Share

PERNIKAHAN YANG TERNODA
PERNIKAHAN YANG TERNODA
Author: Srirama Adafi

Duri itu Riana

Kuhembuskan nafas kasar sembari tersenyum miris. Akhirnya aku sampai pada titik ini. Titik dimana aku harus merelakan rumah tangga yang kuperjuangkan segenap jiwa raga bermandikan peluh dan air mata kandas karena orang ketiga.

Semua berawal dari pesan singkat di posel Mas Ilham yang tak sengaja aku baca. Langit serasa runtuh. Oksigen di kamar ini seperti menguap. Dadaku sesak. Lututku lemas. Tenagaku lenyap seketika. Tubuhku luruh bersamaan dengan ponsel yang kugenggampun jatuh memecah keheningan kamar. Aku harap percakapan mesra dan vulgar dalam pesan di ponsel suamiku tidaklah nyata. 

"Suara apa, Nda?"

Mendengar suara lelaki yang sudah lebih dari sepuluh tahun hidup bersamaku dada ini semakin bergemuruh. Emosi sampai ke ubun-ubun. Dada ini seakan mau meledak. Mataku memanas. Buliran bening itu berlomba keluar dari mata.

Lelaki berkaos putih itu masuk menatap benda yang kini terserak di lantai lalu beralih menatapku. Ada kilat terkejut di sorot itu. Mungkin menyadari sesuatu. Dia masih mematung di tempat yang sama. Kakinya soalah membeku melihat luka di mataku ataukah karena dosanya yang kini kutahu.

"Nda!" Lirih bibir itu memanggilku, lidahnya seolah kelu.

Aku masih asyik menari bersama luka yang tercipta. Terus terbayang rangkaian kata yang mengoyak jiwa. Tentang liarnya melodi cinta mereka. Gelora cinta yang membumbung tinggi hingga cakrawala. Suamiku telah abai akan dosa. Aku masih meraba, benarkah itu kata-kata yang keluar dari pikirannya?

"Ya Allah, nyatakah ini?" jerit yang hanya mampu sampai di tenggorokanku. Suamiku benarkah dia mampu menghianati pernikahan kami? Tubuhku tergugu bersama pilu yang bertalu. Isakku menyayat karena laku yang tak tahu malu.

Kutangkupkan kedua telapak tangan ini menutupi wajah. Tubuhku tersungkur. Aku berteriak sekeras yang kumampu. Berharap lara ini keluar berasa suara tangis yang menggema. Sesakit inikah ketika cinta yang kujaga akhirnya ternoda? Hatiku sekarat oleh kenyataan suami telah berbagi cinta.

"Nda!"

Kembali lirih suara itu menggetarkan gendang telinga. Tangan kokohnya kini manggapai kedua pundakku. Kutatap mata itu berharap ini semua tidak benar dan hanya salah paham. Tapi yang kudapati sorot mata itu menyiratkan rasa bersalah hingga kembali meremuk redamkan rasa di dada.

"Berapa kali?" Susah payah aku mengeluarkan suara yang tercekat oleh pedihnya luka yang menganga.

Bibir tipis itu masih membisu. Matanya tak lagi menatapku.

"Tiga jari?"

Hening tak ada jawaban.

"Lima jari?" tanyaku sambil membuka telapak tangan kananku.

"Nda!" lirihnya.

"Dua tangan?" cecarku.

"Nda ... ."

"Lima tangan?"

"Maafin Ayah!"

Suara tangisku kembali menggema. Tak pernah kusangka, lelaki lembut yang begitu aku cinta ini tega menghancurkan jiwa ragaku. Meluluh lantakkan perasaanku. Lelaki yang menjadi pusat hidupku selama ini mampu menghianati pernikahan kami. Sudahkah dia tak mencintaiku lagi?

Direngkuhnya tubuh yang kini terasa begitu ringkih ini. Kutumpahkan tangis ini di dadanya. Dada yang kini telah ternoda. Kubiarkan tubuh ini mengadu. Bahwa hati ini terlampau pilu. 

"Siapa Riyan?" tanyaku datar setelah puas menumpahkan rasa.

"Dia ... dia ... Riana, Nda."

Bagai petir di siang bolong menyambar kepalaku. Kutatap wajah itu tak percaya. Riana? Gadis dari kampungku yang kami pekerjakan untuk menjaga toko sembako. Benarkah aku tak salah dengar?

