"Saya terima nikah dan kawinnya Purnama Intania binti Ahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seberat dua puluh gram dibayar tunai!"
"Saksi?""SAHHH!""Alhamdulillah ... Barakallahu ...."Kuhembus napas lega. Benar-benar lega. Dilanjut mendengar dan mengaminkan doa pernikahan yang dibaca oleh Abah, selaku pemimpin pondok. Hingga doa selesai lalu aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Meyakinkan diri jika semua ini bukan mimpi, tetapi nyata.Menarik kedua tanganku lalu menoleh dengan leher terasa kaku pada sosok Purnama yang duduk di sebelah. Entah bagaimana reaksinya, karena wajahnya tertutup oleh cadar dan aku hanya bisa menatapnya, tanpa tahu harus apalagi. Hingga muncul instruksi, agar Purnama mencium tanganku dan aku mengecup keningnya.Gemetaran, aku pun mengulurkan tangan, hingga Purnama meraihnya, lalu mencium takdzim punggung tangan ini.Huh, aliran darahku teraKeesokan harinya, aku memboyong Purnama untuk tinggal di rumahku. Diantar Rafka dan Fanisa yang telah kembali ke rumah mereka setengah jam yang lalu. Sehingga tinggalah aku dan Purnama di rumah ini. Rumah yang tidak seberapa besar dan sempat kosong selama aku mondok beberapa tahun. Setelah Fanisa menikah. Aku dan dia sepakat untuk menjual rumah almarhumah Ibu yang sebelumnya kami tempati. Hasilnya kami bagi dua. Fanisa dan aku lalu menggunakan uang itu untuk mengontrak ruko dan membuka usaha.Fanisa dan Rafka merintis sebuah toko pakaian yang kemudian berkembang menjadi butik. Sementara aku merintis usaha konveksi. Aku dan Fanisa menjual rumah almarhumah Ibu, demi mengubur segala kenangan buruk dan pahit yang pernah kami alami. Kemudian membuka lembaran hidup di tempat yang baru. Fanisa bersama Rafka, dan aku hanya sendirian.Pahit getir kehidupan sudah banyak aku lalui. Dan menyakiti Purnama adalah hal terbej*t yang pernah aku lakukan. Mem
14.Sejenak hening menyelimuti. Aku terpaku menatap sepasang mata sebening embun milik Purnama itu.Aku berdehem pelan. “Tapi kalau kamu keberatan, aku tidak memaksa. Kamu tetap pakai saja meskipun di rumah. Kita akan jalani pernikahan ini pelan-pelan,” ujarku seraya tersenyum padanya.Purnama mengedipkan kedua matanya. Meski tidak jelas, tapi bisa terlihat kedua pipinya naik yang mungkin ia juga sedang tersenyum.“Aku tidak keberatan. Kita sudah menikah. Sudah mahrom. Sudah berada dalam ikatan yang halal dan sah. Kamu berhak melihat wajahku,” sahutnya membuat mulutku membentuk huruf O. Ada rasa tidak percaya, tapi sungguh jawaban yang Purnama terdengar begitu indah.Purnama menairk tangannya yang semula bertengger di atas punggung tanganku. Ia menunduk. Mengarahkan kedua tangannya ke belakang. Perlahan-lahan, kain cadarnya diturunkan dari wajah.Maka untuk pertama kalinya, aku bisa melihat wajah itu lagi.Aku terpaku. Mataku bahkan berat untuk berkedip. Melihat wajah bak bulan purnam
15.Aku mendecih pelan. “Denda?”Aku mengulang tanya dan Purnama mengangguk cepat.“Berapa?” tanyaku lagi.Jari Purnama mengetuk-ngetuk dagunya. “Emm, satu piring satu juta, deh,” ucapnya sambil tertawa kecil.Aku pun mengulum senyum dengan kepala terangguk. “Boleh … tapi kalau bersih, kamu yang didenda gimana?”Purnama menggeleng. “Enggak mau. Aku pengawas, masa' kena denda juga?” Suaranya terdengar manja persis anak kecil merengek, dan aku sangat menyukainya.Aku terkekeh pelan. “Ya gak adil dong kalau kamu gak ikut kena dendanya,” ucapku menimpali.Terdengar helaan napas berat darinya. “Ya udah, aku ikut,” balasnya lesu dan seperti terpaksa.Sambil mengulum senyum, aku manggut-manggut. Setuju dengan kesepakatan ini. Entah lah ide dari mana, tapi ternyata Purnama sangat mengasyikkan. Tidak kaku dan tidak membuat pernikahan kami ini berjarak. Selagi tanganku berg
16.Aku bersama Purnama duduk di kursi beton panjang di bawah rindangnya pohon Angsana dan menghadap lapangan. Di sana banyak anak-anak sedang bermain basket. Semilir angin sore berembus terasa menyejukkan.“Kamu mau beli jajanan?” tanyaku pada Purnama yang berada tepat di samping kanan.Ia menggeleng. “Nanti saja.”“Biar aku belikan kalau mau.”Namun Purnama tetap menggeleng. Dia ingin melihat anak-anak bermain basket. Aku pun menurut. Ia fokus pada permainan basket yang sedang berlangsung. Sementara aku, tak bisa berpaling memandanginya.Hingga Purnama menoleh dan menatapku. “Kenapa?”Aku tersenyum simpul. “Suka aja lihatin kamu. Tahu begini, aku gak akan ajak ke sini. Aku diamkan saja di rumah. Biar bisa lebih lama dan leluasa memandangi kamu.”Purnama tak bersuara, hanya gelengan kepalanya yang terdengar.Kami masih mengisi bangku dan menikmati permainan basket anak-anak yang kutaksir duduk di sekol
