Share

Kesempurnaan Semu

Suara ketukan pintu terus mengusik ketenangan yang sedang berusaha aku ciptakan. Mas Ilham tak putus asa memanggilku, memohon maaf padaku. Jujur saat ini hatiku beku. Tapi tak ingin permasalahan ini menjadi konsumsi tetangga, akhirnya kubuka juga pintu untuknya.

Mas Ilham langsung meraih tanganku kemudian bersimpuh di kakiku. "Bunda, tolong dengarkan Ayah dulu, please!" ucapnya dengan menempelkan telapak tanganku di wajahnya.

"Tolong, Mas Ilham! Saya enggak mau menjadi tontonan!" Kuhentakan tanganku kemudian berlalu meninggalkannya yang terpaku di depan pintu.

Pantulan dicermin seolah mengolokku. Kuusap pelan kulit wajah ini. Kusam. Kata yang pas untuk menggambarkan kulit wajahku. Pori-pori yang terlihat lebar. Bekas jerawat di mana-mana. Di ujung mata pun mulai terlihat keriput. Mungkinkah faktor usia? Atau memang aku yang selama ini tak pernah peduli dengan penampilan.

Kubuka hijab yang tadi kukenakan saat membukakan pintu untuk Mas Ilham. Pelan jemari ini menyugar rambut yang entah sejak kapan terikat dengan ikat rambut berwarna merah yang sudah kendor. Kuurai rambut yang kini berbentuk ikal. Kusisir perlahan, beberapa kali sisir tersangkut dan aku harus pelan-pelan agar rambutku bisa tersisir semua.

Kuhembuskan nafas dengan berat. Memang penampilanku dan Riana bak langit dengan bumi. Riana yang muda dengan tubuh bak biola. Riana yang cantik dengan wajah bak pualam. Riana yang berambut lurus dan rapi.

Pantas saja Mas Ilham mabuk kepayang hingga lupa dosa dan keluarga. Sedangkal itukah cinta Mas Ilham untukku, untuk kami sekeluarga? Hanya karena seorang gadis jelita dia mampu menghianati janji suci kami. 

Pipiku kembali basah. Deras air mata ini mengalir membuat wajah kusamku semakian tak karuan. Aku tergugu dalam pilu. Memikirkan nasib rumah tanggaku.

"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Haruskah rumah tangga yang kubangun dengan susah payah ini hancur begitu saja?"

Tangisku semakin pecah mengisi kekosongan kamar tempat biasa kami mencurahkan kasih sayang. Ada perasaan tidak rela membiarkan keringat darah dan air mata yang kupertaruhkan selama ini untuk rumah tangga kami terbuang sia-sia. Perjalanan yang telah kami tempuh selama lebih dari sepuluh tahun tidaklah mudah. Penuh tangis peluh dan kesabaran luar biasa. Haruskah kini kumenyerah begitu saja?

Mas Ilham yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu kini mendekat. Kemudian wajah lelaki itu terpantul oleh cermin di depanku. Wajah yang selama ini menjadi titik fokus hidupku. Tak pernah sedikitpun aku berpaling, terlintas sedikitpun tak pernah. 

Benci menyeruak melihat wajah itu. Tiada lagi cinta yang dulu begitu besar untuknya. Semua terkubur oleh dalamnya luka sebab penghianatannya. Aku muak dengan ekspresi wajahnya. Entah itu sungguh-sungguh merasa bersalah atau sekedar sandiwara. Entah lah, rasa percaya itu menguap begitu saja.

"Nda!"

Dia berusaha menyentuh pundakku namun segera kutepis. Aku jijik dengan tangan yang telah ternoda oleh wanita lain.

"Maafin Ayah, Nda. Bunda boleh pukul Ayah sepuasnya. Lampiaskan seluruh emosi Bunda, Ayah terima, Nda."

