Share

PRS - 2

"Tante?" Sentuhan lembut di lengan ini membuatku tersentak kaget.

"Tante kenapa melamun? Tante tidak tahu, ya, di mana Ayahku?" tanya anak ini kembali.

Aku masih diam. Namun gemuruhnya dadaku terdengar dengan jelas. Aku meneguk ludah kasar. Mengendalikan diri dan hati yang sudah porak-poranda.

Entah berapa lama aku terpaku, akhirnya aku menoleh dan menatap kembali anak perempuan yang tengah bersamaku kini.

Bukannya menjawab pertanyaan anak ini. Tanganku yang gemetar justru membuka dompet kembali. Mengeluarkan secarik foto yang memuat gambarku bersama Mas Rafka. Sebenarnya, hanya foto berukuran kecil saat aku iseng mengajaknya untuk photobox di sebuah mall. 

"E ... ini ... Ayah kamu?" tanyaku kemudian.

Perempuan kecil ini melihat pada pas foto di tanganku sebelum kemudian mengangguk. "Iya, Tante. Ini Ayah," jawabnya dengan senyuman manis.

Aku menatap sepasang manik hazelnya dengan perasaan entah. Ribuan batu seakan menghantam hati ini dengan kerasnya. Aku menarik tanganku dari depan tubuh anak perempuan ini. Tanpa sepengetahuannya, aku meremas foto Mas Rafka.

Kenyataan macam apa ini?

Mas Rafka memiliki anak yang sudah sebesar ini? Sejak kapan dia mengkhianati pernikahan kami? Kenapa tidak ada satu petunjuk saja yang menunjukkan kecurangannya sebelum hari ini? Kenapa? Batinku menjerit pilu.

"Kalau Tante tidak tahu, tidak apa-apa. Mungkin benar kata Ibu, Ayah memang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Jadi belum memiliki waktu luang untuk menemuiku dan Ibu," tuturnya dengan wajah polos tanpa merasa berdosa. Sebelum kemudian dia menundukkan kepalanya dan raut wajah itu berbuah kecewa.

"T-tante tahu di mana Ayah kamu. T-tante bisa membawa kamu bertemu dengan dia," ucapku bahkan masih dengan gemetar.

Sepasang netra indah anak perempuan ini membulat. "Benarkah, Tante?" tanyanya girang.

Aku mengangguk patah-patah. "I-iya. Benar. T-tapi sebelumnya, emm kamu bisa bawa Tante ke rumah kamu dulu?" pintaku terbata. Jujur saja dadaku masih merasakan sesak napas.

Anak perempuan ini seketika berdiri dari duduknya di sebelahku. Kepalanya terangguk dengan cepat. Bahkan tangannya sudah meraih tanganku dan menggenggamnya. "Ayok, Tante! Biar aku juga bilang sama Ibu, kalau Tante tahu di mana Ayah. Aku sama Ibu udah lama gak ketemu Ayah," ajaknya begitu antusias.

Aku tak berdaya menolak. Tubuhku bahkan telah ikut berdiri meski kakiku rasanya lunglai. Aku menganggukkan kepalaku menyetujui ajakan anak kecil ini.

Bahkan aku belum tahu siapa namanya. Aku kehilangan fokus. Setelah anak perempuan ini menanyakan foto Mas Rafka, dan mengakui sebagai Ayahnya. Mungkinkah lelaki yang begitu kupercaya dan kupuja itu telah berbagi hati sejak lama?

Ya Tuhan bangunkan aku dari mimpi buruk ini.

~

Sekitar dua puluh menit dari pusat perbelanjaan oleh-oleh tadi. Kini kakiku sudah menapak di halaman kecil sebuah rumah minimalis.

Halaman rumah yang tak berpagar, tak seberapa luas dan memiliki taman kecil. Satu hal yang menyita perhatianku, taman kecil itu ditumbuhi mawar mawar putih. Bunga kesukaan Mas Rafka.

Aku terpaku.

Bersusah payah aku menguatkan hati dan juga tubuh ini agar dapat tetap berdiri tegak.

"Ayok, Tante. Kita bertemu Ibuku di dalam sana," ajak anak perempuan yang tak lepas menuntunku sejak tadi.

