Share

PRS - 5

Author: Sity Mariah
last update Last Updated: 2024-03-07 11:20:23

Setelah berucap demikian. Mas Rafka pun bangkit dari duduknya. Kini dia berdiri menjulang di depanku. Kepalaku mendongak mengikuti arah gerak tubuhnya.

Entah apa maksudnya berucap seperti barusan. Aku rasa, dia hanya ingin menyangkal. Dia hanya sedang berusaha menutupi kebenaran tentang anak perempuan itu.

Aku rasa dia hanya sedang mencari-cari alasan untuk bisa terus menyangkal. Apa dia pikir aku akan percaya lagi? Apa dia pikir aku akan peduli?

Mata kami bertemu pandang. Sebelum cepat-cepat aku memutusnya. Tak mampu lagi aku melihat sepasang manik matanya itu.

Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut Mas Rafka. Lelaki dengan tinggi badan 175 cm itu berjalan menjauh dari hadapanku. Melangkah hanya dengan kaus santai sehari-harinya di rumah menuju ke arah pagar sana.

"Jangan datangi kantor dan juga butik! Jangan injakan kaki kamu di tempat yang sudah tidak lagi menjadi milikmu!" Aku berteriak di tempatku.

Mas Rafka terlihat menghentikan langkahnya sejenak. Berdiri mematung sekitar satu meter dariku, sebelum kemudian meneruskan langkah kakinya tanpa menoleh padaku. Hingga punggung tegapnya lenyap di balik pagar besi putih.

Di saat itulah tangisku luruh.

Duduk sambil menekuk lutut dan memeluknya. Menenggelamkan wajahku sambil menangis sesenggukan. Tangisku benar-benar tumpah. Bahuku berguncang hebat.

Aku meraung sendirian. Tangisku pecah. Aku menjerit, menumpahkan sesak yang terasa masih menggulung dada.

Aku tersedu-sedu. Hanya sendiri bertemankan mawar-mawar putih yang bergoyang tertiup angin seolah mengejek.

Aku meratap.

Pilu.

Mas Rafka memang pergi, tanpa membawa apa pun harta benda yang kami dapat selama menikah. Karena di antara kami, tertulis surat perjanjian pernikahan. Siapa saja yang sampai berselingkuh dan berkhianat dalam pernikahan ini, maka ia tidak berhak sedikit pun atas semua aset dan harta bersama yang terkumpul selama menikah. Kami membuatnya dengan sadar dan tanpa paksaan. Masing-masing dari aku dan Mas Rafka pun menyetujuinya.

Aku kira, itu sudah cukup untuk membuatnya tetap bersamaku. Aku kira itu sudah cukup kuat, untuk membuatnya tetap setia dengan pernikahan kami. Ternyata aku salah. Aku salah besar.

Sekarang Mas Rafka telah pergi, tanpa apa-apa selain pakaian yang melekat di tubuhnya. Namun lebih dari itu, dia telah membawa hati dan seluruh cinta yang aku miliki juga pergi bersamanya. Membuat ruang hati ini seketika kosong.

Dan itu, jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan seluruh harta yang kami usahakan bersama selama ini.

Entah sudah berapa aku menangis sambil mendekap lutut. Wajahku rasanya sudah basah dan tangisku rasanya telah kutumpahkan. Namun sesaknya tak kunjung berkurang.

Hingga deru mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah ini. Aku masih enggan mengangkat wajah yang tenggelam di antara lutut. Sakit di leherku belum sebanding dengan sakit yang mendera jiwa ini. Sehingga aku tidak peduli dengan mobil siapa yang datang.

"Fanisa!" Terdengar suara Bang Elang yang memanggil. Sepertinya memang mobil dari kakak laki-lakiku satu-satunya itu yang datang.

Derap langkah terdengar mendekat tanpa ke arahku tanpa sedikit pun aku mengangkat wajah. Hingga dekapan hangat aku rasakan.

"Kamu kenapa di sini? Ada apa? Apa yang terjadi?" Suara Bang Elang terdengar panik.

"Hu hu hu ...." Bukannya menjawab, tangisku justru semakin meledak dalam dekapan Bang Elang.

"Hu hu hu ... Abang ...." gumamku di sela isakan tangis. Tangan kekar Bang Elang terasa mendekapku erat. Telapak tangannya yang besar juga terasa mengusap kepalaku.

Aku masih terus menangis. Karena hanya dengan tangisan aku merasa bisa mengeluarkan kesakitan ini, walau sebenarnya tidaklah demikian. Sakit ini tetap memenuhi hati, jangankan untuk sirna berkurang sedikit saja pun tidak.

Cukup lama Bang Elang mendekap dan menenangkanku. Hingga Bang Elang menegakkan badanku yang bersarang di dadanya. Tangan Bang Elang mengusap wajahku yang basah. Mataku rasanya pun bengkak karena terus menangis.

"Kamu kenapa? Bukannya kamu baru pulang dari Surabaya? Kenapa kamu malah seperti ini?" tanya Bang Elang dengan lembut.

Kedua tangannya menahan sedikit mencengkram bahuku. Matanya tajam menelisik pada netraku, sedangkan aku masih tersedu sedan.

"Mas Rafka, Bang ...," ucapku lirih.

Alis tebal dari Bang Elang terangkat. Tatapannya semakin tajam menukik menembus mataku. "Rafka? Kenapa?" tanya pelan.

"Hu, hu, hu. Mas ... Rafka, dia ...."

"Dia kenapa?!"

"Dia ... punya anak dari perempuan lain, Bang." Tangisku kembali pecah.

"Apa? Abang gak salah denger ini, Fan?" Bang Elang memekik. Nada bicaranya pun jelas menunjukkan kekagetan.

Aku menggeleng. "Abang gak salah denger. Mas Rafka ... dia memiliki anak dari perempuan lain, Bang. Dia menikahi perempuan lain. Dia menduakan aku .... hu hu hu."

Aku kembali menghambur dalam dada abangku. Kedua tangannya pun kembali melingkari punggungku.

Setelah ayah dan ibuku meninggal, hanya Bang Elang satu-satunya keluarga yang kupunya. Hanya Bang Elang yang akan selalu melindungiku, menjadi orang pertama yang akan pasang badan untukku. Seperti saat ini saat aku jatuh dan sangat rapuh, Bang Elang lah yang datang dan merangkulku.

"Kamu tidak sedang mempermainkan Abang, 'kan, Fan? Kamu bicara seperti ini setelah mendapatkan bukti kuat dari perbuatan Rafka?" selidiknya dengan masih mendekapku.

Aku mengangguk dalam dekapan Bang Elang. "Mana mungkin aku main-main bang," jawabku lirih.

Abangku ini tak lagi bersuara, namun dapat kurasakan tangannya di balik punggungku yang mengepal kuat. Bang Elang pasti merasakan kecewa serta marah yang sama sepertiku.

Bang Elang masih tidak mengeluarkan suara, hanya elusan tangannya yang terasa menenangkan di punggungku. Hingga tangisku perlahan benar-benar telah berhenti.

"Sekarang katakan pada Abang di mana Rafka?!"

Aku seketika menoleh, memicingkan mata menatap saudara kandung yang terpaut usia hanya tiga tahun di atasku. "Mana aku tahu dan mana Aku peduli," jawabku seraya memalingkan wajah.

"Kamu membiarkan dia pergi begitu saja?"

"Apalagi? Dia sudah pergi dan ke mana dia itu bukan urusanku, Bang!"

Terdengar helaan napas berat dari Abangku ini. "Seharusnya kamu jangan dulu membiarkannya pergi dari sini," tukasnya yang tidak kumengerti.

"Aku sudah membuatnya pergi tanpa membawa apa-apa, Bang. Dia hanya pergi dengan pakaian yang masih melekat di badannya," jawabku menjelaskan.

Lagi, terdengar hembuskan napas berat dari Bang Elang. "Ini bukan soal materi kalian" jawabnya.

Seketika keningku mengernyit tidak mengerti arah pembicaraan abangku satu ini.

