NAMAKU Indri, umur 20, masih kuliah, tetapi aku sekarang hamil. Aku sudah melakukan beberapa kali tes karena tidak percaya, tetapi hasilnya selalu positif.
Aku mencurigai diriku hamil karena menstruasiku tidak kunjung muncul, dan tanda-tanda kehamilan semakin banyak. Aku jelas stres, karena aku belum menikah!
Aku sudah bilang ke Radit, pacarku, tetapi Radit tidak percaya, atau tidak mau percaya.
“Dit, kamu jangan gitu dong, ini gimana?” tanyaku ke Radit via telepon. Aku tidak bisa menghadapi ini sendiri.
“Kalau kamu memang hamil, gugurin saja!” kata Radit. Enak sekali dia ngomong, kayak ini peristiwa biasa saja.
“Radit, kamu jangan seenaknya ngomong!” aku menjadi marah. “Kamu pikir menggugurkan kandungan itu gampang, apa?”
“Ya, terserah kamu!” jawab Radit.
Aku jadi putus asa dan sedih. “Radit, please. Kamu jangan gitu dong, kamu kan yang berbuat, jadi kamu harus bertanggung jawab,” kataku menuntutnya.
Tetapi Radit malah marah juga. “Tanggung jawab apa? Memangnya aku saja yang berbuat itu sama kamu?”
“Radit! Brengsek kamu! Kamu kira aku wanita apaan?” teriakku kalap, sampai aku tidak ingat kalau aku sedang berbicara di telepon.
Telepon dimatikan oleh Radit.
Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, aku tidak bisa menceritakan ini kepada orang lain. Kepada siapa? Tidak mungkin aku menceritakannya kepada ibu, apalagi bapak, atau saudaraku, atau kepada teman-temanku. Mereka tahunya aku anak baik-baik saja, anak manis, punya paras cantik dan body aduhai. Tetapi sekarang, kepada siapa aku menceritakan problemku?
Hanya satu orang di dunia ini tempat aku berani menceritakan kalau aku hamil, yaitu kepada Radit, pacarku, karena kami sama-sama melakukan perbuatan itu. Tetapi Radit tidak mau tahu, dan seenaknya menyuruhku menggugurkan kandungan, bahkan menuduhku melakukan perbuatan terkutuk itu dengan orang lain juga. Gila!
Gila, aku bisa gila sendiri kalau begini. Sudah beberapa hari aku tidak masuk kuliah karena badanku terasa tidak enak, kurang fit, atau mentalku yang tidak siap melangkahkan kaki keluar rumah, bahkan keluar dari kamarku. Aku tadinya merasa aneh, kenapa badanku terasa lemas banget, mau makan pun malas, dan perut rasanya mual. Dan kecurigaanku ternyata benar, aku hamil.
Jelas aku menyesal telah berhubungan dengan Radit, sehingga hartaku yang paling berharga dirampas olehnya. Karena putus asa, aku bahkan kemudian menikmati hubungan itu.
Waktu itu aku memang lagi hepi-hepinya karena berhasil jadian dengan Radit. Radit adalah mahasiswa idola semua perempuan di kampusku. Dia selalu ke kampus pakai mobil sendiri yang keren, selalu berkacamata hitam, dan paling handsome. Jika dicari aktor yang mirip dengannya, mungkin Paul Walker bintang Fast & Furius adalah yang mirip. Jadi semua mahasiswa rasanya tidak ada yang akan menolak jika Radit mendekatinya, bahkan menjadi bangga karena itu berarti menjadi ‘wanita terpilih’. Tentu saja yang jelek tidak akan berani mengharapkannya.
Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu berharap karena ‘mahasiswa seleb’ yang cakep-cakep masih banyak. Pergaulanku pun bukan di kalangan mahasiswa seleb itu, tetapi di kalangan ‘menengah’. Tahu sendiri kan kalau mahasiswa Fakultas Ekonomi & Bisnis termasuk golongan elit, sampai-sampai FEB itu bukan singkatan dari Fakultas Ekonomi & Bisnis lagi, tetapi menjadi ‘Fakultas Elit Banget’. Banyak mahasiswa, terutama mahasiswinya, memang dari kalangan selebritis, kalau bukan artis ya dari kalangan borjuis, sehingga bertaburanlah bintang-bintang kampus alias wanita-wanita cantik ‘berjidat licin berwajah bening’.