Aku menelan saliva kesusahan. "E ... kamu ... masuk duluan saja, ya. T-tante ... mau hubungi dulu teman sebentar. Nanti Tante menyusul masuk," alibiku.

Gadis kecil ini mengangguk patuh. Dia melangkahkan kakinya ringan. Berjalan dengan langkah terayun menuju teras rumahnya.

Rumah dengan tipe 36 di hadapanku saat ini begitu mungil. Didominasi warna putih dengan halaman kecil yang bersih, membuat rumah ini terlihat begitu asri dan meneduhkan.

Aku menyeret kaki. Mengikuti gadis kecil itu dari belakang tanpa sepengetahuannya. Anak perempuan itu sudah masuk ke dalam rumahnya tanpa perlu mengetuk pintu. Dia masuk dan membiarkan pintu rumahnya terbuka lebar.

Aku berdiri tepat di samping kusen pintu. Aku bersembunyi dengan tubuh rapat di balik tembok rumah ini.

"Bu, hari ini ada yang borong lukisan tangan ibu. Ini uangnya." Terdengar suara anak perempuan itu di dalam sana.

"Wah. Alhamdulillah, Sayang. Tapi besok kamu enggak perlu jual lagi lukisan ibu ini, ya. Biar ibu yang menjualnya di galeri khusus lukisan. Kamu belajar saja di rumah." Suara perempuan terdengar begitu lembut menyahut.

"Tapi aku suka, Bu. Aku suka menjual lukisan-lukisan tangan ibu. Aku mau semua orang bisa menikmati karya bagus dari ibu. Aku bangga punya ibu yang pandai melukis."

Seketika hening. Dengan segenap kekuatan, aku memberanikan diri mencondongkan badan. Mengintip ke arah dalam rumah ini.

Di sana, ibu dan anak itu tengah berpelukan. Hingga sang anak melepas lebih dulu pelukannya. Mereka masih membelakangiku. Di depan sang Ibu terdapat media lukis.

"Bu, hari ini kita bisa bertemu Ayah. Ada Tante baik yang tahu di mana Ayah," ucap anak perempuan itu setelah melepaskan pelukan dengan sang ibu.

"M—maksud kamu, Nak?" Ibu anak itu terdengar kaget. Entah siapa dia, aku merasa belum pernah melihatnya. Aku bahkan baru mendengar suaranya hari ini.

Anak perempuan itu menoleh. Hingga pandangan sang ibu mengikutinya dan mereka bersama-sama menatapku.

"Itu, Bu. Tante baik yang tahu di mana Ayah," ujar gadis kecil itu pada Ibunya.

Pandanganku dengan perempuan yang disebut Ibu itu beradu. Tanpa mempedulikan tubuh yang terasa lemah. Kakiku melangkah tanpa komando ke dalam rumah mungil ini.

Perempuan yang disebut Ibu itu berdiri seolah menyambut kedatanganku ke rumahnya. Meski terasa melayang tapi aku berhasil masuk ke dalam rumah ini. Satu figura yang terpajang di tembok ruangan tamu memasang foto Mas Rafka bersama perempuan penghuni rumah ini.

Sialnya, itu memang Mas Rafka. Dan foto itu, seperti foto pernikahan mereka.

Ya, Tuhan. Masihkah aku berpijak di bumi ini?

Kini aku sudah berhadapan dengan ibu dan anak perempuan ini. Tidak seperti anak yang mengembalikan dompetku, perempuan yang disebut ibu ini terlihat begitu jelita. Mata bulat dengan iris cokelat pekat. Bulu mata lentik serta kulit putih bersih. Dagunya terbelah menambah kecantikan wajahnya yang tanpa make up.

Perempuan ini memang sempurna untuk Mas Rafka yang juga rupawan.

Kami bertatapan tanpa ada keinginan untuk saling kenal. Kebisuan menyelimuti pertemuan ini. Pertemuan yang tidak pernah aku harapkan. Bahkan, aku teramat membencinya.

"Tante, ini Ibuku. Bisakah sekarang Tante membawaku dan ibu bertemu Ayah?" celoteh gadis kecil yang berada di tengah-tengahku dan ibunya ini.

Aku tak menghiraukan. Kedua tangan ini terkepal kuat di samping tubuhku. Sebelum aku mengangkatnya tinggi-tinggi di udara.

PLAK!

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status