"Riana?" tanyaku untuk memastikan tak salah dengar.

Lelaki itu mengangguk lemah kemudian tak mengangkat wajahnya lagi. Benar-benar tak kusangka, gadis pendiam itu menjadi duri dalam rumah tanggaku. 

Ribuan pedang seperti menghunus jantungku. Sakit. Sakit sekali. Rasanya seperti mau mati. Bahkan udara di ruang kamar ini seolah menguap dan tak tersisa. Beginikah rasanya dihianati oleh orang-orang yang kupercayai? Gadis yang aku kasihi karena kondisi ekonomi keluarganya justru malah menikamku.

"Sejak kapan?" Aku masih menatapnya tak percaya.

Lelaki berkulit cokelat itu hanya diam. Kumandang azan mahrib memecah kesunyian diantara kami.

"Aku menunggu penjelasanmu."

Meskipun tubuh ini terasa tak bertulang, kucoba untuk bangkit tanpanya. Lemah kulangkahkan kaki ke dapur dan meminum air putih untuk membatalkan puasa. Perutku langsung kenyang hanya dengan segelas air putih. Sungguh selera makan yang tadi menggebu hingga kusiapkan berbagai makanan untuk buka puasa sunah yang rutin kami lakukan setiap senin dan kamis menguap begitu saja.

Lelaki itu tampak canggung saat berpapasan denganku untuk mengambil air minum yang sebelumnya sudah kutata di meja. Rumah ini hening tanpa suara.

Selesai solat mahrib sembari mengadukan segala pedih di hati kepada Sang Pemilik, aku bertekad menemui Riana. Gadis yang mampu membuat hati Mas Ilham berpaling. Bahkan tak mengingat dosa lagi. Kukenakan hijab hitam lebar kemudian melangkah keluar kamar. Tak terlihat Mas Ilham di ruangan lainnya.

Hawa dingin menerpa wajah saat kulajukan motor membelah jalanan yang masih padat. Langit terlihat mendung, sesekali guntur terdengar seolah menyampaikan pesan akan datangnya hujan.

Sepuluh menit berlalu, aku tiba di kost Riana. Gerbang masih terbuka lebar. Sengaja kuparkir motor di sebelah gerbang. Langkah kaki ini menyusuri halaman yang cukup luas. Nuasna asri terasa sekali. Beberapa pohon cemara berdiri di depan kamar-kamar kost itu. Kemudian bunga warna-warni pun menghiasi halaman yang ditumbuhi rumput yang tertata rapi.

Pandanganku fokus pada satu kamar. Tampak pintu kayu itu tertutup rapat. Remang cahaya terlihat dari balik gorden.

Pelan langkah ini mendekat. Entah mengapa kali ini perasaanku sangat tidak enak. Apalagi terdengar obrolan lirih yang tidak jelas di telingaku. Mungkinkah Mas Ilham di dalam? Hatiku ketar-ketir. Takut melihat sesuatu yang bisa melukaiku lebih dalam. Tapi aku ingin memastikan. Tanpa kuketuk, kubuka pintu kayu itu dengan cepat.

Dua pasang mata itu membelalak melihat kadatanganku. Dengan cepat rengkuhan itu mereka uraikan. Kini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku masih mematung di depan pintu dengan emosi laksana ombak samudera. Siap menerjang siapa saja. Dadaku panas. Kutahan genangan yang siap tumpah ruah. Lelakiku benar-benar terbang terlampau tinggi.

"Bunda, kita bisa bicarakan semua baik-baik." Lelaki itu beranjak mengikis jarak denganku. Kedua tangannya memegang kedua pundakku namun aku masih bergeming menatap lurus pada gadis yang kini menunduk di hadapanku. Lelehan air mata ini tak bisa kutahan lagi demi menyaksikan penghianatan dua manusia yang selama ini aku kasihi.

"Bunda ... ."

"Tega kalian?" Suaraku dingin seperti belati siap menikam.

"Kurang apa aku sama kamu, perempuan murahan?" Teriakku tanpa bisa lagi dikendalikan.

"Bunda, tolong tenang, Nda!" bujuk Mas Ilham pelan.

"Tolong, jangan panggil aku seperti itu! Aku jijik mendengarnya."

