Share

PRS - 4

Setelah kurang lebih 2 jam dalam pesawat, aku akhirnya tiba di bandara. Kembali menaiki taksi online aku segera bertolak dari bandara untuk menuju rumah. Selama perjalanan pulang hatiku benar-benar kacau, pikiranku kalut dengan hati yang hampa dan kecewa bukan main.

Hanya lima belas menit dari Bandara, aku sampai di rumah. Aku menatap rumah di hadapanku saat ini. Rumah di balik pagar putih yang menjulang. Sebuah rumah berlantai 2 yang berdiri kokoh di atas tanah seluas 120 meter persegi. Rumah impianku bersama Mas Rafka. Rumah yang benar-benar kami bangun dari nol sekitar tujuh tahun yang lalu setelah lima tahun lamanya kami tinggal di sebuah kontrakan.

Selama perjalanan pulang, ponsel di dalam tas yang kupakai tak hentinya berdering. Namun sama sekali tidak membangkitkan niatku untuk sekedar melihatnya saja.

Hanya satu tujuanku, segera pulang dan bertemu dengan Mas Rafka. Namun setelah kini kakiku menginjak halaman depan rumahku sendiri, aku merasa terpaku.

Kakiku seakan tertancap ke tanah. Aku sendiri bahkan tidak sanggup meneruskan langkah. Aku merasa tidak mampu berhadapan dengan Mas Rafka.

Hatiku tak bisa berbohong. Aku memang mencintainya.

Dia cinta pertamaku. Kami bertemu dan menjalin kasih sejak duduk di bangku SMA. Putus nyambung lalu kembali bersama. Hubungan yang harus break saat Mas Rafka pindah dan tinggal di luar pulau saat kami kuliah. Tapi pada akhirnya, kami kembali bertemu dan akhirnya bersatu dalam pernikahan.

Air mataku kembali luruh. Pertahananku seakan kembali runtuh. Aku tidak sanggup rasanya. Aku masih berharap kenyataan yang ku dapat hari ini hanyalah mimpi. Aku masih berharap seseorang akan menepuk dengan keras kedua pipiku lalu membangunkanku dari tidur yang terlalu nyenyak hari ini. Atau menyiramku dengan air hingga aku terbangun dari mimpi buruk ini. Tapi sampai detik ini, semua terasa nyata karena memang inilah kenyataan yang harus kujalani.

Ini terlalu menyesakkan. Terlalu menyakitkan. Aku bahkan tidak pernah hanya membayangkannya saja.

Entah berapa lama aku berdiri di depan pagar rumahku yang tertutup rapat. Hingga akhirnya aku berani melangkahkan kaki melewati pagar rumahku.

Tanganku menggeret koper dengan erat. Kakiku terus melangkah melewati halaman, hingga sosok Mas Rafka kudapati tengah merawat taman kecilnya di halaman rumah ini. Taman kecil berisikan bunga mawar-mawar putih kesukaannya. Bunga yang sama dengan bunga yang tumbuh di halaman kecil rumah perempuan itu dan hal ini semakin membuat hatiku terkoyak.

Aku tertegun melihat Mas Rafka dengan pakaian santainya. Entah kenapa dia ada di rumah, padahal seharusnya dia berada di kantor yang bersebelahan dengan bangunan butik milikku. Pekerjaan sudah menunggunya saat kami masih berlibur di Surabaya, tapi entahlah, aku tidak peduli. Justru dengan dia ada di sini saat ini bukankah lebih mudah untuk aku mengungkap kebohongannya selama ini?

Aku masih terpaku. Terdiam memandangi sosok bertubuh tinggi tegap di taman sana yang begitu telaten merawat bunga-bunganya. Dia memang menyukai berkebun dan merawat bunga, hal yang sangat berbanding terbalik denganku.

Langkahku yang seharusnya lurus untuk menuju pintu rumah akhirnya berbelok. Aku akan berbicara langsung dan tak ingin menunda lagi kepada Mas Rafka. Meski hatiku telah hancur dan sekujur tubuhku terasa tak lagi menapak. Tapi aku tak ingin lebih lama bersama dengan pengkhianat seperti dirinya.

"Dek? Kamu sudah pulang?" Mas Rafka menyadari kehadiranku di belakangnya. Kedua tangannya nampak sedikit kotor oleh tanah.

Aku tak menjawab. Mendadak aku seperti bisu. Karena hati yang terlalu sakit, hingga rasanya bibirku ikut menjadi kelu untuk berbicara.

"Dek, kamu kenapa? Kenapa diam saja di sini? Mas sudah selesai memindahkan bunga karena potnya belah. Sekarang kita masuk," ajaknya dengan tangan yang telah bersih lalu merangkulku.

Buru-buru aku menepisnya. Mas Rafka terlonjak. Dapat kulihat raut wajahnya yang keheranan.

"Mas, ada salam buatmu," ucapku datar dengan tatapan mengarah pada rumput-rumput taman.

"Salam?" ulang Mas Rafka dengan nada heran.

"Iya Mas, salam rindu Untuk kamu dari Belfania!" ucapku tegas dan penuh penekanan saat mengucapkan nama gadis kecil berambut ikal itu.

"B-belfania?" Mas Rafka bahkan tergagap menyebut nama dari gadis kecil beriris coklat itu. Dia tidak dapat menyembunyikan raut keterkejutan di wajahnya saat aku menyebutkan nama anak kandung yang selama ini berhasil dia tutupi dariku.

"S-siapa Belfania, Dek?" tanyanya pura-pura tak kenal.

Membuatku mendecih dan satu bibirku terangkat. Namun akhirnya aku tertawa terbahak mendengar pertanyaan pura-puranya.

