Langit mulai gelap saat Reihan memarkir mobilnya di halaman rumah. Hari ini entah kenapa dia merasa ingin pulang lebih awal. Biasanya dia menghabiskan waktu lebih lama di kantor atau bertemu Karina, tapi sore ini ada rasa gelisah yang tak bisa ia jelaskan.
Langkahnya berat saat memasuki rumah. Sepi. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar. Reihan meletakkan jasnya di sandaran kursi, melonggarkan dasi, lalu berjalan menuju ruang makan. Di meja sudah terhidang makanan. Tanpa banyak pikir, ia duduk dan mulai menyendokkan nasi dan lauk ke piringnya. Satu suapan. Dahi Reihan langsung mengernyit. Suapan kedua. Raut wajahnya berubah menjadi tak sabar. “Mbak!” serunya tiba-tiba, meletakkan sendok dengan suara keras. “Mbak Sari!” Asisten rumah tangga itu muncul dari arah dapur dengan raut wajah panik. “Iya, Tuan?” “Apa ini?” Reihan menunjuk piring di hadapannya. “Kenapa rasanya hambar? Bahkan sambalnya pun aneh. Kamu baru masak ya?” Dengan ragu, Mbak Sari menjawab, “Maaf, Tuan… itu memang saya yang masak hari ini.” Reihan memijat pelipisnya. “Lalu yang kemarin-kemarin? Yang enak dan pas di lidah?” Mbak Sari semakin gugup. “Itu… itu semua buatan Nyonya Rin, Tuan. Setiap pagi sebelum berangkat, Nyonya biasanya masak dulu. Saya hanya bantu sisanya.” Hening. Reihan menatap makanan di hadapannya. Tiba-tiba, ada perasaan asing merayap di dalam dadanya. Jadi, selama ini makanan yang ia nikmati tanpa banyak berpikir… adalah hasil tangan Rin? Ia menahan amarah. Bukan pada masakan, bukan pada Mbak Sari. Tapi pada dirinya sendiri. Pintu depan terbuka. Suara langkah terdengar. Rin. Reihan menoleh cepat, dan melihat sosok istrinya berjalan masuk sambil membawa tas kain besar. Wajah Rin terlihat letih. Ia tidak menoleh ke arah ruang makan, tidak menyapa, bahkan tidak menyadari keberadaan Reihan di sana. Ia hanya berjalan cepat menaiki tangga, langsung menuju lantai atas. Rin. Seolah-olah rumah ini hanya tempat singgah tanpa makna. Tanpa berpikir panjang, Reihan bangkit dari kursinya dan mengikuti langkah Rin. Tepat sebelum pintu kamar itu tertutup, tangannya menahan daun pintu. Rin terkejut. “Kamu?” “Dari mana aja kamu?” Reihan bertanya, nadanya tajam. “Suka-suka kamu aja sekarang, pulang sesukanya?” Rin menatapnya bingung, masih mencoba mencerna kemunculan Reihan yang tiba-tiba. “Aku baru dari toko. Tadi banyak belanjaan. Memangnya kenapa?” “Kenapa?” Reihan melangkah masuk, menatap Rin dengan mata penuh emosi. “Jangan kira aku nggak lihat kamu makin seenaknya. Apa kamu pikir ini rumah kost?” Rin menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang. “Kalau kamu ada masalah dengan Karina, jangan lampiaskan ke aku.” Perkataan itu membuat rahang Reihan mengeras. “Jangan bawa-bawa Karina!” serunya sambil menggenggam pergelangan tangan Rin. “Aku suamimu, dan kamu masih tinggal di rumah ini!” Rin berusaha melepaskan genggaman Reihan. Tapi genggamannya kuat. “Lepaskan!” seru Rin, lalu menghentakkan tangannya dengan kuat. Reihan terkejut. Rin berhasil melepaskan diri. “Aku ini bukan boneka yang bisa kamu seret ke sana kemari, Reihan!” ucap Rin dengan suara bergetar, tapi matanya menatap tajam. “Bukankah dari awal kamu yang buat aturan? ‘Jangan ikut campur urusan masing-masing’, begitu katamu, kan? Sekarang kamu