Pesta pernikahan di area golf itu telah usai. Para tamu undangan juga sudah meninggalkan area pesta. Dari kejauhan tampak Maeera sedang berjalan tertatih-tatih ditemani beberapa asisten rumah tangga. Ia tengah diantarkan ke sebuah mansion mewah di tepi pantai, di bagian lain dari lapangan golf itu.
Mansion milik keluarga Liong ini, memiliki desain arsitektur modern dengan bagian depan sepenuhnya berdinding kaca. Bangunan utama mansion di kelilingi oleh kanal air yang dipenuhi oleh bunga teratai dan bunga lili yang cantik.
Begitu memasuki mansion, Maeera dibuat terkagum-kagum dengan besar dan luasnya rumah itu. Suasana di dalam mansion terlihat sangat nyaman dengan desain interior fresh, unik, dan penuh estetika.Setelah menaiki tangga berbentuk spiral menuju lantai dua, Maeera tiba di sebuah kamar berukuran super besar dengan dua daun pintu berwarna putih. "Mari Nona silahkan masuk," kata seorang asisten rumah tangga sembari membuka pintu kamar.Di dalam kamar terdapat tempat tidur ukuran besar menghadap ke jendela yang memiliki pemandangan langsung ke laut.
Berjarak beberapa meter dari tempat tidur, terdapat rak buku beserta meja dan sepasang kursi untuk bersantai dan membaca. Ada pula televisi besar dengan sofa malas di depannya.
Begitu Maeera masuk ke dalam kamar, para asisten itu langsung menutup pintu dan pergi.Sadar dirinya terjebak di dalam kamar, Maeera segera balik badan dan mencoba membuka pintu. Tapi usahanya sia-sia, pintu itu sepertinya dikunci dari luar.
Gin tampak duduk di atas tempat tidur sembari mencoba membuka penutup matanya, ia terlihat kesulitan. "Hai, tolong bantu aku membuka ini," pinta Gin pada Maeera.
Maeera yang sedari tadi masih berdiri di depan pintu, baru sadar jika suami palsunya itu sudah berada di dalam kamar. Diliriknya pria buta itu, tampak ia memang sedang kesulitan membuka penutup matanya.
Merasa kasihan, Maeera memutuskan untuk membantunya.
"Hah ... kenapa aku harus terjebak di sini," gumam Maeera sembari berjalan mendekati Gin.
Didekatinya Gin dari arah samping, terlihat pria tampan itu memiliki rambut yang sangat halus dan punggung yang bidang. Dengan hati-hati Maeera mencoba melepas ikatan penutup mata yang ternyata cukup kencang.
"Apa kau benar-benar tidak bisa melihat?" tanya Maeera membuka pembicaraan, mencoba mencairkan suasana.
"Hemm ... " jawab Gin singkat.
"Sejak kapan?" tanya Maeera lagi.
"Sejak beberapa tahun lalu," jawab Gin.
Karena masih penasaran dengan apa yang terjadi pada suami palsunya itu, Maeera kembali bertanya, "Karena apa?"
"Kecelakaan," jawab Gin sembari tersenyum kecil.
"Oh ... maaf, aku tak tau" kata Maeera dengan nada menyesal. Tapi lagi-lagi Gin hanya tersenyum.
"Ah ... akhirnya bisa juga!" kata Maeera dengan nada gembira. Ia lepaskan kain penutup mata itu, kemudian ia letakkan diatas telapak tangan Gin. Saat meletakkan kain itu ke tangan Gin, tanpa sengaja pandangan mata keduanya saling bertemu.
"Deg ... deg ... deg ... " dada Maeera tiba-tiba berdegup kencang. Ada getar-getar aneh tak jelas di dalam dirinya. Tak ingin larut dalam suasana, Maeera segera mengalihkan perhatiannya.
"Apa kau tau, kau memiliki mata yang sangat indah," puji Maeera saat melihat iris mata Gin yang berwarna biru seperti batu safir.
Gin tersenyum, ia kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Maeera hingga wajah keduanya kini hanya berjarak beberapa senti.
"Apa kamu juga tau, kamu juga sangat cantik," ucap Gin sembari tersenyum lebar.
Mendengar pujian sedekat itu dari seorang pria tampan, muka Maeera langsung merah padam, detak jantungnya semakin tak terkendali. Ia langsung balik badan dan menjauh dari Gin.
"Ah ... hari ini panas sekali, aku ingin mandi," kata Maeera sembari menggerakkan kedua tangannya mencoba mengusir pikiran kotornya. Ia kemudian melepas maskernya dan mencoba membuka ritsleting gaun pengantinnya.
"Tunggu dulu, apa kau akan tetap berada di sini saat aku mandi dan ganti baju?" tanya Maeera tanpa menoleh ke arah Gin.
"Ini kamarku, ke mana aku harus pergi?" jawab Gin. "Tenang saja, aku tak akan mengintipmu mandi, aku buta!" imbuhnya.
"Ah, benar juga! aku hampir lupa jika dia tak dapat melihat. Ini sebuah keberuntungan, artinya aku bisa pergi meninggalkan rumah ini dengan mudah," gumam Maeera dalam hati sembari mengecup cincin berlian yang terselip di jarinya.