Ketika tanpa disangka-sangka Radit satu kelompok denganku dalam suatu tugas, kami pun lalu sering bertemu dan banyak menghabiskan waktu bersama. Dari situlah aku menjadi dekat dengan Radit, sampai suatu saat Radit menawarkan diri mengantarku pulang.
“Ah, nggak usahlah, nanti merepotkan,” kataku menolaknya, karena tidak percaya Radit mau mengantarku pulang.
“Nggak apa-apa kok, Ndri, nyantai saja,” kata Radit memaksa. “Sekalian biar aku tahu rumahmu,” desaknya.
“Emang mau apa kok perlu tahu rumahku?” tanyaku setengah bercanda.
“Biar kalau aku ngapelin kamu, aku nggak kesasar,” jawab Radit menggoda, namun membuat jantungku jadi berdebar.
“Sudahlah Ndri, kalau rejeki jangan ditolak,” timpal Erin memprovokasi. Erin adalah teman kami satu kelompok.
“Ho-oh,” sahut Fien pula. “Indri malu tapi mau itu… eh, mau tapi mau…banget!” imbuhnya yang membuat semua jadi tertawa.
Aku melihat, di antara teman cewek yang tidak mendorongku untuk menerima tawaran Radit itu hanyalah Yulia. Kelihatan kalau mukanya masam mendengar teman-teman mendorongku untuk menerima tawaran Radit. Yulia memang paling cantik, wajahnya menunjukkan dia keturunan Arab, dan badannya luar biasa semlohai --istilah Jawa Timuran untuk body yang seksi, semok montok aduhai…
Aku tahu Yulia naksir Radit, dan tentu akan merasa dikalahkan jika Radit memilih aku. Maka, untuk sedikit ‘memberi pelajaran’ kepada Yulia, aku pun mengiyakan permintaan Radit.
Ketika mobil keluar dari gerbang kampus, Radit berbelok ke kanan. Aku cepat-cepat protes. “Dit, salah! Rumahku harusnya belok ke kiri tadi…”
Radit melengos dan tertawa. “Iya, tapi kita cari-cari makan dulu ya…” katanya ringan.
Aku menjadi bingung. “Jam segini cari makan?” tanyaku heran. Ini waktunya masih sore.
“Yah, kalau gitu, minum-minum saja,” kata Radit lagi. “Yang penting, kita nggak langsung pulang. Ngapain sore-sore gini sudah pulang?”
Aku menjadi sadar, ini memang akal-akalan Radit saja. Tetapi, walaupun dengan hati berdebar, aku merasa senang juga.
“Kita mau ke mana, Dit?” tanyaku rada cemas. Aku merasa seperti diculik, tidak tahu mau dibawa ke mana.
“Tenang saja, non. Kita tidak akan ke luar kota kok,” jawabnya sembari tersenyum.
“Tapi jangan lama-lama, ya…”
“Iya, takut amat sih?”
“Aku tadi pamitnya cuman ngerjain tugas,” jawabku, karena kalau sebelum maghrib belum pulang, pasti deh ibu akan menelepon.
“Oke…”
Benar kami tidak pergi jauh, hanya ke sebuah kafe di pusat kota. Biasanya kalau aku ke daerah kafe itu hanya butuh waktu sekitar 20 menit dari rumah.
Di kafe, kami hanya memesan minuman, karena aku tidak ingin berlama-lama sehingga ibu akan telepon. Tetapi sampai azan magrib terdengar, kami masih asyik ngobrol. Radit cukup menyenangkan, suka bercanda, walaupun sering candanya itu kasar dan arogan, menyepelekan orang, bahkan menghina orang. Untunglah orang yang dihina tidak mendengar, dan aku selalu memprotesnya karena bagiku canda seperti itu sangat kelewatan.
