sang anak melepas lebih dulu pelukannya. Mereka masih membelakangiku. Di depan sang Ibu terdapat media lukis."Bu, hari ini kita bisa bertemu Ayah. Ada Tante baik yang tahu di mana Ayah," ucap anak perempuan itu setelah melepaskan pelukan dengan sang ibu."M—maksud kamu, Nak?" Ibu anak itu terdengar kaget. Entah siapa dia, aku merasa belum pernah melihatnya. Aku bahkan baru mendengar suaranya hari ini.Anak perempuan itu menoleh. Hingga pandangan sang ibu mengikutinya dan mereka bersama-sama menatapku."Itu, Bu. Tante baik yang tahu di mana Ayah," ujar gadis kecil itu pada Ibunya.Pandanganku dengan perempuan yang disebut Ibu itu beradu. Tanpa mempedulikan tubuh yang terasa lemah. Kakiku melangkah tanpa komando ke dalam rumah mungil ini.Perempuan yang disebut Ibu itu berdiri seolah menyambut kedatanganku ke rumahnya. Meski terasa melayang tapi aku berhasil masuk ke dalam rumah ini. Satu figura yang terpajang di tembok ruangan tamu memasang foto Mas Rafka bersama perempuan penghuni rumah ini.Sialnya, itu memang Mas Rafka. Dan foto itu, seperti foto pernikahan mereka.Ya, Tuhan. Masihkah aku berpijak di bumi ini?Kini aku sudah berhadapan dengan ibu dan anak perempuan ini. Tidak seperti anak yang mengembalikan dompetku, perempuan yang disebut ibu ini terlihat begitu jelita. Mata bulat dengan iris cokelat pekat. Bulu mata lentik serta kulit putih bersih. Dagunya terbelah menambah kecantikan wajahnya yang tanpa make up.Perempuan ini memang sempurna untuk Mas Rafka yang juga rupawan.Kami bertatapan tanpa ada keinginan untuk saling kenal. Kebisuan menyelimuti pertemuan ini. Pertemuan yang tidak pernah aku harapkan. Bahkan, aku teramat membencinya."Tante, ini Ibuku. Bisakah sekarang Tante membawaku dan ibu bertemu Ayah?" celoteh gadis kecil yang berada di tengah-tengahku dan ibunya ini.Aku tak menghiraukan. Kedua tangan ini terkepal kuat di samping tubuhku. Sebelum aku mengangkatnya tinggi-tinggi di udara.PLAK!."TANTE!" Gadis kecil itu menjerit. Kedua tangannya memeluk pinggang perempuan yang dia sebut-sebut Ibu sejak tadi setelah tanganku mendarat sempurna pada pipinya."Kenapa Tante memukul Ibu? Apa salah Ibu? Bukankah tadi Tante yang meminta untuk ke mari," sambung gadis kecil itu lagi.Perempuan berparas jelita di hadapanku ini masih memegangi pipinya. Jejak kemerahan yang ditinggalkan lima jariku, kontras membekas di kulitnya yang bersih mulus."Berapa lama kamu menikah dengan Mas Rafka, hah? Kenapa harus suamiku yang kamu rebut? Pernikahanku terlalu sempurna untuk kamu rusak!" desisku di antara gigi yang bergemeletuk menahan luapan amarah."Rafka ...?" ulang perempuan di hadapanku ini dengan lirih."Iya! Rafka Mahesa. Suamiku yang disebut-sebut ayah oleh putrimu ini. Berapa lama? Sudah berapa lama kamu merebutnya dariku!" teriakku membentak di depan wajahnya."Tante! Berhenti! Jangan sakiti Ibu lagi. Jangan berbicara keras-keras pada Ibu. Apa salah Ibu pada Tante? Bukannya Tante yang i
