Bersembunyi dibalik mobil Land Rover warna putih, tangan Avani gemetar memegang pistol Colt M1911A1. Ia ketakutan.
Wajah putihnya terlihat pucat pasi dengan rambut yang acak-acakan. Bagian bawah gaun pengantinnya kini sudah berubah warna dari putih menjadi cokelat kemerahan.Di tengah heningnya malam, terdengar suara langkah kaki mendekat kearahnya. Diintipnya suara itu melalui celah mobil. Terlihat seseorang memakai setelan berwarna hitam dan membawa pistol, sedang berjalan mendekat ke arahnya.Sadar dirinya dalam bahaya, detak jantung Avani meningkat pesat, tangannya makin gemetar. Ditariknya pelatuk pistol yang ia bawa, ia todongkan pistol itu ke depan dengan posisi siap menembak."Aku pasti bisa!" kata Avani dalam hati menyemangati dirinya sendiri.Benar saja, seorang pria memakai jas hitam yang sedari tadi mengendap-endap, muncul dari belakang mobil dan langsung menodongkan pistol ke arahnya. Avani yang sejak tadi sudah bersiap-siap untuk adegan ini, langsung melepas pelatuk pistolnya dan sebuah peluru melesak tepat di dada pria berjas hitam itu."Bang .... "Pria itu roboh seketika dan mati. Darah segar segera mengalir membasahi block paving.Melihat pria itu terkapar tak bergerak, Avani syok. Pistol yang ia genggam langsung ia lepaskan."Apa aku baru saja membunuh seseorang? apa aku baru saja membunuh orang?" teriak Avani histeris. Ia ketakutan."Tidak, tidak, tidak, aku bukan pembunuh. Apakah aku akan dipenjara? Apakah ini akan tertulis di curriculum vitaeku."Tidak, tidak, tidak, aku masih harus pergi ke Amerika untuk wawancara kerja besok," ucapnya sembari memegang kepalanya. Ia linglung.Rin yang tiba-tiba muncul dari arah belakang, terkejut melihat seorang pria berjas hitam tergeletak di tanah. Terlihat luka tembak di dada pria itu."Kau tak apa?" tanya Rin.Avani hanya diam, ia masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi."Jangan takut, ayo pergi!" kata Rin sembari memegang tangan Avani dan menariknya pergi."Sebentar!" kata Avani sambil menyobek bagian bawah gaun pengantinnya lalu melepas beberapa aksesori bunga di rambutnya. Ia letakkan sobekan gaun pengantin dan bunga itu di samping pria yang tertembak."Maafkan aku, semoga terlahir di tempat yang lebih baik," ucap Avani.******Rin menarik tangan Avani lalu memaksa wanita cantik itu masuk ke dalam mobil Ferrari merah yang terparkir di samping hotel."Ke mana kita akan pergi?" tanya Avani begitu pintu mobil ditutup.Rin memilih untuk tak menjawab. Ia fokus menghidupkan mobil lalu memacunya meninggalkan hotel. Ferrari merah itu kini melaju cepat menembus gelapnya malam. Meliuk-meliuk di jalanan perbukitan yang sempit.Hotel itu terletak di pinggiran kota di atas perbukitan yang berbatasan langsung dengan laut lepas. Dibutuhkan waktu lebih dari 3 jam dari hotel untuk bisa sampai ke kota."Kau mendengarku? Ke mana kita akan pergi? Aku ingin pulang!" teriak Avani. Air matanya mulai menetes, pikirannya kalut. Sebagai wanita dewasa yang terkenal tangguh dengan karir yang sukses, ini adalah kali pertama ia menangis."Apa yang sebenarnya terjadi, mengapa kalian diburu? Jangan hanya diam, aku bertanya padamu," ucap Avani dengan suara penuh emosi."Apa kau seorang penjahat? Apa kau seorang teroris? Atau jangan-jangan kau seorang mafia?""Siapapun dirimu, aku tak mengenalmu, kenapa aku harus terlibat dengan semua ini, tolong antarkan aku pulang," rengek Avani, kali ini dengan suara memelas.Kesal mendengar rengekan, Rin langsung mencengkam leher Avani dan mencekiknya dengan keras. "Diam! Tutup mulutmu, atau aku akan membunuhmu!" ancamnya sembari melepaskan cekikannya.Avani terkejut, ia tak menyangka pria tampan di sampingnya itu akan berlaku kasar padanya."Gila, gila,gila, dia hampir membunuhku! apa dia benar-benar seorang mafia?" tanya Avani dalam hati.Karena penasaran, dilihatnya pria yang duduk di sampingnya itu dalam-dalam, dicarinya jejak-jejak gangster di tubuhnya.Tiba-tiba lutut Avani terasa lemas begitu melihat semburat tato naga di belakang leher Rin. "Ternyata dia benar-benar seorang mafia!" kata Avani dalam hatiSadar dengan kenyataan yang ada, kini Avani mulai cemas dengan nasib dirinya ke depan."Apa aku akan dibunuh? Jangan-jangan aku akan dijadikan budak dan dijual? Wala-wala, aku dalam masalah besar," gumam Avani dalam hati dengan gelisah."Apa kau terbiasa membunuh orang?" tanya Avani dengan nada bicara penuh ke hati-hatian, ia tak ingin menyinggung Rin."Apa kau juga akan membunuhku karena aku bukan wanita yang seharusnya kau nikahi," tanya Avani lagi.Rin hanya diam, pandangannya tetap lurus ke depan sembari sesekali menengok kaca spion."Kencangkan sabuk pengamanmu," pinta Rin tiba-tiba.Belum sempat Avani melakukan apa yang diperintahkan, Rin sudah lebih dulu menaikkan kecepatan mobilnya hingga 120 km/jam. Ternyata, di belakang mobil mereka ada sebuah mobil SUV hitam yang sedang mengejar.Avani gelagapan, ia segera mencari pegangan untuk mengamankan posisi duduknya. "Uh ... aku ingin muntah," batinnya dalam hati.Kedua mobil saling berkejar-kejaran. Meliuk-meliuk di jalanan sempit perbukitan. "Desing ... " terdengar suara peluru membentur velg mobil. Mobil SUV hitam di belakang ternyata menembaki mobil Ferrari yang ia naiki. Rin menambah laju kecepatan mobilnya, ia tak ingin mobil SUV di belakangnya berhasil menyusul."Ambilkan pistol di dashboard," pinta Rin pada Avani."Cepat!" bentak Rin.Mendengar perkataan Rin, Avani buru-buru membuka laci dashboard dan berhasil menemukan sebuah pistol semi otomatis Glock 17."Ini ... " kata Avani sembari menyerahkan pistol pada Rin."Kau bisa menyetir?" tanya Rin."Bisa, kenapa?" jawab Avani."Kendalikan mobil ini," perintah Rin.Tak berani membantah, Avani hanya bisa menuruti perintah Rin. Ia melepas sabuk pengamannya kemudian mengganti posisi duduknya ke seat pengemudi.Meski sulit untuk berganti posisi saat mobil sedang melaju kencang, namun berkat kepiawaian Rin mengemudi, Avani berhasil berganti posisi dan mobil tetap melaju dengan aman.Begitu duduk di kursi penumpang, Rin segera menata pistolnya, mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil dan mulai menembaki mobil SUV di belakang."Desing ... desing ... " bunyi peluru beradu dengan bodi mobil."Turunkan kecepatan," perintah Rin. Avani segera menurunkan kecepatan mobil dari 120 km/jam menjadi 100 km/jam"Perhatikan jalannya," kata Rin saat mobil mulai menyerempet tebing di sisi kiri jalan begitu kecepatan mobil diturunkan.Setelah kecepatan diturunkan jarak antara kedua mobil kini semakin dekat. Mengambil kesempatan ini, Rin segera menembak ban depan mobil SUV sehingga mobil hitam itu kehilangan kendali.Tapi malang, Avani yang tak terbiasa berkendara di jalan perbukitan yang sempit dan berkelok, tak sadar jika dari arah berlawanan muncul sebuah mobil box dengan kecepatan tinggi."Blzrrr ... " Mobil box itu menghidupkan lampu jauh sebagai peringatan begitu melihat mobil Avani muncul tiba-tiba dari belokan.Terkejut dengan kehadiran mobil box di depannya, Avani segera membanting setir ke arah kanan, menabrak pembatas jalan dan berakhir di tepi tebing curam di pinggir laut."Crashhh ... " bunyi mobil menabrak pembatas jalan dan meluncur ke tebing.