Besoknya, Radit semakin rajin menjemput dan mengantarku pulang, walaupun bukan jadwal tugas kelompok. Kami juga jadi sering makan bersama. Di mata teman-temanku, aku sudah dianggap menjadi pacarnya Radit, padahal kami belum pernah ngobrol soal itu.
Kami baru resmi ‘jadian’ ketika di suatu malam Minggu, Radit mengajakku ke luar, lalu kami nonton di bioskop. Semula tidak ada rencana mau nonton, tetapi karena bosan ke restoran dan kafe, kami lalu parkir di mall.
“Kita nonton saja, yuk,” ajak Radit.
“Ntar kemalaman pulangnya,” protesku. Memang aku ini ‘anak rumahan’, kalau ke luar harus izin, dan ada jam malamnya.
“Habis nonton langsung pulang,” janji Radit.
Nah, di dalam bioskop itulah Radit memegang tanganku dan mencium pipiku!
Terus-terang, aku pernah mempunyai pacar sebelumnya, yaitu Hendro, namun sampai kami putus, Hendro belum pernah mencium pipiku. Jadi malam itulah pertama kali aku dicium seorang laki-laki (selain bapak dan kakakku tentunya).
SEKITAR jam 5 sore, mas Naren sampai di rumahku. “Ayo masuk, mas,” sambutku di teras menyuruhnya masuk ke rumah. “Ah, nggak usah Ndri, di sini saja,” katanya sembari melihat Bunga-bunga yang ada di taman depan rumah. Aku tertegun. Mas Naren tidak mau masuk ke rumahku?? “Masuk mas, ibu ada di dalam,” kataku. Sewajarnya menantu datang menyalami mertuanya, apalagi ibu baru mendapat musibah dan dia kemarin tidak datang menghadiri pemakaman bapak. Tetapi mas Naren tidak menghiraukan ajakanku. Kini semakin jelas, dia tidak mau masuk ke rumahku! Mas Naren baru kali ini ke rumahku. Kami sebelumnya memang tidak begitu saling kenal, dan pernikahanku dengannya terjadi begitu saja tanpa dia pernah datang meminangku, atau mengunjungiku terlebih dahulu di rumah ini. Kini, dengan sikapnya, dia menempatkanku di posisi yang sangat tidak enak. Bagaimana mungkin aku meminta ibu untuk keluar dan menemuinya di sini? Apa kata mas Pras nanti jika mel
SETELAH prosesi pemakaman bapak, aku tetap di rumah ibu untuk menemaninya. Aku merasa malas dan kecewa terhadap mas Naren dan keluarga pak Handoyo karena mereka tidak sedikit pun tampak hadir, padahal mereka terbilang keluarga dekat. Suami dan mertuaku! Malamnya mas Naren menelepon. “Indri, kapan kamu pulang?” tanyanya tanpa rasa bersalah sama sekali. Padahal, di rumah ini, di ruang depan, masih banyak orang yang melaksanakan tahlilan dan membaca Al-Qur’an karena kematian bapak. Teganya suamiku ini menanyakan kapan aku pulang! “Maaf mas, aku tidak pulang. Aku mau menemani ibu dulu. Ada acara tahlilan selama tujuh hari,” jawabku dengan malas. “Tujuh hari? Mami menanyakan kamu,” sahut mas Naren tanpa empati. “Iya,” jawabku singkat lalu mematikan telepon. Ada rasa eneg di perutku mendengar nada bicaranya itu. Tetapi kembali ponselku bergetar. Mas Naren menelepon lagi. “Indri, kamu tidak bisa tidak pulang selama itu…” Mendengar kata-kata i