Setelah kurang lebih 2 jam dalam pesawat, aku akhirnya tiba di bandara. Kembali menaiki taksi online aku segera bertolak dari bandara untuk menuju rumah. Selama perjalanan pulang hatiku benar-benar kacau, pikiranku kalut dengan hati yang hampa dan kecewa bukan main.Hanya lima belas menit dari Bandara, aku sampai di rumah. Aku menatap rumah di hadapanku saat ini. Rumah di balik pagar putih yang menjulang. Sebuah rumah berlantai 2 yang berdiri kokoh di atas tanah seluas 120 meter persegi. Rumah impianku bersama Mas Rafka. Rumah yang benar-benar kami bangun dari nol sekitar tujuh tahun yang lalu setelah lima tahun lamanya kami tinggal di sebuah kontrakan.Selama perjalanan pulang, ponsel di dalam tas yang kupakai tak hentinya berdering. Namun sama sekali tidak membangkitkan niatku untuk sekedar melihatnya saja. Hanya satu tujuanku, segera pulang dan bertemu dengan Mas Rafka. Namun setelah kini kakiku menginjak halaman depan rumahku sendiri, aku merasa terpaku.Kakiku seakan tertancap k
Setelah berucap demikian. Mas Rafka pun bangkit dari duduknya. Kini dia berdiri menjulang di depanku. Kepalaku mendongak mengikuti arah gerak tubuhnya.Entah apa maksudnya berucap seperti barusan. Aku rasa, dia hanya ingin menyangkal. Dia hanya sedang berusaha menutupi kebenaran tentang anak perempuan itu. Aku rasa dia hanya sedang mencari-cari alasan untuk bisa terus menyangkal. Apa dia pikir aku akan percaya lagi? Apa dia pikir aku akan peduli?Mata kami bertemu pandang. Sebelum cepat-cepat aku memutusnya. Tak mampu lagi aku melihat sepasang manik matanya itu.Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut Mas Rafka. Lelaki dengan tinggi badan 175 cm itu berjalan menjauh dari hadapanku. Melangkah hanya dengan kaus santai sehari-harinya di rumah menuju ke arah pagar sana."Jangan datangi kantor dan juga butik! Jangan injakan kaki kamu di tempat yang sudah tidak lagi menjadi milikmu!" Aku berteriak di tempatku.Mas Rafka terlihat menghentikan langkahnya sejenak. Berdiri mematung sekit
ELANG POV.Bugh!"Kurang ajar, Rafka! Beraninya dia menyakiti Fanisa. Awas saja kamu!" "Punya nyali berapa bedebah itu sampai berani menyakiti adikku dan membuatnya menangis seperti tadi. Dasar pengecut! Brengsek!""Agh!"Bugh Bugh Bugh!Tak hentinya aku mengumpat sambil memukuli stir kemudi. Aku sendiri bahkan menjadi saksi, saat Fanisa dan Rafka menandatangani surat perjanjian dalam pernikahan mereka. Di mana orang yang berani selingkuh dan mengkhianati pernikahan mereka, maka orang itu tidak berhak sedikit pun atas harta yang terkumpul selama pernikahan. Aku tahu dan menyaksikan mereka menyepakati surat perjanjian itu satu tahun setelah pernikahan mereka berlangsung.Aku kira, Rafka akan benar-benar menjaga adik perempuanku satu-satunya. Aku kira dengan surat perjanjian itu, Rafka tidak akan berani menyakiti Fanisa walau hanya seujung kuku. Aku kira, Fanisa adikku satu-satunya bersama dengan lelaki yang tepat. Karena selama ini kulihat Rafka merupakan lelaki yang tidak banyak nek
FANISA POV~Kutatap ponsel meski layarnya hanya gelap. Memantulkan wajahku yang kumal dan lusuh. Hingga tidak ada tanda-tanda ponselku ini menyala. Akhirnya kugenggam dengan menurunkan tangan yang mendekap erat lututku.Kuhembus napas kasar. Sudah lima hari berlalu, tapi Bang Elang justru tidak ada memberi kabar sama sekali. Hanya kabar terakhir darinya, yang memberitahuku bahwa ia akan langsung bertolak ke Surabaya setelah kukirimkan alamat perempuan itu.Perempuan yang Mas Rafka panggil dengan nama Purnama. Entah siapa perempuan itu. Namun, tak bisa kupungkiri. Jika namanya memang secantik paras pemiliknya.Hatiku kembali berdenyut.Kugelengkan kepala dengan cepat. Mengenyahkan kilasan kejadian saat aku bertemu perempuan itu pertama kalinya. Perempuan yang membuat kepercayaanku terhadap Mas Rafka pecah terbelah dan tak berbentuk lagi.Drrrt Drrrt Drrt.Ponsel di genggaman tangan bergetar. Aku pun mengangkatnya berada di hadapanku. Panggilan masuk dari Tia—karyawan butik."Halo?" j
