Share

Bab 2

SEBENARNYA tidak ada prosesi menjadi pacar yang resmi antara aku dan Radit, namun sejak peristiwa mesra dalam bioskop itu, aku dan Radit jadi sering berciuman. Bukan hanya cium pipi, tetapi juga ciuman bibir yang menggelora. Radit suka banget mencium dan memelukku dengan erat jika ada kesempatan tidak dilihat orang.

Kami melalui hari-hari dengan bahagia, sehingga teman-temanku sudah menganggap kami resmi berpacaran. Kami sering keluar bersama, dan makin sering nonton di bioskop karena kesempatan itu selalu digunakan untuk berciuman.

Aku menjadi semakin tahu kebiasaan Radit. Dia nafsunya besar, dan sudah ngajak-ngajak nginap di hotel. Katanya, biar kalau berciuman tidak takut kelihatan orang. Padahal aku tahu maksudnya, tetapi aku selalu menolak karena kami belum menikah.

Radit suka meraba-raba bagian tubuhku, membuat aku jadi terangsang. Dia selalu menjamah payudara, padahal itu bagian paling sensitif yang membuat aku bangkit birahi. Kalau sudah begitu aku akan mendorongnya atau melepaskan diri, takut ketahuan orang, apalagi aku juga jadi pusing.

Kadang-kadang Radit ‘ngambek’, tidak mau ketemu aku.

Pernah suatu kali, Radit dengan sengaja bercanda dengan Yulia di depanku. Jelas aku marah dan langsung pergi. Aku tahu, dia sengaja membuat aku cemburu.

Ketika kami kemudian bertemu, dia malah menyalahkanku karena pergi dan tidak menemuinya.

“Lah, kan kamu sama Yulia!” jawabku ketus.

“Aku kan hanya ngobrol dengannya,” kilah Radit.

“Terserah, bukan urusanku!”

“Kamu marah? Cemburu?”

“Masa bodoh!”

“Aduh, Indri. Masak begitu saja cemburu?” kata Radit sambil berusaha menciumku.

Tentu saja aku menghindar. Gila, masak di tempat umum mau nyosor saja. Mau bikin aku malu, apa?

Pernah juga suatu kali aku melihatnya mengajak Fani naik mobilnya. Radit tidak melihatku. Aku diberitahu Fien kalau Radit lagi bersama Fani, teman kampus kami juga. Berdua dengan Fien kami mengikuti Radit dan Fani ke tempat parkir, dan melihat mereka naik ke mobil dan pergi. Aku lalu menelepon Radit, tetapi direjek!

Mungkin waktu itu semingguan kami tidak kontak. Aku malas, marah, putus asa. Sudahlah, terserah dia mau jalan sama siapa. Aku berpikir untuk mengakhiri saja hubungan kami. Radit terlalu tinggi untukku, aku tidak bisa mengikat dia dengan kesahajaanku.

Aku juga malu kepada teman-temanku, karena nasibku seperti mengantri untuk bisa bersama Radit. Radit memang super star, sedangkan aku bukan siapa-siapa. Radit ditunggu oleh banyak perempuan, sedangkan aku hanya bisa melihat dan menyaksikannya dengan perasaan tidak berdaya.

Tetapi Radit masih selalu menemuiku, membujuk dan merayuku agar menerimanya kembali.

“Ngapain kamu mencari aku lagi? Bukankah sudah ada si Fani?”

“Indri, kamu jangan gitu dong. Aku sama Fani itu tidak ada apa-apa. Aku hanya mengantar dia menemui pak Hermawan, dosen Akuntansi,” kata Radit berkilah.

“Aku malu, Radit, sama teman-teman. Aku ini seperti salah satu wanita yang mengantri untuk kamu pacari. Aku nggak mau, mending kamu nggak usah menemui aku lagi,” kataku sewot.

“Indri, sayang… kamu jangan marah ya,” kembali Radit merajuk, dan kembali pula aku menerimanya.

Apalagi, dengan wajah tampannya itu, kalau dia membujukku, aku menjadi ‘lumer’. Dia seperti anak nakal saja, dan kita cenderung memaklumi kalau anak yang tampan dan cerdas itu nakal.

Lalu peristiwa terkutuk itu pun terjadi.

Waktu itu aku akan berulang tahun. Teman-teman sudah heboh ingin mengadakan macam-macam acara, sehingga menjadi pembicaraan di kelas --kalau pas dosen nggak ada atau lagi menunggu kuliah dimulai.

“Indri, kita ke Balekambang saja. Sudah lama nggak main ke pantai, nih…” usul Fien.

“Ah, jauh banget,” timpal Erin. “Kita ke Songgoriti saja, sekalian berenang.”

“Terserah kalian lah,” kataku tidak ambil pusing. “Tapi bayar sendiri ya…” imbuhku sambil ketawa.

“Yaa… nggak seru!” teriak teman-teman kompak. Sudah menjadi kebiasaan kami ‘menodong’ teman yang berulang tahun untuk mentraktir.

“Lho aku nggak punya modal, rek,” jawabku.

“Kan ada mas Radit…” tukas Erin.