"Selain pandai berbohong kamu juga ternyata pandai bersandiwara Mas! Kamu tanya siapa? Bisa-bisanya kamu pura-pura tidak mengingatnya. Belfania anak kamu Mas! Anak kandung kamu!" tegasku pada Mas Rafka.

Kedua netranya melebar sempurna menatapku dan aku yakin dia pasti akan mati andaikan memiliki riwayat penyakit jantung. Dia pasti akan terkapar dan terkena serangan jantung saat tahu jika istri yang selama ini dibohongi akhirnya tahu kebusukannya

"Apa maksud kamu, Dek?" tanyanya terdengar memuakkan.

"Tidak usah berpura-pura lagi, Mas! Aku sudah tahu, aku bahkan telah bertemu dengan perempuan itu! Perempuan yang sudah berhasil membuat kamu mengkhianati pernikahan kita. Kalau memang selama ini kamu tidak bahagia bersamaku, kamu bisa mengembalikan aku pada Bang Elang, kakakku sebagai pengganti almarhum ayah. Kamu bisa mengakhiri pernikahanmu denganku, Mas. Lalu kamu bisa menikahi perempuan itu dan memiliki anak bersamanya, bukan dengan cara menduakan aku seperti ini. Kamu jahat! Kamu keterlaluan! 12 tahun aku bersama dengan kamu, kamu anggap pernikahan kita ini apa Mas? Kamu membohongi aku selama ini. Kamu bukan manusia kamu tidak memiliki hati!" Aku berteriak dan akhirnya tubuhku ambruk ke tanah yang ditumbuhi rumput tipis di taman ini. Aku tidak bisa lagi menahan tubuhku sendiri

Aku kemudian menceritakan saat anak kecil itu mengembalikan dompetku. Juga saat aku datang ke rumahnya yang mungil. Semuanya kuceritakan dan membuat wajah Mas Rafka seketika pias.

"Jangan sentuh aku, Mas!" teriakku kepada Mas Rafka yang tangannya sudah terulur hendak meraih pundakku. Namun aku merasa sudah tidak Sudi disentuh olehnya.

"Ceraikan aku, akhiri pernikahan ini! Aku yakin kamu masih ingat dengan perjanjian pernikahan kita Mas! Perjanjian yang kita tanda tangani dan kita sepakati dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari siapapun. Kamu ingat, 'kan perjanjian itu, Mas? Dan sekarang kamu yang melanggarnya. Artinya apa Mas? Semua harta jatuh ke tanganku. Semua usaha menjadi milikku. Tabungan, mobil, rumah dan seluruh isinya menjadi milikku. Kamu hanya akan pergi dengan dompet pribadimu dan pakaian yang melekat di tubuh."

"Sekarang jatuhkan talakmu dan pergi dari sini! Angkat kaki Karena aku tidak mau lagi bersama kamu. Anakmu Belfania dan Ibunya sudah menunggu kedatangan kamu. Mereka merindukan kamu. Pergi! Pergi!" hardikku dengan keras.

"Dek, kamu salah paham. Biarkan pas menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi," ucap Mas Rafka yang juga telah terduduk di hadapanku.

Aku memberanikan diri menatap sepasang matanya. Sepasang manik mata mata yang selalu berhasil membuat dadaku berdebar. Tatapan yang selalu hangat dan penuh cinta setiap harinya dan menggetarkan hati. Aku menatapnya walau sebenarnya aku tidaklah kuat karena melihat mata itu. Aku masih merasakan getarannya, hanya saja kali ini getaran ini harus bercampur dengan rasa ngilu.

"Salah paham apa lagi Mas? Pergi! Pergi sana! Pergi! Temui anak dan istri kamu! Kamu tahu sendiri kan? Aku sangat membenci pengkhianatan. Aku benci!"

"Semua tidak seperti yang kamu pikirkan! Berikan mas waktu untuk menjelaskannya."

"Pergi! Pergi dari rumahku. Pergi dari hadapanku Mas! Pergi hanya dengan pakaian yang saat ini kamu pakai!" teriakku dengan keras.

"Dek ...."

"PERGI! Aku gak mau lihat kamu lagi, Mas. Pergi!" Aku kembali berteriak.

"Dek tolong jangan seperti ini!"

"Berhenti! Jangan berani lagi menyentuhku. Pergi kamu!" Aku berteriak sudah seperti orang kesetanan. Entahlah, rasanya sangat sakit dan aku tidak kuat.

Punggung tanganku sibuk menyeka kedua mataku yang berkaca. Tanggul air mataku tak boleh jebol di hadapan Mas Rafka. Maka dari itu aku ingin dia pergi dari sini secepatnya. Agar aku bisa menangis sendirian agar dia tak tahu bagaimana rapuhnya aku karena pengkhianatan ini.

Mas Rafka mengeluarkan dompet dari saku celana. Dia mengeluarkan kunci mobil dan kunci rumah. Serta beberapa kartu ATM yang kami buat bersama selama menikah.

"Kalau kamu ingin mas pergi, baik. Mas akan pergi. Mas minta maaf jika selama ini kamu merasa dibohongi. Mas minta maaf untuk hal yang akhirnya kami ketahui tetapi bukan dari mas sendiri. Jika kamu memang sudah bertemu dengan Belfania dan juga Purnama, kamu pasti sudah melihat mereka langsung. Mas cuma ingin memastikan dan juga bertanya pada kamu, Dek. Kamu perhatikan Belfania baik-baik, kamu pastikan, apa anak kecil itu, mirip dengan Mas?"

.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nunyelis
ya salahmu sendiri nikah gk mw punya anak......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status