Albe dan Viran segera menjalankan misi mencari penolongnya. Mobil Viran menjadi trasportasi kali ini karena mobil Albe masih dalam perbaikan.
“Lo naik busway aja bro, enak dari apartemen lo sekali doang.” Viran memberi saran Albe, Albe walau orang kaya namun paling benci jika harus menggunakan taxi, alasannya malas berduaaan dengan cowok. Nah ini dengan Viran bukannya cowok.
“Aku pertimbangkan, aku malas mendengarkan curhatan pengemudi jika menggunakan taxi.” Viran tertawa terbahak.
“Gak usah lo dengerin, pura-pura aja ngorok, pasti diem.”
“Aku tidak pandai berpura-pura, tidak seperti kamu.” Albe mencibir kelakuan Viran. Namun, sang empunya hanya mendengus.
“Nanti pakai kartu gue, gue ada banyak.” Albe hanya mengacungkan jempol.
Tiba di jalan yang di sebutkan bapak ojek, Viran melajukan mobilnya pelan, mencari rumah dengan nomor 80. Hingga sampai ujung jalan dan sudah berganti nama jalan, mereka tidak menemukan angka 80 pada masing masing rumah. Viran memutar balikkan mobil, Kembali mengecek nomor rumah yang tertera. Namun hasilnya tetap nihil, rumah setan apa Viran membatin
“Gak ada no 80, jangan2 setan Al” Viran berlagak merinding.
“Kalau setan mana mungkin yang melihat banyak. Perawat di dalam ambulans juga bilang yang mengantarkan aku Wanita. Wanita Ran, dan kakinya menginjak tanah memakai sepatu.” Viran tertawa tanpa henti, menikmati wajah kesal teman sekaligus koleganya ini.
“Coba kita turun, kita tanya ibu ibu yang sedang ghibahin tetangga mereka.” Viran menunjuk sekelompok ibu-ibu yang sedang mengerumuni tukang siomay. Albe berdecik malas, namun tetap keluar juga.
“Selamat siang Ibu …” Albe menyapa dengan takut takut.
“Siang Mister bule, waduh ganteng banget, ya,” seorang ibu dengan daster kebesaran mendekati Albe.
“Bisa minta foto mister?” sela ibu yang lain Albe hanya meringis sungkan.
“Mister turis kesasar ape?” Seorang ibu bertanya dengan logat Betawinya
“Maaf ibu saya disini mau mencari seorang Wanita, Namanya Naima apakah ibu ibu ada yang mengenal?” Albe mencoba mempercepat misisnya, tak betah dia belama lama di sini.
Albe mencoba bersabar, Viran yang berdiri di sisi mobil tertawa hingga menelungkupkan badannya di mobil. Benar benar teman tidak pengertian, Albe mengumpat dalam hati.“Sepertinya gak ada mister, mungkin yang rumahnya gedong-gedong itu." Si ibu menunjuk rumah bagian depan, Albe menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kok gak nyari saya saja mister.” Ibu dengan dandanan menor mencoba menggapai tangan Albe, Albe berjengit mundur.“Heh elu ini misternya takut tu, jangan jangan acara prank youtuber youtuber.” Suasana tambah tidak kondusif, Albe segera berlari menjauh, dan masuk mobil dengan cepat. Mengerikan sekali ibu ibu itu.
“Ya ampun bro, lo tu lucu banget ngalahin srimulat ... hahahahaha”
“Kamu sebagai pengacara saya malah tidak memberikan pertolongan.” Albe terlihat kesal, misi kali ini Failed.
“Sabar bro, sorry, jarang jarang gue lihat komedi langsung.” Viran melajukan mobilnya, masih dengan kikikan gelinya.
“Gue anter kemana? " Setelah lumayan jauh dari daerah Hj. Syukur Viran bertanya kepada Albe.
“Ke Café saja, besok aku meminta Jaka saja yang menemani. Ditemani pengacara malah tidak beres.” Albe masih tidak bisa terima.
“Ok. Maaf bro sebagai gantinya tuh ambil tiket pass naik busway, semua bawa aja.” Albe mengambil kartu dengan logo beberapa bank pemerintah.
“Kamu jangan lupa kasus yang tadi, cari tahu siapa backingan mereka.” Albe melanjutkan. Viran memberi tanda hormat.
Setelah masuk ke Café, Albe Kembali merebahkan diri. Badannya belum terlalu fit namun rasa penasaran akan perempuan penolongnya membuatnya harus menahan kondisi tubuh.
Di lain tempat, Naima menyantap mie ayam di pinggir jalan, setelah dari Café Kita, kemudian melanjutkaan mencari lowongan. Ternyata banyak sekali restoran di daerah ini. Dan lebih senangnya lagi dengan busway hanya 1 kali naik saja.Naima melamar di beberapa tempat, entah yang menjadi rezekinya yang mana. Namun, usaha harus maksimal, ia akan tetap mencoba peruntungannya di kota metropolitas itu.
Hari sudah mulai sore, setelah menyelesaikan makanannya Naima segera mencari shuttle terdekat. Tak lama bus dengan tujuan kostnya datang. