Share

Bab 1

NAMAKU Indri, umur 20, masih kuliah, tetapi aku sekarang hamil. Aku sudah melakukan beberapa kali tes karena tidak percaya, tetapi hasilnya selalu positif.

Aku mencurigai diriku hamil karena menstruasiku tidak kunjung muncul, dan tanda-tanda kehamilan semakin banyak. Aku jelas stres, karena aku belum menikah!

Aku sudah bilang ke Radit, pacarku, tetapi Radit tidak percaya, atau tidak mau percaya.

“Dit, kamu jangan gitu dong, ini gimana?” tanyaku ke Radit via telepon. Aku tidak bisa menghadapi ini sendiri.

“Kalau kamu memang hamil, gugurin saja!” kata Radit. Enak sekali dia ngomong, kayak ini peristiwa biasa saja.

“Radit, kamu jangan seenaknya ngomong!” aku menjadi marah. “Kamu pikir menggugurkan kandungan itu gampang, apa?”

“Ya, terserah kamu!” jawab Radit.

Aku jadi putus asa dan sedih. “Radit, please. Kamu jangan gitu dong, kamu kan yang berbuat, jadi kamu harus bertanggung jawab,” kataku menuntutnya.

Tetapi Radit malah marah juga. “Tanggung jawab apa? Memangnya aku saja yang berbuat itu sama kamu?”

“Radit! Brengsek kamu! Kamu kira aku wanita apaan?” teriakku kalap, sampai aku tidak ingat kalau aku sedang berbicara di telepon.

Telepon dimatikan oleh Radit.

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, aku tidak bisa menceritakan ini kepada orang lain. Kepada siapa? Tidak mungkin aku menceritakannya kepada ibu, apalagi bapak, atau saudaraku, atau kepada teman-temanku. Mereka tahunya aku anak baik-baik saja, anak manis, punya paras cantik dan body aduhai. Tetapi sekarang, kepada siapa aku menceritakan problemku?

Hanya satu orang di dunia ini tempat aku berani menceritakan kalau aku hamil, yaitu kepada Radit, pacarku, karena kami sama-sama melakukan perbuatan itu. Tetapi Radit tidak mau tahu, dan seenaknya menyuruhku menggugurkan kandungan, bahkan menuduhku melakukan perbuatan terkutuk itu dengan orang lain juga. Gila!

Gila, aku bisa gila sendiri kalau begini. Sudah beberapa hari aku tidak masuk kuliah karena badanku terasa tidak enak, kurang fit, atau mentalku yang tidak siap melangkahkan kaki keluar rumah, bahkan keluar dari kamarku. Aku tadinya merasa aneh, kenapa badanku terasa lemas banget, mau makan pun malas, dan perut rasanya mual. Dan kecurigaanku ternyata benar, aku hamil.

Jelas aku menyesal telah berhubungan dengan Radit, sehingga hartaku yang paling berharga dirampas olehnya. Karena putus asa, aku bahkan kemudian menikmati hubungan itu.

Waktu itu aku memang lagi hepi-hepinya karena berhasil jadian dengan Radit. Radit adalah mahasiswa idola semua perempuan di kampusku. Dia selalu ke kampus pakai mobil sendiri yang keren, selalu berkacamata hitam, dan paling handsome. Jika dicari aktor yang mirip dengannya, mungkin Paul Walker bintang Fast & Furius adalah yang mirip. Jadi semua mahasiswa rasanya tidak ada yang akan menolak jika Radit mendekatinya, bahkan menjadi bangga karena itu berarti menjadi ‘wanita terpilih’. Tentu saja yang jelek tidak akan berani mengharapkannya.

Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu berharap karena ‘mahasiswa seleb’ yang cakep-cakep masih banyak. Pergaulanku pun bukan di kalangan mahasiswa seleb itu, tetapi di kalangan ‘menengah’. Tahu sendiri kan kalau mahasiswa Fakultas Ekonomi & Bisnis termasuk golongan elit, sampai-sampai FEB itu bukan singkatan dari Fakultas Ekonomi & Bisnis lagi, tetapi menjadi ‘Fakultas Elit Banget’. Banyak mahasiswa, terutama mahasiswinya, memang dari kalangan selebritis, kalau bukan artis ya dari kalangan borjuis, sehingga bertaburanlah bintang-bintang kampus alias wanita-wanita cantik ‘berjidat licin berwajah bening’.

Ketika tanpa disangka-sangka Radit satu kelompok denganku dalam suatu tugas, kami pun lalu sering bertemu dan banyak menghabiskan waktu bersama. Dari situlah aku menjadi dekat dengan Radit, sampai suatu saat Radit menawarkan diri mengantarku pulang.

“Ah, nggak usahlah, nanti merepotkan,” kataku menolaknya, karena tidak percaya Radit mau mengantarku pulang.

“Nggak apa-apa kok, Ndri, nyantai saja,” kata Radit memaksa. “Sekalian biar aku tahu rumahmu,” desaknya.

“Emang mau apa kok perlu tahu rumahku?” tanyaku setengah bercanda.

“Biar kalau aku ngapelin kamu, aku nggak kesasar,” jawab Radit menggoda, namun membuat jantungku jadi berdebar.

“Sudahlah Ndri, kalau rejeki jangan ditolak,” timpal Erin memprovokasi. Erin adalah teman kami satu kelompok.

“Ho-oh,” sahut Fien pula. “Indri malu tapi mau itu… eh, mau tapi mau…banget!” imbuhnya yang membuat semua jadi tertawa.

Aku melihat, di antara teman cewek yang tidak mendorongku untuk menerima tawaran Radit itu hanyalah Yulia. Kelihatan kalau mukanya masam mendengar teman-teman mendorongku untuk menerima tawaran Radit. Yulia memang paling cantik, wajahnya menunjukkan dia keturunan Arab, dan badannya luar biasa semlohai --istilah Jawa Timuran untuk body yang seksi, semok montok aduhai…

Aku tahu Yulia naksir Radit, dan tentu akan merasa dikalahkan jika Radit memilih aku. Maka, untuk sedikit ‘memberi pelajaran’ kepada Yulia, aku pun mengiyakan permintaan Radit.

Ketika mobil keluar dari gerbang kampus, Radit berbelok ke kanan. Aku cepat-cepat protes. “Dit, salah! Rumahku harusnya belok ke kiri tadi…”

Radit melengos dan tertawa. “Iya, tapi kita cari-cari makan dulu ya…” katanya ringan.

Aku menjadi bingung. “Jam segini cari makan?” tanyaku heran. Ini waktunya masih sore.

“Yah, kalau gitu, minum-minum saja,” kata Radit lagi. “Yang penting, kita nggak langsung pulang. Ngapain sore-sore gini sudah pulang?”

Aku menjadi sadar, ini memang akal-akalan Radit saja. Tetapi, walaupun dengan hati berdebar, aku merasa senang juga.

“Kita mau ke mana, Dit?” tanyaku rada cemas. Aku merasa seperti diculik, tidak tahu mau dibawa ke mana.

“Tenang saja, non. Kita tidak akan ke luar kota kok,” jawabnya sembari tersenyum.

“Tapi jangan lama-lama, ya…”

“Iya, takut amat sih?”

“Aku tadi pamitnya cuman ngerjain tugas,” jawabku, karena kalau sebelum maghrib belum pulang, pasti deh ibu akan menelepon.

“Oke…”

Benar kami tidak pergi jauh, hanya ke sebuah kafe di pusat kota. Biasanya kalau aku ke daerah kafe itu hanya butuh waktu sekitar 20 menit dari rumah.

Di kafe, kami hanya memesan minuman, karena aku tidak ingin berlama-lama sehingga ibu akan telepon. Tetapi sampai azan magrib terdengar, kami masih asyik ngobrol. Radit cukup menyenangkan, suka bercanda, walaupun sering candanya itu kasar dan arogan, menyepelekan orang, bahkan menghina orang. Untunglah orang yang dihina tidak mendengar, dan aku selalu memprotesnya karena bagiku canda seperti itu sangat kelewatan.

Besoknya, Radit semakin rajin menjemput dan mengantarku pulang, walaupun bukan jadwal tugas kelompok. Kami juga jadi sering makan bersama. Di mata teman-temanku, aku sudah dianggap menjadi pacarnya Radit, padahal kami belum pernah ngobrol soal itu.

Kami baru resmi ‘jadian’ ketika di suatu malam Minggu, Radit mengajakku ke luar, lalu kami nonton di bioskop. Semula tidak ada rencana mau nonton, tetapi karena bosan ke restoran dan kafe, kami lalu parkir di mall.

“Kita nonton saja, yuk,” ajak Radit.

“Ntar kemalaman pulangnya,” protesku. Memang aku ini ‘anak rumahan’, kalau ke luar harus izin, dan ada jam malamnya.

“Habis nonton langsung pulang,” janji Radit.

Nah, di dalam bioskop itulah Radit memegang tanganku dan mencium pipiku!

Terus-terang, aku pernah mempunyai pacar sebelumnya, yaitu Hendro, namun sampai kami putus, Hendro belum pernah mencium pipiku. Jadi malam itulah pertama kali aku dicium seorang laki-laki (selain bapak dan kakakku tentunya).

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status