mau apa?” Reihan terdiam. “Kalau kamu mau marah, silakan. Tapi jangan datang ke sini, ke kamarku, dan pura-pura peduli. Silakan keluar.” Dan tanpa memberi Reihan waktu untuk menjawab, Rin membanting pintu tepat di hadapan wajahnya. Brak! Reihan berdiri terpaku. Nafasnya memburu, tapi bukan karena marah—melainkan karena kaget. Untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Rin membentaknya. Rin melawan. Rin tidak lagi diam seperti dulu. Ia masih berdiri di depan pintu kamar yang tertutup, tak bisa bergerak. Di dalam, mungkin Rin sudah bersandar di balik pintu itu—seperti dirinya sekarang. Dan di antara mereka, ada dinding yang tidak kasat mata, tapi perlahan mulai terlihat jelas: dinding yang mereka bangun bersama, bata demi bata, sejak hari pertama mereka menikah tanpa cinta.Sudah satu hari berlalu sejak Rin pergi dan menandatangani surat cerai itu. Tapi buat Reihan, waktu seolah berjalan lebih lambat dari biasanya. Sepi. Hampa. Sejak pagi, tak ada kabar dari Rin. Pesan yang ia kirim belum juga dibalas. Hanya centang dua. Tidak dibaca. Tidak dijawab. Reihan duduk di balik kemudi, tapi pikirannya tidak berada di jalan. Ia hanya tahu satu hal: dia ingin melihat Rin. Ingin mendengar penjelasan. Ingin tahu alasan Rin pergi begitu saja. Mobil Reihan berhenti di depan gedung butik yang dulu ia bantu bangun untuk Rin. Awalnya hanya permintaan ringan—Rin bilang dia butuh kesibukan, supaya tidak terus-menerus terkurung di rumah yang dingin itu. Maka Reihan membuatkannya butik. Tempat di mana Rin bisa menumpahkan kreativitas dan sedikit kebahagiaannya. Tapi hari ini, gerbang butik itu terkunci rapat. Lampu padam. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam. Reihan turun dari mobil dan berdiri di depan pintu kaca. Di balik pantulan dirinya sendiri, dia bisa melihat ru
Suasana restoran siang itu sebenarnya tenang, dengan alunan musik lembut yang mengalir dari sudut ruangan. Namun, di meja pojok yang dipesan Karina, suasana justru sebaliknya. Reihan tampak tidak tenang. Tatapannya terus-menerus tertuju pada layar ponsel yang tergeletak di samping piringnya. Ibu jarinya sesekali menyentuh layar, membuka pesan, lalu menutupnya lagi. Begitu terus, seperti sedang menunggu sesuatu. Karina mengaduk sup di depannya, lalu mendesah pelan, menyembunyikan kekesalan yang mulai naik ke permukaan. "Reihan," panggilnya manja, berusaha menarik perhatian. "Kamu kenapa, sih? Dari tadi kelihatan nggak fokus." Reihan mengangkat kepalanya sejenak, lalu kembali menatap ponsel. Kali ini dia membuka pesan terakhirnya—pesan yang ia kirim untuk Rin pagi tadi. "Kita perlu bicara. Pulang." Tapi sampai sekarang, tak ada balasan. Hanya dua centang. Dingin. Diam. “Rin sudah tanda tangan surat cerai,” ucap Reihan akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Karina membelalakkan ma