"Nda ... ."

"Tolong diam, Mas!" ucapku dengan emosi yang mau meledak.

Rasanya ingin kuhancurkan kamar Riana saat itu juga. Ingin kubunuh mereka berdua saat itu juga. Bahkan mereka matipun takkan mengurangi rasa sakit yang mereka torehkan di hati.Suasana kamar berukuran 3x3 itu begitu panas. Meski di luar udara menusuk tulang.

"Kurang apa aku sama kamu? Jawab, perempuan murahan!" teriakku. Ku tatap tajam gadis dua puluh tahun itu. Dia hanya diam menundukkan kepala. Kini dia memang jauh berbeda saat awal kuboyong dari kampung. Kulitnya kini putih, rambutnya kini rapi dan lurus. Dia pun semakin pandai bersolek. Sayangnya hatinya tak secantik rupanya.

Melihatnya mengenakan atasan panjang bunga-bunga dan bawahan celana jeans ketat, ada perasaan jijik di hatiku. Dijanjikan apa gadis ini hingga mau dijadikan gundik oleh lelaki itu.

"Kamu dijanjikan apa sampai mau nyerahin keprawanan kamu sama suami orang?"

Tak ada sahutan. Mereka berdua masih membisu.

"Oh, apa sebelum kesini kamu memang sudah biasa dipakai orang?" Teriakku.

"Bunda!" Mas Ilham membentakku.

"Oh, sekarang sudah mulai bisa membentakku? Demi gundik itu?"

"Bunda, dengarkan Ayah dulu! Semua salah Ayah."

"Sudah tahu salah kenapa dilakukan?" bentakku.

"Ayah khilaf, Nda."

"Khilaf? Khilaf kamu bilang? Khilaf apa yang berkali-kali? Khilaf apa doyan?" Tatapanku tajam seolah ingin musnahkan manusia ini saat itu juga.

Kuhempaskan kedua tangan. Sekuat tenaga berusaha menetralkan emosi yang memuncak ingin segera dilampiaskan. 

Kutarik nafas panjang. "Maaf, Mas, mulai malam ini kamu enggak usah pulang ke rumah lagi. Tolong urus perceraian kita secepatnya!"

Kemudian kutatap lagi gadis tak perawan itu. "Silahkan kamu pungut suami bekasku, Murahan!"

"Bunda, tolong jangan seperti ini! Dengarkan Ayah dulu!"

"Dengerin kamu mau belain gundik kamu itu. Oh ya, mulai besok kalian berdua enggak usah ke toko lagi."

"Nda, Bunda!"

Tak kuhiraukan panggilan Mas Ilham. Segera kuterobos deras hujan yang malam itu membasahi bumi. Langit seolah tahu bahwa hatiku butuh kesejukan. Langit seakan tahu bahwa air mataku harus dikaburkan oleh derasnya hujan. Hingga tak perlu ada yang tahu bahwa sebenarnya saat ini aku menangis. Hatiku menjerit.

Di teras rumah tampak lelaki itu berdiri dengan kondisi basah kuyup sepertiku. Tapi hatiku terlanjur beku. Penghianatan mereka seperti serdadu yang tanpa ampun menghujam jantungku. Jika bisa aku meminta, aku ingin mati saat itu juga.

"Nda!"

Tak kupedulikan lelaki yang telah memporak porandakan semua. Langsung kutuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Guyuran hangat air shower ternyata masih tak mampu membuat hatiku tenang. Meski kuhabiskan waktu entah berapa lama. Tapi rasa ini masih ada, masih sama, masih sangat terluka.

Ketukan dari luar mulai kudengar. Lelaki yang tak ingin lagi kudengar suaranya itu tak henti-hentinya memanggil. Sungguh, rasa sakit ini entah kapan mampu menghilang dari hati. Mampukah aku memaafkan penghianatan ini demi rumah tanggaku? Demi Delia anakku?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
jangan kmu terima laki2 penghianat itu juga kmu usir semua nya itu bukan khilaf tapi doyan sdh ber ulang2 suami berbuat zinah .yg tau itu dosa ..
goodnovel comment avatar
Isabella
baru baca udah mewek part nya suka cuma dikit enggak smpai ratusan
goodnovel comment avatar
Yuez Rama
baru bab satu aja udah sesakit ini.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status