Tiba-tiba sebuah ide gila muncul di otak Maeera. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Gin saat dia mengatakan bahwa dirinya bukanlah wanita yang seharusnya ia nikahi.
"Hai ... apa yang akan kau lakukan jika kau tau aku bukan orang yang seharusnya kau nikahi," tanya Maeera sembari kembali berjalan mendekati Gin.
"Maksudku, ah ... bagaimana aku menjelaskannya. Sebenarnya aku bukan orang yang seharusnya menjadi istrimu, ada orang lain. Aku menggantikan posisinya secara tak sengaja," kata Maeera coba menjelaskan.
"Aku? ... aku tak akan melakukan apapun," jawab Gin singkat sembari membuka kancing tuxedo-nya satu per satu.
"Eh, tapi bagaimana jika keluargamu tau jika aku bukan orang yang seharusnya menikah denganmu," tanya Maeera lagi.
Sembari melepas bagian luar tuxedo-nya, Gin menjawab. "Mungkin mereka akan memenjarakanmu."
Mendengar jawaban itu, perasaan Maeera seketika langsung berubah menjadi tak tenang. Ia mulai takut jika besok pagi keluarga Gin datang maka mereka akan tahu yang sebenarnya.
Itu artinya pagi-pagi sebelum matahari terbit, ia harus sudah kabur dari tempat itu.
Bersembunyi dibalik mobil Land Rover warna putih, tangan Avani gemetar memegang pistol Colt M1911A1. Ia ketakutan. Wajah putihnya terlihat pucat pasi dengan rambut yang acak-acakan. Bagian bawah gaun pengantinnya kini sudah berubah warna dari putih menjadi cokelat kemerahan.Di tengah heningnya malam, terdengar suara langkah kaki mendekat kearahnya. Diintipnya suara itu melalui celah mobil. Terlihat seseorang memakai setelan berwarna hitam dan membawa pistol, sedang berjalan mendekat ke arahnya. Sadar dirinya dalam bahaya, detak jantung Avani meningkat pesat, tangannya makin gemetar. Ditariknya pelatuk pistol yang ia bawa, ia todongkan pistol itu ke depan dengan posisi siap menembak. "Aku pasti bisa!" kata Avani dalam hati menyemangati dirinya sendiri. Benar saja, seorang pria memakai jas hitam yang sedari tadi mengendap-endap, muncul dari belakang mobil dan langsung menodongkan pistol ke arahnya. Avani yang sejak tadi sudah bersiap-siap untuk
"Bagaimana caraku keluar? .... emm ... bagaimana—caraku—keluar ... aaa ... bagaimana caraku keluar dari tempat ini?" teriak Maeera sembari mencipakkan air di dalam bathtube.Berendam di bathtube besar nan nyaman, dengan busa dan kelopak bunga mawar bertebaran, pikiran Maeera justru melayang kemana-mana.Pikirannya masih kacau memikirkan bagaimana cara keluar dari tempat itu.Tak hanya itu, ia juga perlu mencari cara agar tuan muda keluarga Liong, Gin Yuta, tak curiga jika dirinya bukanlah pengantin wanita yang sesungguhnya."Perlu berakting, ya! Aku perlu berakting agar tidak ketahuan," kata Maeera sambil mengangguk-anggukkan kepala."Pria bernama Gin itu buta, jadi dia tak akan tahu jika aku bukan istrinya yang sebenarnya. Dia bisa ditipu, aku hanya perlu membuatnya tidak curiga padaku,""Hemmm ... ya-ya, aku pasti bisa melakukannya," kata Maeera penuh semangat.&n
Malam sudah mulai larut, jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul 22:00. Tapi Maeera masih sibuk membongkar lemari barang milik Gin Yuta. Entah apa yang dicarinya. Padahal beberapa jam sebelumnya ia telah memantapkan diri untuk tidur lebih awal karena tak ingin bangun kesiangan yang bisa membuat rencananya untuk kabur gagal."Istriku, kau di mana? Kemarilah, tidur di sini?" pinta Gin sembari meraba-raba area di sekitar tempat tidurnya."Aku di sini, aku masih sibuk, kau tidur saja dulu," kata Maeera yang sedang sibuk membongkar lemari barang milik Gin. Ia sedang mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk tempat menyimpan cincin permatanya. Cincin itu terlalu longgar di jarinya sehingga ia takut cincin itu akan hilang."Kau sibuk?" tanya Gin dengan dahi berkerut penuh tanda tanya."Bukankah kau sedang cuti kerja? Apa aku perlu menelpon direktur Mao untuk mengalihkan semu
