Share

BAB 4

Author: Izumi chouka
last update Last Updated: 2025-04-23 20:51:54

Karina memasuki kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Hari itu, ia sudah cukup sabar menunggu, namun rasa sabarnya hampir habis. Reihan yang sedang duduk di meja kerjanya menatapnya dengan ekspresi datar, menyadari bahwa Karina datang untuk menuntut hal yang sudah lama ia tunda.

“Reihan,” Karina memulai dengan nada yang tegas, “kapan kamu akan menepati janji kita?”

Reihan menatap Karina dengan pandangan lelah, seolah-olah sudah tahu apa yang akan diucapkannya. “Janji apa, Karina?” tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Suasana kantor yang tenang seakan mendukung suasana hati Reihan yang mulai terkikis habis oleh konflik-konflik yang semakin rumit.

“Janji tentang perceraian Rin,” Karina menyebutkan nama itu dengan suara dingin. “Kamu berjanji akan menceraikan dia, Reihan. Aku tidak bisa terus menunggu. Aku tidak akan jadi wanita kedua dalam hidupmu, dan kamu tahu itu.”

Reihan menarik napas panjang, mengusap wajahnya sejenak. “Aku sedang mengurusnya, Karina. Tidak perlu khawatir.”

Namun, nada suara Karina semakin menegang. “Tidak, Reihan. Kamu bilang kamu akan mengurusnya, tapi kenyataannya, kamu terus menunda-nunda. Rin sudah cukup menderita, dan kamu tahu itu. Kamu sudah lama bersama dia, tapi aku yang menunggu, dan aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Reihan menatap Karina dengan tatapan tajam, namun matanya mengungkapkan kebingungannya. Ia tidak tahu apa yang harus diputuskan lagi. Di satu sisi, perasaan terhadap Rin mulai membingungkan. Ia masih merasa terikat, namun di sisi lain, ada keinginan untuk bebas dari hubungan yang tidak pernah ia pilih dengan sepenuh hati.

“Aku... aku butuh waktu, Karina. Aku akan segera membereskan semuanya,” jawab Reihan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari Karina.

Namun, Karina tidak terkesan dengan jawaban itu. “Waktu untuk apa, Reihan? Waktu untuk terus hidup dalam kebohongan? Kalau kamu mencintai aku, kamu harus memilih, Reihan. Aku tidak akan menunggu selamanya.”

Dengan tatapan terakhir yang tajam, Karina berbalik dan pergi, meninggalkan Reihan yang kembali terjebak dalam keraguannya. Dia tahu bahwa perceraian itu adalah keputusan besar, namun semakin lama ia semakin merasa kesulitan untuk memilih.

---

Sementara itu, Rin sedang menikmati sore yang tenang di pasar kain. Ia baru saja selesai memilih beberapa bahan untuk koleksi baru butik miliknya. Di tengah tumpukan kain berwarna-warni, sebuah suara familiar menyapa telinganya.

“Rin?”

Rin menoleh dengan terkejut, dan matanya langsung menangkap sosok yang sudah lama tidak ia lihat. Jacob, teman lama dari masa sekolah. Wajah Jacob tidak banyak berubah, meskipun terlihat lebih matang dan serius. Rambutnya sedikit lebih panjang, dan ada kesan percaya diri dalam dirinya yang dulu tidak ia miliki.

“Jacob!” Rin terkikik, terkejut sekaligus senang. “Kamu? Lama sekali tidak bertemu. Apa kabar?”

Jacob tersenyum lebar, menjabat tangan Rin dengan hangat. “Aku baik, Rin. Dan mendengar kamu punya butik sendiri, itu keren sekali! Tidak nyangka kita bisa bertemu di sini.”

“Yah, butik ini baru beberapa bulan, masih belajar banyak. Kalau kamu, apa kabar? Masih di bidang yang sama?” tanya Rin dengan gembira.

“Aku di bidang yang sama, meskipun lebih fokus ke proyek pribadi sekarang,” jawab Jacob sambil memandang sekeliling pasar kain. “Tapi aku cuma ingin ngobrol-ngobrol sama teman lama hari ini.”

Mereka berjalan bersama sambil berbincang-bincang, mengenang masa-masa di sekolah yang penuh kenangan. Tertawa bersama, menceritakan kisah lucu, dan saling mengingatkan kejadian-kejadian yang sudah lama terlupakan. Rin merasa suasana nostalgia itu sangat menyenangkan. Tertawa lepas, jauh dari beban yang selama ini menghantuinya.

Namun, tiba-tiba Jacob menyelipkan pertanyaan yang membuat Rin terdiam.