Mendengar rentetan kata-katanya aku semakin muak. Dia pikir cukup aku memukulnya semua akan selesai? Luka di hatiku langsung hilang? Bahkan jika aku membunuhnya pun luka ini tak akan pernah sirna. Tak semudah itu. Penghianatan atas sebuah ketulusan adalah dosa yang paling besar bagiku.

"Tolong jangan panggil saya Bunda lagi. Aku jijik mendengarnya." Kupalingkan wajah agar tak bersitatap dengannya di cermin.

"Nda, Ayah tahu Ayah salah. Ayah mohon, maafkan kesalahan Ayah, Nda!"

"Mas Ilham, namaku Mayang. Bukan Bunda."

"Nda, silahkan hukum Ayah! Tapi jangan seperti ini! Ayah butuh Bunda, Ayah cinta sama Bunda. Ayah khilaf, Nda. Ayah hanya cinta sama Bunda."

"Ya allah, apa bumi ini benar-benar sudah terlalu tua sampai ada lelaki macam kamu, Mas?" Tanyaku dengan nada sinis disertai tatapan miring tak kalah sinis.

"Nda ... ."

"Cinta seperti apa yang kamu punya itu, hah?" Tajam kutatap bola matanya yang terlihat sendu.

"Nda, Ayah khilaf."

"Enggak adakah alasan lain yang lebih enak didengar?" Kubuang wajah, muak mendengar alasan klasiknya.

"Ayah benar-benar enggak ada niatan buat menghianati Bunda."

"Terus selama ini yang kamu lakukan itu apa namanya?"

"Semua terjadi begitu saja, Nda."

"Sejak kapan?"

"Sejak ... ."

"Masih mau berbohong?" sinisku.

"Enggak, Nda. Sekitar empat bulan setelah kedatangan Riana, Nda. Maafin Ayah, Nda."

"Astaghfirullah, sudah satu setengah tahun kalian main gila di belakangku?" 

Tajam kutatap mata lelaki itu. Tak pernah kusangka sama sekali. Saking bodohnya aku atau saking pintarnya mereka memainkan sandiwara. Mungkin jika mereka berdua ikut casting sineteron, mereka bakal langsung menjadi peran utama. 

Satu setengah tahun bukan waktu yang singkat. Selama ini mereka begitu baik padaku. Bersikap seolah tak ada apa-apa diantara mereka. Bahkan Riana sering membantu pekerjaan rumahku. Bahkan kadang menginap di sini. Oh, tunggu tunggu!

"Jadi rumah ini pun sudah kalian gunakan untuk main gila?"

Kutatap tajam lelaki yang hanya diam membisu.

"Di ruang mana?" Suaraku semakin meninggi.

"Maafin Ayah, Nda!"

Lelaki itu kini bersimpuh memegang lututku. Tapi aku terlanjur kecewa padanya. Teramat sangat kecewa. Kasar kuhentakkan kaki dan meninggalkannya.

"Ya Allah, rasanya begitu sakit," rintihku dalam hati sambil menekan dadaku kuat-kuat. Tak pernah kusangka, bahkan rumah ini pun telah mereka nodai dengan perbuatan hina mereka. Rumah yang kami beli dengan jerih payah, menabung sedikit demi sedikit, hingga puasa senin kamis agar bisa lebih berhemat, telah mereka kotori dengan perbuatan yang begitu hina.

Entah bagaimana aku ingin melampiaskan segala beban di dada. Ingin menjerit sepuasnya. Ingin berlari secepat-cepatnya. Bahkan ingin mati saat ini juga. 

Tubuhku ambruk ke ranjang kamar tidur Delia. Kubenamkan wajah ke dalam bantal kemudian menangis meraung-raung. Rasanya teramat sakit. Entah apa kata yang bisa untuk menjelaskan rasa sakitnya. Sungguh aku ingin mati saja. Aku ingin mati agar tak merasakan sakit lagi. Aku tak kuat menahan lara yang mengoyak jiwa seperti ini. Mungkin aku bisa gila karenanya.

.