"Seharusnya dia masih ada di sini saat Abang datang seperti sekarang. Biar Abang bisa memastikan, Rafka akan mati di tangan Abang," ujarnya membuatku syok dan terdiam.

"Seharusnya kamu tidak membiarkan dia pergi dengan mudah. Paling tidak, jika dia tidak sampai mati, Abang lebih dulu akan mematahkan lehernya," ucapnya dipenuhi semburat napsu di wajahnya. Bang Elang mengepalkan tangannya erat di hadapanku.

Aku terdiam memandangi abangku. Dia memang agak tempramental, lebih mudah tersulut amarah apalagi ketika ada masalah. Emosinya menjadi tidak stabil dan sulit dikendalikan.

"Abang yang akan mencari dia. Biar Abang buat perhitungan. Abang akan menyeretnya ke hadapan kamu. Kamu tenang saja, Abang enggak akan tinggal diam," ujarnya dengan begitu marah. Lebih pada kecewa. "Abang yang akan menghadapi laki- pengecut seperti dia!" umpatnya dengan kulit muka yang memerah, menahan amarah.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
jess
Fanisa gak layak dijadikan istri. Ni kakak adik sama2 gak benernya.
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
coba dengar penjelasan Rafka baru ambil keputusan kayaknya Rafka hanya menolong menikahi dan Purnama sudah hamil duluan
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kakak beradik sama2 g waras dlm versi yg berbeda. kayak orang gila yg mengambil keputusan dlm keadaan marah
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 26

    "Kenapa, Dek?" Mas Rafka datang menyusul. Suaranya pun terdengar khawatir karena aku memang berteriak memanggilnya tadi.Aku menggeleng dengan air mata yang sudah berjatuhan. Tanganku terulur menunduk pada Bang Elang yang berada di atas tempat tidurnya. Tidak mampu untuk bersuara, hanya bisa menunjuk sambil terus menangis. Berharap apa yang kulihat, hanya sebuah mimpi buruk saja.Mas Rafka sudah mendekat dan berdiri di samping kasur., sedangkan aku terduduk di depan lemari. Kulihat Mas Rafka memeriksa kondisi Bang Elang. Mulai dari menempatkan jarinya di ujung hidung Bang Elang. Memeriksa denyut pada lehernya, kemudian pergelangan tangan.Terlihat suamiku itu menggeleng sembari menghela napas. Kemudian mengambil cermin kecil dari selama laci nakas. Menempelkan pada wajah terutama bagian hidung Bang Elang beberapa saat. Lalu menariknya dan mengangkat ke atas."Innalilahi wa Inna ilaihi rooji'un ... tidak ada jejak napas, artinya bang Elang sudah tiada," ucap Mas Rafka sembari mengusap

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 25

    POV Fanisa 💞💞💞Seratus hari berlalu sejak meninggalnya Purnama, kesedihan dan kehampaan atas kepergiannya kian terasa. Apalagi sore tadi, baru saja selesai acara pengajian memperingati seratus harinya. Luka ini kian dalam terasa. Mengingatkan pada sosok Purnama yang begitu shalehah semasa hidup. Benar-benar perhiasan dunia yang dimiliki Bang Elang.Tidak ada yang baik-baik saja usia kepergiannya hari itu. Kepergian yang dirasa mendadak dan begitu tiba-tiba, karena Bang Elang mengatakan bahwa perempuan jelita itu sudah sembuh dari sakit yang pernah diderita. Tapi ternyata, kematian itu benar-benar sebuah rahasia yang paling dekat pada setiap makhluk yang bernyawa.Hari-hari setelah Purnama tiada, kami semua merasa benar-benar terpuruk. Aku dan Belfania seperti kehilangan gairah hidup. Kami sangat bersedih tetapi Mas Rafka mampu menguatkan dan menghibur kamu.Sementara Bang Elang, bahkan hingga hari ini, dia tidak lagi seperti Abang yang kukenal. Dia tidka banyak bicara padaku dan M