“Lah siapa itu?” aku pura-pura bertanya. “Apa urusannya?”

“Huh, sombongnyaa…” timpal si Fien.

Ternyata, Radit menyetujui. Entah siapa yang bilang ke Radit, teman-temanku malah dikasih uang yang cukup banyak untuk biaya piknik ke Songgoriti.

Songgoriti adalah sebuah tempat wisata yang terletak antara kota Malang dan kota Batu. Salah satu fasilitas yang terkenal adalah pemandian air panas dan kolam renangnya. Namun di wilayah Songgoriti juga banyak terdapat villa dan homestay, karena hawanya yang sejuk dan pemandangan alamnya yang asri.

Hari Minggu kami berlima, cewek semua, ke Songgoriti, diantar oleh saudaranya Erin. Sebenarnya hari ulang tahunku masih besok Senin, tetapi besok kami ada kuliah.

Di Songgoriti kami benar-benar menikmati suasana gembira nan bebas merdeka. Semua mengenakan pakaian renang ketika berenang maupun berendam di kolam air panas, jadi kami bisa melihat dan membandingkan ukuran body masing-masing. Hal ini menjadi bahan canda yang tidak ada habis-habisnya.

Setelah capek berenang dan berendam, kami menikmati aneka kuliner yang banyak tersedia di sekitar lokasi, lalu berjalan-jalan melihat berbagai peninggalan sejarah yang ada di Songgoriti, seperti Candi Songgoriti, peninggalan kerajaan Singosari.

Sore harinya, ketika kami akan pulang, ternyata Radit datang menyusul.

“Cie… pangeran datang menjemput putri rupanya,” goda teman-temanku, membuat aku jadi tersipu malu.

“Kamu… ngapain nyusul ke sini?” tegurku ke Radit, merasa tidak enak dengan teman-teman. Soalnya, aku akan terpisah dengan teman-temanku.

“Halah… pakai ditanya segala, Ndri,” celetuk Fien. “Sudah kangen, kali…” sahut yang lain.

Radit hanya mesam-mesem saja. “Sorry ya, para bidadari. Salah satunya aku culik ya…” katanya malah membuat pengumuman.

“Haha… baru kali ini ada penculik minta ijin,” sahut salah seorang temanku.

Mau tidak mau aku jadi ikut Radit pulangnya, sementara teman-temanku pulang dengan kendaraan yang mengantar tadi.

“Dit, aku jadi nggak enak sama teman-teman,” protesku ke Radit.

“Aku kan sudah minta ijin tadi,” kilah Radit.

“Lagian, pakai acara jemput segala…”

“Hmm… ada yang mau aku tunjukkan,” kata Radit.

“Apa?”

“Tenang saja, nanti kamu lihat sendiri,” jawab Radit sambil mengarahkan mobilnya bukan ke arah kota Malang, tetapi malah naik ke arah kota Batu.

“Kok malah naik?” tanyaku heran.

“Iya, tempatnya di atas,” jawab Radit. Entah kenapa, jawaban Radit yang berteka-teki ini membuat hatiku menjadi tidak tenang.

“Emang kita mau ke mana?” tanyaku bertambah penasaran.

Tiba-tiba mobil Radit berbelok, keluar dari jalan raya dan memasuki jalanan yang lebih kecil. “Tidak jauh kok, masih wilayah Songgoriti juga,” katanya.

Ternyata, seperti terlintas dalam pikiranku, kami tiba di sebuah villa.

“Ngapain ke sini, Dit?”

Tetapi Radit tidak menjawab pertanyaanku. Setelah memarkir mobil, dia lalu turun. “Ayok,” ajaknya memaksa.

Dengan hati yang masih penuh tanda tanya, aku turun juga dari mobil. Kami memasuki villa yang hanya ditunggui oleh seorang bapak yang kemudian pergi setelah membukakan pintu bagi kami.

Setelah menutup pintu, Radit lalu meraihku dan memelukku.

“Selamat ulang tahun, sayang…” katanya lalu mencium bibirku dengan lahapnya, sampai-sampai aku tidak bisa bernapas.

Aku mendorongnya dan melepaskan diri. “Apa-apaan sih, Dit?”

Radit tertawa. “Aku bahagia di hari ulang tahunmu, apakah salah?”

“Ulang tahunku besok!” jawabku ketus.

“Tetapi kita merayakannya sekarang, bukan?”

Aku tidak ingin berdebat dengan Radit, percuma, jadi aku diam saja. Aku lalu duduk di sofa yang ada di ruang tamu villa itu, menunggu penjelasan Radit.

“Tadi kamu bilang mau menunjukkan sesuatu padaku, mana?”

Radit mendatangiku dan duduk di sampingku, lalu tangannya meraih tanganku. “Aku ingin menunjukkan villa ini,” katanya sambil tersenyum. “Villa ini punya kita!”

“Oh gitu, sekarang aku sudah melihatnya. Ayo kita pulang,” kataku sambil bangkit berdiri.

“Malam ini, kita nginap di sini, sayang…” jawab Radit sambil menarik tanganku sehingga aku kembali duduk di sofa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status