Pagi ini gerimis masih setia menemani. Jendela kaca kamar ini basah oleh tetesan airnya. Pandanganku lurus menatap tetes-tetes air dijendela yang luruh meninggalkan bekas di kaca. Nafasku berhembus kasar. Biasanya Mas Ilham selalu cerewet saat aku malas-malasan karena dingin. Minta dia untuk tetap memelukku dibalut selimut tebal. Tampaknya semua hanya akan jadi kenangan.

Kuberanjak dari tempat tidur. Melakukan aktifitas pagi seperti biasa dengan perasaan tak biasa. Kulihat Mas Ilham sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Tapi hati ini sudah terlanjur beku untuk melihat apapun kebaikan darinya. Kebaikan yang selama ini aku bangga-banggakan. Memiliki suami yang tak gengsi mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan menyiapkan sarapan untuk kami. Kemudian mengantarku sampai depan pintu saat berangkat mengajar. Senyumnya, perhatiannya, seluruh kebaikannya kini lenyap tak bersisa. 

Setelah siap dengan seragam batik, aku mematut diri di depan cermin lebih lama dari biasanya. Mataku terlihat bengkak. Setelah memakai jilbab senada aku berniat langsung berangkat. Perutku terlalu penuh untuk bisa terisi sarapan buatan Mas Ilham.

Melihatku keluar kamar, lelaki itu tergopoh mengejarku. "Bunda sarapan dulu, ya? Ayah sudah siapin nasi goreng."

Aku bergeming tetap melangkah menuju garasi. "Nda, hujan. Ayah antar ya?" Lelaki itu berjalan mengekoriku. Aku masih membisu. 

Mas Ilham meraih pundakku dan berdiri di depanku. "Nda, enggak apa-apa Bunda masih marah, tapi biarkan Ayah tetap antar Bunda, ya? Ayah enggak mau Bunda hujan-hujanan." bujuknya.

Jengah mendengar suara lelaki itu, langsung kupakai jas hujan dan menstater motor kupacu keluar rumah menuju sekolah tempatku mengajar. 

Sepanjang perjalanan pikiranku melayang pada masa-masa perjuangan rumah tangga kami. Awal pernikahan, kami benar-benar harus berjuang demi sesuap nasi. Kami bukan berasal dari keluarga berada oleh karenanya harus berjuang keras untuk perekonomian keluarga.

Kami mengontrak di sebuah rumah kecil. Kemudian dengan uang sisa pernikahan kami gunakan untuk modal warung kelontong kecil-kecilan di teras rumah. Mas Ilham bekerja serabutan. Kadang ngojek dengan motor bututnya, bahkan buruh bangunan karena dia hanya punya ijazah SMP. Asal ada peluang menghasilkan uang yang halal dia mau kerjakan. Aku tak pernah protes seberapapun penghasilannya.

Sejak kelahiran Delia rezeki kami mulai membaik, uang dari sanak saudara kami kumpulkan kemudian digunakan untuk menyewa ruko di pinggir jalan untuk membuka toko sembako. Tak butuh waktu lama toko kami semakin ramai. Barang dagangan semakin kami lengkapi. Dengan membawa serta bayi Delia kami berkerja sama mengelola toko.

Aku memang bukan tipikal ibu rumah tangga yang bisa segalanya. Mengurus bayi dan ikut berjualan di toko membuatku tak pernah memasak dan mengurus rumah sendiri. Mas Ilham selalu turut serta dalam pekerjaan rumah tangga. Jika kami repot maka rumah memang seperti istana terbalik. Tapi tak pernah jadi masalah. Saat senggang maka kami akan bekerja sama membalikkan kembali istana kami yang sebelumnya porak poranda. Soal makanan dia pun tak pernah rewel. Sarapan nasi bungkus sambil membuka toko sudah cukup.