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 24

    Bersama linangan airmata, aku memetik mawar-mawar indah yang bermekaran pagi hari ini. Mawar yang mekar sempurna dan begitu cantik ini tidak bisa dilihat lagi oleh Purnama. Mawar-mawar ini justru akan mengantarnya ke pemakaman."Bang, kita harus segera ke makam." Rafka merangkul pundakku.Aku pun hanya bisa mengangguk. Kelopak mawar sudah selesai aku kumpulkan meski hanya dalam kresek. Gegas aku masuk ke dalam rumah dan keranda mayat sudah siap untuk diangkat.Hatiku hancur dan air mata tak hentinya luruh membasahi wajahku."Kalau Abang tidak sanggup, biar aku dan remaja mesjid saja yang menggotong kerandanya, Bang." Rafka kembali berucap.Namun aku cepat-cepat menggeleng. "Jangan, Raf. Biar abang saja." Aku pun melangkah gontai mendekati keranda. Mengumpulkan segenap kekuatan untuk turut serta menggotong keranda berisikan jasad istriku.Purnama wafat. Dia menghembuskan napas terakhir saat sedang bersujud. Setelah aku memanggil d

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 23

    Dua Minggu berlalu, masa penyembuhan pasca operasi yang dilakukan Purnama terbilang cepat. Perempuan berstatus istriku itu sekarang sudah bisa beraktifitas di rumah walau terbatas. Bukan, bukan terbatas. Tetapi aku lah yang membatasi. Andai tidak kucegah, Purnama tidak lah mau diam.Seperti pagi ini, karena pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan, Purnama pasti berada di halaman. Merawat mawar-mawar yang sempat layu dan kering karena tak tersentuh olehku. Hingga kini, tanaman-tanaman itu mulai segar kembali."Kasihan, bunga-bunga ini hampir mati. Pasti kamu tidak merawatnya 'kan?" ucap Purnama yang sedang membongkar satu tanaman dalam pot berukuran kecil.Aku yang berdiri di sampingnya tak ayal mengangguk. "Bagaimana lagi? Kamu lebih penting dari sekedar bunga-bunga ini," jawabku cepat.Hanya helaan napas yang terdengar dari Purnama. Tangannya masih sibuk dengan tanaman yang sudah kering kerontang karena telah mati itu. Hingga satu pot sudah kos

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 22

    Lampu ruangan operasi menyala. Artinya, sebuah tindakan sedang berlangsung di dalam sana. Setelah tiga hari menunggu, operasi Purnama pun dijadwalkan malam ini. Setelah sebelumnya menjalani puasa selama delapan jam, kini Purnama menjalani operasi yang sudah kami sepakati.Fanisa menemaniku. Duduk di samping kananku mengisi ruang tunggu. Sedangkan Rafka, harus menemani Belfania dalam pagelaran seni yang diikutinya.Detik demi detik berlalu, dan tindakan operasi belum juga selesai. Hatiku rasanya tak karuan selama menunggu. Fanisa berulangkali menepuk pahaku, karena aku tak bisa diam. Terus menggerakkan kaki sebagai luapan rasa gelisahku."Abang mau ke mushola. Kamu jaga di sini, ya?" ucapku seraya berdiri dengan cepat."Iya, Bang."Aku pun melangkah pergi. Menuju mushola yang terpisah dengan gedung rumah sakit tetapi masih satu area. Mengambil wudhu, cepat-cepat aku menunaikan shalat hajat. Zikir dan wirid tak henti kulafalkan seiring deng

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 21

    Hari demi hari aku lalui bersama Purnama. Hingga berganti bulan dan aku dengan setia menemani berikhtiar untuk mencapai kesembuhannya. Namun, sudah hampir enam bulan kami jalani, kondisi Purnama tidak kunjung membaik. Bobot tubuhnya justru kian menyusut. Badannya yang mungil makin terlihat kurus. Pasca kemo, helaian demi helaian rambutnya berjatuhan. Rambutnya yang pendek, kian tipis saja sekarang. Satu bulan terakhir, ia bahkan harus memakai kursi roda saat berada di rumah. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda akan kesembuhannya.Hari ini, pemeriksaan kembali dilakukan. Aku dan Purnama berada di ruangan dokter untuk mengetahui hasil pemeriksaannya."Jaringan kankernya semakin meluas. Kemo yang dilakukan tidak begitu efektif, karena sejak penyakit ini diketahui, sudah masuk stadium empat yang artinya sudah cukup parah," jelas sang dokter membuat hati ini rasanya tercabik-cabik."Kalau operasi bagaimana, Dok?" tanyaku lemas.Dokter berkacamata di ha