Mentari sudah tinggi saat Reihan akhirnya terbangun dari tidur panjangnya. Masih mengenakan piyama, rambutnya acak-acakan, dan mata sedikit sembab karena kelelahan setelah perjalanan dinas dari luar kota. Langkah kakinya malas namun mantap menuju ruang makan, berharap menemukan sedikit ketenangan di pagi yang terlambat ini. Di atas meja, ada secangkir kopi hitam yang masih hangat. Aroma robusta menyentuh indra penciumannya, cukup untuk membangunkan pikirannya yang masih mengawang. Tanpa banyak pikir, ia duduk dan meminum kopi itu dalam diam. Beberapa saat kemudian, dia memanggil, “Mbak Sari... Rin mana?” Asisten rumah tangga yang sudah bekerja di rumah itu sejak awal pernikahan mereka, muncul dari dapur sambil membawa lap tangan. Wajahnya tampak ragu, seolah menyimpan sesuatu yang enggan ia sampaikan. “Ny. Rin… pagi-pagi sekali sudah pergi, Mas,” jawabnya dengan suara pelan. Reihan mengernyit, meletakkan cangkirnya. “Pergi? Ke mana?” Alih-alih menjawab, Mbak Sari menyerahk
Langit telah menggelap, menyisakan bayang-bayang lampu jalan yang sesekali menyorot trotoar yang sepi. Sebuah mobil sedan hitam berhenti perlahan di depan gerbang rumah dua lantai yang tampak tenang dari luar. Rin membuka pintu, mengucapkan terima kasih singkat pada Jacob, lalu melangkah keluar.Angin malam menyambut tubuhnya yang lelah saat ia masuk melewati pagar, membuka pintu rumah yang sudah ia tinggali selama tiga tahun terakhir—rumah yang sepi, sunyi, dan dingin. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan hangat, hanya lorong-lorong kosong dan dinding-dinding yang seperti tak pernah mendengar kata cinta.Begitu masuk, Rin mengganti sepatunya dan berjalan langsung menuju kamar. Rutinitas yang sudah seperti kebiasaan. Ia membersihkan diri, mengganti bajunya dengan piyama longgar, lalu duduk diam di depan meja rias.Tatapannya kosong. Pantulan dirinya di cermin seperti sosok asing—mata sembab, wajah pucat, dan bahu yang tampak lelah. Semua terasa berat. Terlalu berat.Tanpa sengaj
Jarum jam masih menunjuk pukul tujuh kurang ketika mobil Jacob melaju pelan di jalanan kota yang mulai ramai oleh orang-orang yang hendak beraktivitas. Di kursi penumpang, Rin awalnya berniat pulang ke rumah. Tapi tiba-tiba, ia berubah pikiran.“Jak… bisa anterin aku ke butik aja?” katanya lirih.Jacob menoleh sekilas. “Kamu yakin nggak mau langsung pulang?”Rin menggeleng lemah. “Aku cuma... belum siap pulang. Lagipula, aku ada beberapa hal yang harus diberesin.”Jacob mengangguk dan mengarahkan mobil ke jalan menuju butik. Namun, begitu mobil berhenti di depan butik dan Rin hendak turun, tubuhnya mendadak limbung. Tanpa aba-aba, Rin jatuh pingsan tepat di sisi mobil.“Rin!” Jacob panik. Ia langsung keluar, menangkap tubuh Rin sebelum sepenuhnya menyentuh tanah. Nafasnya tercekat. Tanpa membuang waktu, ia mengangkat Rin kembali ke dalam mobil dan memacu kendaraan menuju rumah sakit terdekat.---Setelah pemeriksaan selesai, Jacob duduk cemas di ruang tunggu. Tak lama, dokter keluar d
Malam sudah larut ketika Rin sampai di rumah. Suasana tenang menyambutnya, hanya suara detak jam dinding yang terdengar menggema di antara keheningan ruang tamu. Ia membuka pintu dengan perlahan, berharap tak perlu berinteraksi dengan siapa pun malam ini. Tapi harapannya pupus saat matanya menangkap sosok Reihan yang tengah duduk santai di sofa, kaki disilangkan, tangan memegang buku, dan secangkir kopi yang sudah tinggal separuh.Tatapan mereka bertemu sejenak. Rin buru-buru memalingkan wajah dan melangkah cepat menuju tangga.“Dari mana saja kamu?” tanya Reihan tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.Rin diam. Kakinya tetap melangkah, meski dalam hati ia tahu pertanyaan itu tak akan berhenti di situ.“Rin!” suara Reihan meninggi. “Sudah malam begini baru pulang. Jangan diam saja!”Langkah Rin terhenti. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab pelan, “Aku dari rumah Nenek Atika.”Reihan menutup bukunya dan berdiri, menghampiri Rin dengan langkah berat. Di tangannya kini t