17.Setelah makan malam bersama. Aku dan Purnama lekas memasuki kamar. Mengisi spring bed king size dengan perasaan gugup yang cukup mendominasi. Aku salah tingkah, untuk pertama kalinya satu tempat tidur dengan perempuan.“Emm … aku mau bicara,” ucapku membuka pembicaraan.“Iya?” sahutnya dengan lembut.Aku menunduk. Sebenarnya aku ingin membicarakan mengenai uang nafkah untuknya. Tapi, tiba-tiba saja aku merasa gugup dan bingung harus memulai dari mana.Melalui ujung mata, dapat kulihat Purnama sedang menarik kerudung dari kepalanya. Hingga berhasil terlepas dan menyita perhatianku. Kepalaku menoleh dan menatapnya tanpa kedip.Rambutnya hitam legam. Ia melepas ikatan rambutnya itu yang ternyata hanya pendek sebatas leher.Aku menatapnya lekat. Tak berpaling. Memperhatikannya yang sedang merapikan rambut dengan jari-jari tangan. Hingga aku mengerjap, saat telapak tangan Purnama dikibaskan di depan wajahku.“Tad
18.Aku menarik diri. Namun di luar dugaan, ternyata Purnama sudah membuka matanya kembali. Aku menunduk dan tak ayak pandangan kami pun bertemu. Tanganku yang seharusnya membelai anak rambut di keningnya, kini justru menangkup pipi Purnama.Jarak kami begitu dekat. Aku bahkan tak bisa berkedip menatapnya dari jarak sedekat ini. Hingga kurasakan telapak tangan Purnama menyentuh pipiku. Dia mengusapnya, membuatku kian menundukkan kepala. Aku benar-benar terbawa suasana.Hidung mancungnya bahkan telah beradu dengan ujung hidungku. Pandangan kami masih saling mengunci, aku memiringkan kepala, hingga menemukan posisi yang pas untuk kemudian mendaratkan bibirku di bibirnya.Aku butuh tali, untuk mengikat jantungku yang seperti akan melompat meninggalkan tempatnya.Ini ciuman pertamaku.Rasanya begitu hangat dan menggetarkan hati.Tidak ada hal lebih yang kulakukan. Hanya membiarkan bibir kami saling menempel. Begini saja, ali
19.Tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Namun tanpa aba-aba, mataku seketika ringan terbuka. Tersadar dan melihat Purnama masih berada di atas dadaku.Aku menoleh untuk melihat jam duduk di atas nakas. Rupanya pukul tiga dini hari. Sejak tinggal di pondok, bangun dini hari seperti ini sudah menjadi kebiasaanku.Purnama nampak masih lelap. Sangat terpaksa aku harus menggeser kepalanya dengan hati-hati sampai akhirnya berpindah ke bantal. Kutatap sejenak wajah cantiknya saat tertidur, hingga bibirku tersenyum karenanya.Pelan-pelan aku bangkit. Gerakanku amat pelan sampai kemudian berhasil turun dari kasur. Karena aku tidak ingin mengganggu tidurnya.Lekas aku ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Berdiam sejenak sebelum kemudian mengambil wudhu. Sehingga wajah ini terasa lebih segar setelah terkena air. Membiarkan wajah ini tetap basah, gegas aku keluar.Langkahku terhenti di depan pintu kamar mandi. Kulihat Purnama ju
"Purnama kenapa? Sakit apa?" tanya Fanisa yang baru saja datang. Dia adalah orang pertama yang kuhubungi, setelah Purnama masuk ruang IGD lima belas menit lalu.Aku menggeleng pelan. "Masih ditangani," jawabku lesu.Fanisa menghempas bobotnya di sebelahku. Dia menepuk-nepuk pundakku. Seolah menyalurkan ketenangan. Aku menunduk. Mengusap wajah dengan kedua tangan seraya menarik napas panjang. Sebelum kemudian aku menoleh pada Fanisa."Apa kamu tahu sebelumnya, Purnama mengidap sakit apa?" tanyaku kepada Fanisa.Adik perempuanku itu nampak diam seolah tengah berpikir, sampai kemudian ia menggeleng. "Aku dan Mas Rafka gak tahu, Bang. Tapi sempat Purnama juga pingsan saat dia menginap di rumah kami waktu itu. Setelah sholat Subuh. Saat itu dia menolak untuk diperiksa. Meskipun aku dan Mas Rafka terus membujuk dan memaksa. Sampai akhirnya dia kembali ke pondok dan aku gak pernah tahu Purnama itu sakit apa," jelasnya kemudian.Aku pun terdiam.