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 20

    "Purnama kenapa? Sakit apa?" tanya Fanisa yang baru saja datang. Dia adalah orang pertama yang kuhubungi, setelah Purnama masuk ruang IGD lima belas menit lalu.Aku menggeleng pelan. "Masih ditangani," jawabku lesu.Fanisa menghempas bobotnya di sebelahku. Dia menepuk-nepuk pundakku. Seolah menyalurkan ketenangan. Aku menunduk. Mengusap wajah dengan kedua tangan seraya menarik napas panjang. Sebelum kemudian aku menoleh pada Fanisa."Apa kamu tahu sebelumnya, Purnama mengidap sakit apa?" tanyaku kepada Fanisa.Adik perempuanku itu nampak diam seolah tengah berpikir, sampai kemudian ia menggeleng. "Aku dan Mas Rafka gak tahu, Bang. Tapi sempat Purnama juga pingsan saat dia menginap di rumah kami waktu itu. Setelah sholat Subuh. Saat itu dia menolak untuk diperiksa. Meskipun aku dan Mas Rafka terus membujuk dan memaksa. Sampai akhirnya dia kembali ke pondok dan aku gak pernah tahu Purnama itu sakit apa," jelasnya kemudian.Aku pun terdiam.

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 19

    19.Tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Namun tanpa aba-aba, mataku seketika ringan terbuka. Tersadar dan melihat Purnama masih berada di atas dadaku.Aku menoleh untuk melihat jam duduk di atas nakas. Rupanya pukul tiga dini hari. Sejak tinggal di pondok, bangun dini hari seperti ini sudah menjadi kebiasaanku.Purnama nampak masih lelap. Sangat terpaksa aku harus menggeser kepalanya dengan hati-hati sampai akhirnya berpindah ke bantal. Kutatap sejenak wajah cantiknya saat tertidur, hingga bibirku tersenyum karenanya.Pelan-pelan aku bangkit. Gerakanku amat pelan sampai kemudian berhasil turun dari kasur. Karena aku tidak ingin mengganggu tidurnya.Lekas aku ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Berdiam sejenak sebelum kemudian mengambil wudhu. Sehingga wajah ini terasa lebih segar setelah terkena air. Membiarkan wajah ini tetap basah, gegas aku keluar.Langkahku terhenti di depan pintu kamar mandi. Kulihat Purnama ju

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 18

    18.Aku menarik diri. Namun di luar dugaan, ternyata Purnama sudah membuka matanya kembali. Aku menunduk dan tak ayak pandangan kami pun bertemu. Tanganku yang seharusnya membelai anak rambut di keningnya, kini justru menangkup pipi Purnama.Jarak kami begitu dekat. Aku bahkan tak bisa berkedip menatapnya dari jarak sedekat ini. Hingga kurasakan telapak tangan Purnama menyentuh pipiku. Dia mengusapnya, membuatku kian menundukkan kepala. Aku benar-benar terbawa suasana.Hidung mancungnya bahkan telah beradu dengan ujung hidungku. Pandangan kami masih saling mengunci, aku memiringkan kepala, hingga menemukan posisi yang pas untuk kemudian mendaratkan bibirku di bibirnya.Aku butuh tali, untuk mengikat jantungku yang seperti akan melompat meninggalkan tempatnya.Ini ciuman pertamaku.Rasanya begitu hangat dan menggetarkan hati.Tidak ada hal lebih yang kulakukan. Hanya membiarkan bibir kami saling menempel. Begini saja, ali

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status