POV ELANGAku menatap pantulan wajahku di depan cermin oval. Kusentuh pipi sebelah kananku yang tak mulus. Terdapat bekas luka melintang di bawah kelopak mataku hingga mendekati telinga. Luka yang timbul karena tusukan pecahan beling yang begitu dalam menembus lapisan kulit pipiku. Begitu dalamnya tusukan itu, hingga mengubah rupa wajahku.Dari tahun ke tahun, bekas lukanya tidak kunjung hilang. Seperti yang dikatakan dokter bertahun-tahun yang lalu. Hingga aku harus menerima bekas luka ini tetap ada di pipiku.Kujauhkan telapak tangan dari pipi. Seiring mata yang memejam. Teringat saat perempuan yang ada di rumah yang sama dengan Rafka mengamuk. Histeris dan mengusirku pergi dari sana.Melihat perempuan itu begitu kacau saat memintaku pergi membuatku tak berdaya. Membuatku yang seharusnya menyeret Rafka, justru melupakan tujuan utama datang ke kota ini. Lalu menjauh dari rumah mungil itu.Bahkan kulihat dari jauh, perempuan itu tak sadarkan diri dalam dekapan Rafka yang bercucuran da
POV ELANGAku masih betah memandangi sepasang manik hazel di hadapanku saat ini. Tanganku bahkan telah menangkup kedua pipinya.Garis wajahnya, hidung mancung serta rambutnya yang ikal sebahu. Seperti aku sedang memandangi foto masa kecilku.Kulitnya yang hitam kecoklatan dan bibirnya yang tipis. Nyaris tidak diturunkan dari perempuan berwajah bak bulan purnama itu. Melainkan lebih condong sepertiku.Tanpa dikomando, tanganku tiba-tiba saja terulur membelai puncak kepalanya. Mengusapnya lembut hingga ujung rambutnya.Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Terasa menggetarkan dan menyeruak memenuhi hati ini. Rasa yang aku sendiri tidak mengerti."Hey!"Suara teriakan membuatku menoleh ke arah lobi rumah sakit.Anak kecil di pangkuanku itu, cepat-cepat menarik dirinya hingga akhirnya berdiri. "Om, sekali lagi aku minta maaf. Aku buru-buru karena ingin menemui Ibu," tukasnya seolah panik.Aku meraih tangannya dengan cepat. "Jangan takut. Om akan bicara dengan petugasnya," ucapku mencegah ke
"Rumah sakit jiwa?" gumamku dengan tangan terulur melayang tanpa sambutan. Rafka telah hilang dari pandangan mata. Dibawa lajunya mobil ambulance yang mulai menjauh dari gedung rumah sakit.Tanpa membuang waktu. Aku membawa kaki ini untuk berlari. Begitu lebar hingga akhirnya pun keluar melewati pagar rumah sakit.Kebetulan sekali, sebuah taksi melintas di depanku. Buru-buru aku menghentikannya dan duduk di kursi belakang."Ikuti ambulans di depan sana, Pak!" titahku segera.Sopir taksi tak banyak bertanya. Mobil seketika kembali melaju membelah jalanan lengang pagi hari. Di dalam mobil, hati ini resah. Segala kemungkinan terlintas dalam benakku.Mungkinkah perempuan bernama Purnama itu sengaja merusak ketenangan rumah tangga Fanisa dan Rafka? Karena Purnama tahu, jika Fanisa adalah adikku. Mungkinkah Purnama sengaja melakukannya, sehingga dalam satu tembakan peluru, dia berhasil menghancurkan dua target sekaligus?Aku meremas rambutku kasar seraya mendengkus. Aku pusing dengan apa ya