Bangunan itu terletak di sebuah pulau pribadi seluas 780 hektare dan berjarak kira-kira 250 mil dari daratan utama. Tembok setinggi tujuh kaki dibangun mengelilingi pulau lengkap dengan lampu sorot, mercusuar, serta rumah jaga, cabana, dan gua bunker.Orang-orang menyebut pulau itu dengan sebutan pulau pribadi Koch. Tempat mafia Ko yang bernama lengkap Koch Leung dan putranya Rin Leung tinggal. Tempat itu bahkan tak tergambar di peta dan tak terdeteksi di GPS karena keberadaannya yang sangat dirahasiakan.Untuk bisa sampai ke pulau pribadi Koch, seseorang harus menggunakan kapal atau helikopter sebagai moda transportasi. Terdapat sebuah dermaga dan helipad sebagai tempat bersandar dan mendarat.Di pulau berpasir putih itu, sebuah bangunan dengan desain mirip kastil kerajaan eropa, menjadi tempat tinggal utama keluarga Leung.Dilihat dari luar, bangunan besar itu memiliki
Avani mondar-mandir di depan pintu memikirkan bagaimana caran mendapatkan ponsel. Sembari menggigit ujung jarinya, otaknya terus befikir. Tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya."Oh ya! ... mungkin mereka punya," kata Avani sambil kembali membuka pintu dan menghampiri kedua penjaga.Melihat Avani kembali membuka pintu dan keluar kamar, kedua pria penjaga itu tiba-tiba langsung bersikap sigap."Emm ... apa kalian membawa ponsel? Apa aku boleh meminjamnya sebentar. Aku ingin menghubungi seseorang," tanya Avani dengan nada bicara sok akrab.Kedua pria itu kembali saling melempar pandangan kemudian menjawab, "Tidak ada ponsel, silahkan kembali," kata keduanya secara bersamaan sembari menarik pelan tubuh Avani ke belakang dan kembali menutup pintu.Mendengar jawaban kompak dari kedua pria itu, Avani hanya bisa terbengong. Ia tak percaya jika dirinya bahkan tak diizinkan untuk meminjam
Avani terus berteriak meronta-ronta saat dirinya diseret kembali ke kamar. Ia mengamuk dan terus memberontak. "Lepaskan tangan kalian!," Avani berteriak sambil mencoba melepas tangannya yang dipegang kuat oleh anak buah Rin. Ia tak ingin kembali ke kamar besar itu, ia tak ingin kembali dikurung. Hari ini, ia seharusnya terbang ke Amerika dan melakukan wawancara kerja di sana. Tapi yang terjadi, dirinya justru terjebak di tempat aneh yang sama sekali tak ia kenal. "Tunggu saja, aku bisa memasukkan kalian semua ke penjara," kata Avani mengancam. Tapi, anak buah Rin tetap tak bergeming. Mereka tetap membawa gadis bermata kecil itu kembali ke kamar dan menguncinya di dalam. "Kalian semua, keluarkan aku! Biarkan aku pulang!" teriak Avani sambil menggedor-gedor pintu. "Aaaargghhh! " Avani menghentakkan kakinya, kesal. Ia merasa begitu marah, frustrasi dan putus asa. Sebagai wanita karir yang sukses, memiliki
Kediaman Lotus Hall pagi-pagi sudah terlihat sibuk. Sederet asisten rumah tangga terlihat sudah mulai membersihkan mansion mewah itu. Semua orang sudah bangun dan sibuk bekerja, kecuali Maeera.Gadis miskin itu masih tertidur pulas di atas ranjang. Ia terlihat begitu lelah setelah semalaman bergadang menjaga kewarasannya agar tak tergoda oleh putra mahkota grup Liong, Gin Yuta.Tapi tidur lelapnya mulai terganggu saat ia merasakan sesuatu yang samar-samar berhembus di wajahnya. Sesuatu yang lembut, hangat dan harum, mirip seperti hembusan nafas.Dengan mata yang masih sepenuhnya terpejam, ia meraba-raba sekitar mencoba mencari tau apa yang mengganggu tidurnya. Tangannya berhenti saat menyentuh sesuatu yang lembut dan lembab."Apa ini?" gumam Maeera dengan mata masih terpejam.Penasaran, Maeera membuka sedikit matanya melihat apa yang ia dapatkan. Ternyata, wajah tampan tuan muda Gin. Terkejut dengan apa yang ia pegang, tangan Maeera
Maeera berjalan cepat menuju ke kamar suami palsunya, Gin Yuta. Jantungnya berdegup kencang. Ia panik dan ketakutan karena ada keluarga Gin yang datang dan memanggilnya dengan nama Avani. "Sayang, apa obatnya sudah kau temukan," tanya Gin begitu mendengar pintu kamar dibuka. "Belum, ini aku sedang mencarinya," jawab Maeera panik sambil berlari menuju ruang baca. Mendengar jawaban Maeera, Gin hanya mengangguk pelan. Tak lama pintu kembali dibuka. Seorang pria tampan memakai coat panjang berwarna hitam, berkacamata, datang sembari membawa tas kerja. Ia tampak sangat rapi dan berwibawa. Dua buah lesung pipit terlihat menghiasi wajahnya setiap kali ia tersenyum. "Pagi tuan muda ... oh kemana istrimu, aku tadi melihatnya. Tapi dia kabur begitu aku sapa," tanya pria itu dengan nada kebingungan sembari celingukan mencari keberadaan Maeera yang ia kira Avani. Gin tersenyum kecil lalu berkata,