Siang itu, Rin duduk di sudut restoran yang cukup tenang dengan interior elegan dan pencahayaan lembut. Ia tengah menunggu klien barunya, seorang pebisnis muda yang tertarik bekerja sama dengan butiknya. Dengan sikap profesional, Rin mengecek ulang presentasi desain yang akan ditawarkannya. Tak lama, seorang pria berjas datang menghampiri. Wajahnya ramah dan senyumnya menyenangkan. "Maaf menunggu, saya Arvin," katanya sambil mengulurkan tangan. Rin menyambutnya dengan senyum sopan. Tapi senyum itu memudar seketika ketika ia melihat sosok yang berjalan di belakang Arvin. Jacob. Rin menatapnya dengan ekspresi terkejut, sementara Jacob hanya mengangkat alis, menyapa dengan santai, “Kita bertemu lagi, Rin.” Ternyata, Arvin adalah sahabat dekat Jacob. Ia pun menjelaskan bahwa Jacob kebetulan bersamanya saat ia sedang membaca profil butik milik Rin, dan Jacob langsung menyarankan untuk bertemu langsung. “Kau cukup terkenal di antara desainer butik, jadi aku bilang ke Arvin, dia harus co
Langit mulai gelap saat Reihan memarkir mobilnya di halaman rumah. Hari ini entah kenapa dia merasa ingin pulang lebih awal. Biasanya dia menghabiskan waktu lebih lama di kantor atau bertemu Karina, tapi sore ini ada rasa gelisah yang tak bisa ia jelaskan. Langkahnya berat saat memasuki rumah. Sepi. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar. Reihan meletakkan jasnya di sandaran kursi, melonggarkan dasi, lalu berjalan menuju ruang makan. Di meja sudah terhidang makanan. Tanpa banyak pikir, ia duduk dan mulai menyendokkan nasi dan lauk ke piringnya. Satu suapan. Dahi Reihan langsung mengernyit. Suapan kedua. Raut wajahnya berubah menjadi tak sabar. “Mbak!” serunya tiba-tiba, meletakkan sendok dengan suara keras. “Mbak Sari!” Asisten rumah tangga itu muncul dari arah dapur dengan raut wajah panik. “Iya, Tuan?” “Apa ini?” Reihan menunjuk piring di hadapannya. “Kenapa rasanya hambar? Bahkan sambalnya pun aneh. Kamu baru masak ya?” Dengan ragu, Mbak Sari menjawab, “Maaf, Tuan
Karina memasuki kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Hari itu, ia sudah cukup sabar menunggu, namun rasa sabarnya hampir habis. Reihan yang sedang duduk di meja kerjanya menatapnya dengan ekspresi datar, menyadari bahwa Karina datang untuk menuntut hal yang sudah lama ia tunda. “Reihan,” Karina memulai dengan nada yang tegas, “kapan kamu akan menepati janji kita?” Reihan menatap Karina dengan pandangan lelah, seolah-olah sudah tahu apa yang akan diucapkannya. “Janji apa, Karina?” tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Suasana kantor yang tenang seakan mendukung suasana hati Reihan yang mulai terkikis habis oleh konflik-konflik yang semakin rumit. “Janji tentang perceraian Rin,” Karina menyebutkan nama itu dengan suara dingin. “Kamu berjanji akan menceraikan dia, Reihan. Aku tidak bisa terus menunggu. Aku tidak akan jadi wanita kedua dalam hidupmu, dan kamu tahu itu.” Reihan menarik napas panjang, mengusap wajahnya sejenak.