DI KANTOR, aku tidak dapat fokus dengan pekerjaanku. Pikiranku terus sibuk membayangkan bagaimana reaksi papi mami nanti jika melihat kami pergi tanpa pamit. ‘Tidak mungkin. Itu tidak mungkin dilakukan!’ bantahku sendiri dalam hati. Tetapi, jika kami tidak jadi pergi, alangkah bahagianya nanti Radit menertawakan kami. Tiba-tiba ponselku berbunyi, ada telepon dari ibu. “Indri…” terdengar suara ibu memanggilku, tetapi nadanya sangat berduka. Kayaknya ibu menangis. “Iya bu. Ibu kenapa?” tanyaku cemas. Firasatku langsung menjadi tak enak. “Bapak… Ndri… bapak…” “Iya… Bapak kenapa bu?” aku menjadi panik. “Bapak kecelakaan… Ndri… bapak… meninggal…” Astaghfirullah! Seketika aku merasa seperti jiwaku melayang. “Ibu… bapak di mana??” teriakku kacau. “Indri… kamu pulang, nduk…” sayup ibu berkata dan suaranya kemudian menghilang. Mungkin ibu pingsan. Aku segera menelepon mas Naren. “Mas, bapak meninggal, kec
“TIDAK bisa!” teriak Radit. Aku menoleh sambil tersenyum mengejeknya. “Mengapa tidak bisa? Sudah lumrah kalau pengantin baru berbulan madu.” “Tetapi kalian bukan pengantin!” “Kamu sendiri ikut menyaksikan pernikahan kami.” “Tetapi…” Radit menatap mas Naren penuh dendam. “Kamu tidak bisa melakukan itu!” geramnya. Namun sesaat kemudian, Radit malah tersenyum.”Oh, begitu cara kalian! Coba saja kamu lakukan, culun! Kamu akan menyesal!” Radit terang-terangan menyebut mas Naren sebagai culun. Mas Naren sendiri hanya diam dan tidak berusaha untuk bicara. Aku kasihan kepadanya. Mengapa Radit begitu songong kepada kakaknya? Apakah dia sudah tahu kalau mas Naren hanyalah seorang anak pungut, sehingga dia bisa meremehkannya? “Ehmm…” terdengar papi berdehem hendak bicara. “Naren, bukankah di kantor sekarang lagi banyak pekerjaan? Kita masih harus menemui orang-orang pemda untuk memuluskan pembebasan lahan yang sekarang seda
MAS NAREN tidak meneruskan kata-katanya. Aku pun tidak ingin mendesaknya. Biarlah dia menenangkan hatinya terlebih dahulu.“Ayo kita tidur…” kata mas Naren akhirnya.Aku bingung. Orang di depanku ini sungguh aneh. Baru saja dia membuka persoalan, namun belum selesai, dia malah mengajak untuk tidur.“Mas, teruskan dulu kata-katamu tadi,” pintaku penasaran.Mas Naren malah tersenyum. “Sudahlah Indri, sudah malam. Ayo kita tidur. Besok kamu masuk kerja, kan?”“Tidak, kamu teruskan dulu kata-katamu. Tetapi… apa?”“Indri…”Sifat keras kepalaku muncul. “Kalau gitu, aku turun. Tidur di bawah!”“Eh…” mas Naren menarik tanganku sehingga aku terdorong ke depan dan menimpanya di atas tempat tidur. Dengan sigap mas Naren menggulingkanku sehingga dia menjadi di atas badanku. Dengan posisi itu dia jadi leluasa memeluk dan menciumik
JIKA menuruti perasaan hati ingin membalas kesombongan Radit, aku akan langsung berkata ‘Ya, lebih baik begitu, dan aku terbebas dari kalian!’Tetapi aku tidak boleh terbawa emosi karena kelakuan Radit. Kesadaranku masih mengingatkanku bahwa selain Radit, anggota keluarga pak Handoyo ini semua baik kepadaku. Mas Naren pun sudah mulai berubah. Pak Handoyo dan mami Rita bahkan sedang menunggu cucunya dalam kandunganku ini. Pasti mereka akan sangat menyayanginya mengingat sulitnya mereka mendapatkan keturunan, seperti yang diceritakan mas Naren.Jadi persoalan sebenarnya hanya pada Radit. Oke, aku akan membalasnya dengan cara yang lain!Aku tersenyum. Aku melihat Radit melongo melihat senyumku.“Boleh saya tebak, kenapa kamu ingin melakukannya, tuan Radit?”Radit diam, kelihatan menunggu lanjutan kata-kataku.“Kamu sekarang cemburu kepada mas Naren, kan? Karena aku menjadi istri mas Naren, dan tidak bisa menjadi ke