Share

Bab 4 - Jangan Bikin Malu Keluarga!

Aksa memasak dengan kondisi kepala yang dipenuhi bayang-bayang Ayra. Gila saja, semalaman suntuk Aksa tidak dapat tidur hanya karena perempuan mungil itu.

Sepanjang malam Ayra tidak berhenti mengigau. Tidurnya pun tampak seperti jarum jam yang menjelajahi setiap inci kasur ukuran king size milik Aksa. Terlebih lagi dengan kenyataan bahwa Ayra tidur menggunakan dress selutut. Hal itu membuat Aksa mati-matian menahan diri untuk tidak berbuat macam-macam. Ia bahkan mengeluarkan beberapa selimut yang masih baru untuk dapat menutupi tubuh Ayra yang posisi tidurnya tidak terkondisikan itu.

Ayra juga tidak mau lampu kamar dimatikan. Katanya sih, ia takut gelap. Itu sangat bertolak belakang dengan Aksa yang jika tidur harus dalam kondisi lampu mati. Jadilah pria itu kesulitan terlelap dengan nyaman.

Sementara di dalam kamar, Ayra terbangun karena indra penciumannya yang menangkap aroma sedap masakan. Ia mengucek mata dan mengitari pandangan ke sepenjuru kamar. Beberapa saat setelahnya, ia pun teringat jika semalam ia tidur di rumah Aksa.

Gadis manis itu turun dari ranjang dengan susah payah lantaran ada banyak sekali selimut yang terlihat tidak beraturan di atas tempat itu. Ia melangkah ke dapur dan menemukan punggung tegap Aksa yang sedang memasak membelakangi posisi Ayra berdiri saat ini. Bibir mungil nan menggemaskan Ayra tersenyum. Pria itu terlihat sangat seksi saat sedang memasak begitu.

Ayra memilih berdiam diri di sana dan mengamati punggung tegap Aksa. Ia tidak mau menyia-nyiakan pemandangan indah ini.

Saat masakan yang ada di teflon matang, Aksa pun menyajikannya di piring. Saat ia berbalik badan hendak meletakkan piring tersebut, sorot matanya segera tertuju pada Ayra yang sedang senyum-senyum menatapnya di pintu.

“Oh, kamu udah bangun. Kirain masih tidur,” ujar Aksa yang membuat lamunan Ayra buyar dengan seketika.

Gadis itu menyengir. Ia merapikan rambut pendeknya yang tidak begitu berantakan. “Aroma masakannya enak,” kalimat Ayra yang diiringi cengiran lucu.

“Ayo sarapan dulu.”

Ayra mengangguk patuh. Ia pun melangkah dan segera duduk di kursi yang letaknya berseberangan dengan Aksa. Bola mata Ayra berbinar-binar menatap makanan yang tersaji. “Mas Aksa yang masak ini?”

“Iya lah, emang siapa lagi kalau bukan saya? Coba kamu cicipin,” kalimatnya seraya melepas celemek dan meletakkan ke tempat semula.

Bola mata Ayra langsung melebar setelah ia melahap satu sendok makanan yang masih panas tersebut. “Ya ampun, ya ampun, ya ampun, rasanya enak banget sampai mau meninggoy! Ini serius Mas Aksa yang masak? Kok enaknya kebangetan?” ujar Ayra dengan heboh.

Aksa hanya terkekeh pelan melihat hal itu. Saat mereka berdua sedang makan, tiba-tiba Ayra merasa jika ada sesuatu yang bergerak-gerak di kakinya. Ia pun melongok dan segera mendapati seekor kucing angora berwarna orange sedang hilir mudik di sana.

“Ih, gemoy banget! Push,” pekik Ayra yang merasa gemas dengan binatang berbulu tersebut.

Aksa mengikuti arah pandang gadis di depannya. “Bowo,” ucapnya seraya menjetikkan jari ke arah kucing angora tersebut. Binatang itu malah mendekat dan langsung dibawa ke atas pangkuan Aksa.

Ayra yang mendapati hal itu langsung mengernyit. “Bowo?” tanyanya heran.

Aksa mengangguk santai seraya menyendok nasi. “Ini Bowo, kucing saya.”

Ayra hanya bisa menyengir seraya menggaruk kepala yang tidak gatal. ‘Kucing kok namanya Bowo. Kayak nggak ada nama lain aja,’ batinnya.

Selesai sarapan, Aksa pun mengantar Ayra untuk pulang menggunakan mobilnya. Sekalian pria itu hendak ke restoran miliknya yang sebenarnya tidak jauh-jauh amat dari rumah. Saat Ayra baru memasuki mobil, gadis itu tampak menghela napas berat. Aksa tidak tahu apa yang saat ini sedang Ayra alami. Ia juga sungkan bertanya. Memang Aksa pikir, dia itu siapa?

Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah yang catnya berwarna hijau toska. Sebelum turun, Ayra lagi-lagi menghela napas panjang. “Makasih bantuannya ya, Mas Aksa. By the way, cowok tadi malam emang suami aku, Mas. Doain, ya, supaya aku nggak meninggoy muda.” Ia mengulas senyum, kemudian turun dari mobil Aksa, meninggalkan rasa kecewa di dalam dada pria tersebut.

*

“Ayra, kamu udah gila, huh?!”

Ayra hanya memasang wajah datar. Ia siap menerima setiap kalimat yang terlontar dari bibir sang ayah. Lagipula, siapa juga yang peduli? Ayra tidak pernah mau menerima perjodohan sialan itu.

“Ra, kamu sama Varo baru menikah kemarin dan sekarang kamu mau cerai? Kamu emang gila, ya!” bentak Restu lagi yang hanya dibalas dengan tatapan tak peduli dari putrinya. “Kamu punya mulut, kan? Ngomong dong, jawab ucapan Papa. Bukan malah cuma berdiri kayak patung!”

Ayra menilik arloji di pergelangan tangannya dengan malas. “Ceramahnya udah, Pa? Aku ada kelas pagi.”

“Kamu!” Baru saja Restu menggerakkan tangan di udara untuk menampar pipi Ayra, rupanya seorang wanita langsung menghentikan gerakan tersebut. Fatma, ibu tiri Ayra, menggenggam dengan erat pergelangan tangan sang suami.

“Mas, jangan terlalu kasar sama Ayra. Aku mohon,” pinta Fatma dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

Meskipun status Fatma yang hanya sebagai ibu tiri, tapi ia sangat menyayangi Ayra. Ia menganggap Ayra sebagai anak kandungnya, terlebih dengan fakta bahwa selama hampir lima belas tahun Fatma menikah dengan Restu, mereka tak kunjung mendapat keturunan.

Restu membuang napas kasar, lalu mengurungkan niatnya untuk menampar pipi sang putri semata wayang.

Ketika Ayra baru pulang tadi, ia langsung diinterogasi oleh sang ayah mengenai perbuatan yang gadis itu lakukan. Ayra dengan jujur mengatakan jika ia kabur dari rumah Varo dan berniat untuk langsung menggugat cerai pria yang baru menikahinya kemarin. Hal itu seketika memancing amarah Restu. Keduanya pun kembali mengalami percek-cokan yang Ayra anggap merupakan hal yang biasa.

“Pa, aku nggak mau jadi istrinya Pak Varo. Dia itu berandalan. Aku nggak mau. Pokoknya selesai ngampus, aku mau ajuin gugatan cerai sama dia. Permisi.”

Baru saja Ayra hendak melenggang untuk berangkat ke kampus, Restu kembali menyerukan namanya. “Jangan bikin malu keluarga,” ujar pria paruh baya tersebut dengan penuh penekanan di setiap suku katanya.

“Aku nggak bikin malu keluarga. Kalau nantinya aku cerai, aku sendiri kok yang nanggung akibatnya. Papa nggak usah khawatir,” balas Ayra tanpa menoleh ke arah sang ayah.

“Nggak usah belagu kamu. Kamu bisa hidup sampai sekarang karena Varo.”

Rahang Ayra seketika mengeras begitu mendengar ucapan ayahnya. Lagi dan lagi, selalu berakhir begini. Restu pastinya akan mengungkit kejadian beberapa tahun silam saat terjadi tragedi kebakaran di kompleks perumahan mereka dulu.

Saat Ayra masih berusia dua tahun, terjadi kebakaran besar yang menewaskan ibu kandung Ayra. Sementara Ayra sendiri berhasil diselamatkan oleh Panji, ayah Varo. Restu yang awalnya ada di luar kota langsung pulang dan tidak bisa berbuat apa pun selain mengikhlaskan sang istri pergi selamanya. Paling tidak, buah hatinya bisa selamat atas bantuan Panji. Restu sangat berterima kasih kepada Panji. Karena Panjilah Ayra bisa selamat dari kebakaran itu.

Ayra tak habis pikir dengan jalan pikir ayahnya. Tanpa adanya persetujuan dari sang putri, pria itu berani-beraninya menjodohkan Ayra dengan Varo dengan alasan sebagai bentuk balas budi karena jasa Panji yang sudah menyelamatkan nyawa Ayra. Dan herannya, saat itu Panji juga langsung menyetujui ide gila tersebut.

“Nggak usah macam-macam. Selesai ngampus, langsung pulang ke rumah Varo, minta maaf sama dia,” kalimat Restu sedikit lebih lembut saat ia mendapati sang putri hanya diam mematung.

Ayra yang mewarisi sifat keras kepala sang ayah pun berbalik badan dan menatap Restu datar. “Aku nggak salah sama Pak Varo. Ini hidup aku, Pa. Dan yang mau aku lakuin adalah ajuin gugatan cerai secepatnya.”

Ayra langsung melenggang tanpa mengacuhkan seruan-seruan penuh kemarahan Restu.

_***_

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status