Menginjak satu tahun usia Delia, Mas Ilham dan orang tua kami mendukungku untuk mengikuti tes CPNS di kota tempat tinggal kami dan diterima. Sejak itu toko dikelola Mas Ilham dengan dibantu dua karyawan, Dika dan Toni. Aku hanya menerima laporan keuangan dan keluar masuk barang setiap hari. Meskipun mulai disibukkan dengan pekerjaan baru, aku tetap memantau kondisi toko.

Delia di rumah diasuh oleh tetanggaku, Mba Nanda. Suaminya yang buruh bangunan membuatnya ikut bekerja demi dapur tetap mengepul di saat harga-harga kebutuhan semakin meroket. Setelah Delia masuk SD kembali kami hidup tanpa bantuan ART. Karena Delia minta masuk sekolah yang berasrama.

Semua berjalan dengan baik. Kehidupan kami cukup bahagia. Aku sangat bersyukur untuk itu. Di mata teman-teman kami adalah pasangan sempurna. Ekonomi mapan, anak kami tumbuh sehat dan sholihah, kami berdua selalu kompak dan kemanapun selalu bersama. Seolah tak ada celah untuk orang ketiga. Tapi itu hanya sepertinya. Hingga akhirnya kemarin aku mengetahui semuanya.

Motor kuparkir bersamaan dengan motor-motor guru yang lain. Aku berjalan menyusuri koridor seperti mayat hidup. Sekedar untuk tersenyum menyambut anak-anak yang berebut tanganku pun begitu kaku. 

Ruang guru seperti biasa terdengar riuh penuh canda rekan-rekan yang sudah hadir. Seperti biasa, aku mengucap salam dan bersalaman dengan mereka kemudian duduk di kursi kerjaku. Biasanya aku akan membaur bersama gurauan mereka. Tapi pagi ini jiwaku serasa tak menyatu dengan raga, entah melayang dimana.

.

Mendung masih menggelayut manja di langit jingga saat aku memacu motor dari sekolah menuju toko. Rutinitasku setiap hari. Jalanan padat merayap pada saat jam pulang kerja seperti ini. Dengan lincah aku menyalip beberapa mobil yang merayap pelan di depanku. Hingga tiba di perempatan dengan lampu merah menyala. Aku masih menyalip untuk bisa berada di posisi depan. 

Menanti lampu hijau, aku menoleh sekeliling. Dan pedang itu kembali menghunus jantungku. Wajah cantik gadis itu tampak menatap kosong ke depan. Di sampingnya terlihat lelaki yang berkali-kali minta maaf padaku. Mereka belum menyadari posisiku tepat di samping mereka. Tak kusangka, sepercaya diri ini mereka pergi berdua dengan kaca mobil dibiarkan terbuka.

"Enak ya, kemana-mana pakai mobil tanpa bersusah payah membelinya," seruku. Ingin rasanya kujambak dan kutarik keluar perempuan tak tahu diri itu. Tapi aku tak ingin mempermalukan diri.

Mereka menoleh dengan mata melebar.

"Mba Mayang," lirih gadis tak perawan itu.

Aku hanya tersenyum sinis meninggalkan mereka yang masih bengong saat lampu hijau telah menyala. Sungguh hatiku hancur lebur. Lelaki itu yang tadi pagi sibuk membujukku, kini dengan entengnya pergi berdua dengan gundiknya. Lelaki macam apa sebenarnya dia Ya Robbi?

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau aja yg banyak drama segala. klu g mau si gundik menaiki mobil itu maka jgn kau biarkan sinilham memakainya.udah sadar g menarik lg tapi masih menye2. makanya pake tu otak dan jgn terlalu percaya diri krn itu g baik
goodnovel comment avatar
IntanDahni93329
geram x bacanya ihhh pingin ku jambak itu pelakor sama suaminya hbs itu kuceburkan ke paret .........
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
udah kmu ambil mobil mu dn kmu ambil semua harta mu dr hasil kerja kmu .dn dh kmu usir dua orang itu jangan sampe kmu lemah terhadap omongan ilham si penghianat itu .ilham g akan lepas dr Riana ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status