“Lalu, bagaimana kehidupan pribadimu, Rin? Aku dengar kamu sekarang sudah punya kehidupan yang sibuk dengan butik. Masih dengan... pasangan lama?”

Rin terdiam sejenak, bibirnya sedikit terbuka, seolah-olah tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Tanpa sengaja, ia merasakan sebuah rasa berat yang menyerang dadanya. Jacob tidak tahu bahwa Rin sudah menikah, dan ia juga tidak mengenal Reihan. Semua percakapan mereka sebelumnya, yang ceria dan penuh canda, seolah-olah tiba-tiba terhenti.

Matanya yang semula penuh cahaya kini meredup, dan senyum yang terukir di wajahnya perlahan menghilang. Jacob menatapnya dengan penuh perhatian, menyadari bahwa pertanyaannya baru saja membuat Rin berubah.

“Apa... ada yang salah, Rin?” tanya Jacob dengan khawatir. “Aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman.”

Rin menarik napas dalam dan mencoba tersenyum, meskipun senyumnya itu terasa sangat dipaksakan. “Tidak, Jacob... tidak ada yang salah. Hanya saja, terkadang hidup berjalan begitu cepat, dan kita tidak selalu tahu apa yang sebenarnya kita inginkan.” Rin menyelesaikan kalimatnya dengan suara pelan, mencoba menutupi kebingungannya.

Jacob masih memandangnya dengan cermat, tetapi Rin cepat-cepat mengalihkan pandangannya. "Aku... aku harus pergi sekarang," katanya, berusaha mengakhiri percakapan yang terlalu dalam baginya.

Jacob hanya mengangguk, meskipun ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan Rin. Namun, ia tidak memaksa untuk mengetahui lebih lanjut. Mereka berpisah, dan Rin kembali ke butik dengan perasaan yang semakin kacau. Pertanyaan Jacob terus bergaung di pikirannya, meninggalkan jejak kebingungannya yang semakin dalam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   Bab 21

    Lorong ICU itu seakan menelan seluruh cahaya. Bau obat-obatan menusuk hidung, bercampur dengan hawa dingin yang membuat siapa pun merasa ngeri. Detik jam dinding terdengar begitu lambat, seakan menyiksa siapa pun yang menunggu di sana.Begitu langkah Reihan terdengar, suasana yang semula hening langsung pecah. Nenek Atika, wanita tua yang sejak tadi hanya bisa berdoa sambil menggenggam tas kecil di pangkuannya, mendadak berdiri. Matanya sembab, wajahnya pucat, tapi amarahnya berkobar.“Dasar bajingan!” serunya, tangan keriputnya menampar keras wajah Reihan. Plak! Suaranya bergema, memecah lorong sunyi itu. “Untuk apa kamu datang ke sini, hah? Setelah semua yang kamu lakukan pada Rin, kamu masih punya muka untuk berdiri di sini?”“Ma, tolong jangan terlalu emosi.” Nyonya Dhea buru-buru meraih lengan mertuanya. Suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca. “Kesehatan Mama bisa drop kalau Mama terus-terusan marah.”Tuan Randi ikut bangkit. Sorot matanya tajam menembus putranya sendiri. “Reiha

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   Bab 20

    Darren baru saja keluar dari ruang inap pasien, menatap daftar rekam medis di tangannya. Malam itu, ia memang mengambil jadwal jaga. Meskipun bukan jam visit resmi, Darren selalu menyempatkan memeriksa pasien satu per satu itulah yang membuatnya dikenal sebagai dokter muda penuh perhatian.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Layar menampilkan pesan singkat dari suster jaga IGD. Jantungnya seketika berdegup lebih cepat, dadanya terasa sesak. Wajahnya menegang, seolah udara di sekelilingnya tiba-tiba menipis.Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju Instalasi Gawat Darurat. Sepatu ketsnya bergemuruh di lantai dingin, gema setiap langkah menambah ketegangan di dadanya.Begitu tiba, seorang perawat menyambutnya dengan wajah lega. “Syukurlah, ada Dokter Darren…”“Mana dokter jaga?” potong Darren, nada suaranya tegas dan tergesa, mata menyapu ruangan mencari siapa pun yang seharusnya bertanggung jawab.Perawat itu menunduk, bibir gemetar. “Maaf, Dok, mereka nggak ngasih info mau kemana dan dihubun