Terlihat, sebagian besar bodi mobil sudah menggantung di tepi tebing siap terjatuh. Hanya tinggal roda bagian belakangnya saja yang masih tersangkut di bebatuan yang membuat mobil merah itu tak langsung terjun ke laut.Di dalam mobil, Avani tegang mematung, bernafas pun ia tahan. Ia tak berani bergerak, karena satu gerakan saja bisa membuat mobil itu meluncur ke bawah dan terjun bebas ke laut."Lepaskan sabuk pengamanmu," pinta Rin."Aku tak berani bergerak," jawab Avani dengan posisi tetap mematung. Tangannya memegang setir mobil sedangkan kakinya menginjak rem dan gas."Biar kulakukan," kata Rin sembari mendekat pelan ke kursi pengemudi. Setiap gerakan kecil Rin, membuat mobil semakin tak seimbang."Krrkrrr ... " terdengar suara bebatuan yang bergeser."Apa kita akan mati?" tanya Avani dengan posisi tetap mematung."Tidak," jawab Rin singkat sembari melepaskan sabuk pengaman Avani"Jika selamat, apa kau akan membunuhku?" tanya Avani lagi.Rin tersenyum sembari melirik bekas cekikan tangannya di leher Avani. "Mana mungkin aku membunuhmu, kau adalah istriku," jawab Rin sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Avani. "Kau tau, aku sangat mencintaimu," ucap Rin sembari mencium bibir Avani.Terkejut, Avani tanpa sengaja menginjak pedal gas yang membuat mobil bergerak kehilangan keseimbangan dan langsung terjun ke laut."Byurrr ... " Mobil itu jatuh ke laut.'Nuuutttttt .... ' suara ponsel berdering memanggil. Tak lama panggilan itu tersambung. "Halo asisten Eri! Apa kau sudah mengurus berkas tanah dan rumah di desa yang kuberikan padamu," tanya Gin pada asistennya itu melalui sambungan telepon. Maeera seketika terperanjat mendengar kata rumah dan tanah di desa. Ia sangat yakin jika yang dibicarakan Gin Yuta dan asisten Eri adalah rumah dan tanahnya di desa. Pria gila itu pasti melakukan ini untuk memberikan tekanan padanya.Sadar rumah dan tanahnya tak lagi aman, Maeera buru-buru menyela pembicaraan Gin Yuta dengan asisten Eri untuk menenangkan keadaan. "Aku tak memiliki hubungan apa pun dengan adik tirimu, sungguh!!!" ucap Maeera dengan suara bergetar. Ia mencoba meyakinkan Gin Yuta bahwa ia benar-benar tak memiliki hubungan apa pun dengan Kai Yuta. Gin berheti berbicara, menutupi separuh teleponnya dengan tangannya, lalu menoleh ke arah Maeera dengan tatapan kecewa. . "Kau bahkan masih terus berbohong. Seberharga itukah hubungan
Setibanya di mansion.Gin menggenggam erat pergelangan tangan Maeera, menarik paksa gadis itu keluar dari dalam mobil, lalu menggelandangnya masuk ke dalam mansion. "Pulangkan semua orang di mansion kecuali penjaga!!" seru Gin pada asisten Eri yang berjalan mengekor di belakangnya dengan wajah penuh kekhawatiran. "Memulangkan mereka semua??" tanya asisten Eri mencoba mengulang perintah bosnya. Gin menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya ke belakang, menatap asistennya itu dengan wajah dingin."Apa ada masalah dengan perintahku?!!" tanya Gin Yuta dengan raut wajah tak senang. Asisten Eri terdiam. Ia bergegas menggelengkan kepala cepat. "Tidak. Tidak ada tuan. Baik akan segera saya laksanakan," jawab pria berkacamata itu. Berjalan cepat, asisten Eri meninggalkan bosnya menuju area lain dari mansion.Sementara itu, di sisi lain, Maeera, hanya bisa diam melihat perangai dingin suami palsunya.Ia tak bisa berbuat apa-apa karena merasa berada dipihak yang salah. Maeera sadar, ia te