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   Bab 19

    Dengan senyum lebar yang belum pernah Fadel lihat sebelumnya, Reihan melangkah keluar dari sebuah gedung tinggi. Fadel hanya bisa menatap punggung sahabatnya dengan alis berkerut, tak habis pikir apa yang sebenarnya terjadi. Tak lama, sebuah sedan hitam berhenti di hadapan mereka. Supir langsung turun, membukakan pintu. Reihan masuk lebih dulu, diikuti Fadel yang masih sibuk menata rasa penasarannya. Di dalam mobil, suasana sempat hening. Fadel akhirnya tak tahan. “Re, bukankah lu agak berlebihan pakai jasa Richard? Dia itu pengacara top, kasus lu kan cuma perceraian,” tanya Fadel heran, menatap sahabatnya yang terlihat santai. Reihan menoleh, hanya membalas dengan senyum tipis. “Lagi pula, yang gugat kan Rin. Harusnya ini bisa cepat kelar, kalian berdua sama-sama mau pisah. Buat apa lu repot-repot?” lanjut Fadel, suaranya terdengar setengah protes. Reihan menatap keluar jendela, seolah menikmati lalu lintas siang itu, sebelum akhirnya menjawab dengan nada pelan tapi penuh

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 18

    Sabtu yang biasa menjadi hari istirahat bagi Reihan, kali ini terganggu oleh rengekan Karina yang terus memaksanya untuk menemaninya ke pesta kuliner yang tengah diselenggarakan di pusat kota. Karina tampak bahagia di tengah keramaian, matanya berbinar saat mencicipi makanan dan memotret suasana. Tapi tidak dengan Reihan yang justru merasa asing, seperti orang yang tersesat di tengah kerumunan.Hingga pandangannya tertuju pada sosok yang sangat familiar.Rin.Spontan, langkah Reihan bergerak tanpa sadar. Ia hendak menghampiri, namun langkahnya terhenti saat melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Rin tertawa , terlihat begitu bahagia bersama seorang laki-laki. Dan pemandangan itu semakin menusuk ketika pria itu membelai rambut Rin dengan lembut.Tanpa pikir panjang, Reihan melangkah cepat dan langsung menarik lengan Rin dengan kasar.Rin terkejut dan meringis kesakitan. "Reihan! Sakit!" serunya."Oh, jadi ini alasan kamu pergi dari rumah? Supaya bisa bebas pacaran sama lak

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 17

    Seminggu sudah berlalu sejak Rin meninggalkan rumah. Namun, ketegangan antara Reihan dan sang nenek, Ny. Atika, belum juga mereda. Suasana makan malam keluarga malam itu pun tak jauh berbeda, datar, canggung, dan penuh dengan percikan emosi yang tersembunyi.Ny. Atika meletakkan sendok dengan pelan, namun tajamnya sorot mata dan nada sarkastisnya lebih menusuk daripada dentingan peraknya di piring. "Sudah seminggu istrimu pergi, dan kamu masih bisa makan dengan wajah setenang itu, Reihan? Jangan-jangan kamu memang bersyukur dia pergi.”Reihan tak menunjukkan perubahan ekspresi. Ia tetap duduk tenang, menyuap makanannya seolah tak ada yang salah. “Dia pergi atas keinginannya sendiri, Nek. Bukan karena aku usir. Kalau masalah perceraian yang nenek maksud, tenang saja, aku akan mengurusnya secepat mungkin.”Ucapan itu sontak menyulut bara. Ny. Atika membentak sambil memukul meja dengan telapak tangannya. “Tidak! Kamu tidak bisa menceraikannya! Kalau kamu tetap memaksa, itu sama saja k

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 16

    Reihan tengah memeriksa tumpukan dokumen di atas mejanya. Garis kelelahan tampak jelas di wajahnya, namun ia tetap memaksa diri untuk fokus. Ketika suasana mulai sedikit tenang, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka. Fadel masuk begitu saja tanpa mengetuk, seolah ruangan itu adalah miliknya sendiri.Reihan langsung mendongak dan menatap sahabatnya itu dengan tatapan tidak senang. “Setidaknya, ketuk pintu dulu sebelum masuk,” tegurnya. “Kita memang sahabat, tapi sekarang masih jam kerja.”Fadel hanya terkekeh sambil menjatuhkan diri di sofa dengan santai. “Lucu ya. Yang ngomong soal sopan santun kerja ini adalah orang yang semalam ganggu waktu istirahat orang lain gara-gara mabuk berat dan nggak bisa pulang sendiri.”Reihan mendesah, lalu menutup dokumen yang tengah ia baca. “Kalau lo datang ke sini cuma buat ngeledek soal semalam, maaf, gue sedang sibuk. Tapi kalau lo mau bahas urusan bisnis, kita bisa atur jadwal ulang.”Alih-alih tersinggung, Fadel justru tersenyum lebar dengan sorot m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status