"Berandall!!! Berani-beraninya kau menyentuh istriku!!!" umpat Gin Yuta sembari mencengkeram erat kerah baju Kai yang kini terkapar tak berdaya di depannya. Kai tersenyum tipis mengangkat salah satu sudut bibirnya, saat tahu sosok menghajarnya membabi buta itu ternyata adalah kakak tirinya, Gin Yuta.Ia menyipitkan matanya, menatap kakak tirinya yang terlihat kalap itu dengan hina. "Kenapa??!! Kenapa aku tak boleh menyentuhnya. Dia bukan istrimu, kau tahu itu," tanya Kai mencoba mempertanyakan sikap possesif kakaknya. Gin menggeram menatap tajam Kai Yuta. Giginya mengatup erat dan rapat menahan amarah yang membuncah di dada. Ia mencoba menahan emosi, tak ingin kepalan tangannya kembali melayang ke wajah saudara tirinya."Aku sudah memperingatkanmu. Jangan campuri urusanku!!" bentak Gin sembari terus mencengkeram erat kerah baju Kai Yuta. Kai tertawa lirih mendengar perkataan kakak tirinya."Aku tak pernah mencampuri urusanmu!! Aku hanya mengurusi Maeera, karena dia wanitaku!" teg
Di dalam mobil. Gin meremas lembar-lembar foto di tangannya. Foto-foto yang memperlihatkan kemesraan antara adik tirinya, Kai Yuta dan istri palsunya, Maeera, yang baru saja diberikan oleh ibu tirinya, nyonya Isihiika. Geram, wajah tampan Gin berubah menjadi garang, penuh kemarahan. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. "Jadwalkan ulang perjalananku ke Singapura!!" perintah Gin pada asisten Eri yang tengah sibuk menyetir mobil. "Tapi tuan, ini ... ??" "Jangan membantah!!" bentak Gin dengan suara keras, memotong kata-kata asisten Eri. Seketika asisten Eri langsung diam dan mengangguk pelan. "Baik tuan muda," jawab asisten Eri dengan gugup. Ini adalah kali pertama, selama lima tahun bekerja sebagai asisten pribadinya, Gin membentak dirinya dengan kasar. Melihat bagaimana reaksi bosnya, asisten Eri sangat yakin, jika pria tampan itu saat ini sedang sangat kalut dan gelisah. "Cepat cari di mana dia berada!!" perintah Gin. Ia mengambil ponsel di dalam saku jasnya dan langsun
Akhir pekan akhirnya tiba. Tuan muda pewaris grup Liong, Gin Yuta, terlihat sudah berpakaian rapi, memakai setelan jas berwarna hitam, berkacamata. Ia berdiri tegak di samping sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di depan mansion Lotus Hall. Pintu mobil sudah terbuka, dengan seorang pria berdiri memegangi pintunya. Disamping Gin, berdiri Maeera, yang terlihat masih kumal dan acak-acakan. Gadis itu, terlihat seperti baru bangun tidur dan langsung di seret ke luar untuk berpamitan dengan suaminya. Lebih tepatnya, suami palsunya, yang hendak pergi dinas ke Singapura. "Aku akan pergi selama beberapa hari. Kau! Jangan pergi kemana pun dan jangan buat masalah apa pun selama aku pergi. Mengerti!!!" gertak Rin Gin dengan nada setengah mengancam, pada Maeera yang berdiri di sampingnya. "Hemmm ... Aku mengerti. Kau tak perlu khawatir!" ucap Maeera asal-asalan sembari menggaruk-garuk pelan rambutnya yang masih acak-acakan. Ia terlihat malas mendengar omelan suami palsunya di pagi-pagi
Avani terbangun.Bau harum masakan yang menusuk-nusuk hidungnya, membuat gadis cantik itu tak lagi bisa memejamkan mata. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia mencoba mengamati keadaan sekitar.Terkejut!! ia mendapati dirinya kini berada di sebuah ruangan kecil berukuran 3x4 meter dengan dinding batu bata merah yang belum di plester. "Di mana aku?" gumam gadis cantik itu lirih. Ia memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. "Di mana ini?" tanyanya lirih sembari mengamati keadaan sekitar dengan lebih seksama. Terlihat, ia kini berada di sebuah kamar yang cukup kecil dan sempit. Dindingnya masih berupa batu bara merah yang belum di plester, kasar dan bergelombang di sana-sini.Di sudut kamar terlihat sebuah lemari kayu tua berukuran besar dengan kaca berbentuk oval di bagian depannya. Di samping lemari, sebuah pintu yang ditutupi gorden warna merah, terlihat melambai-lambai pelan di tiup angin. Gorden itu terlihat kusam dan kotor, seperti tak pernah di cuci berminggu-ming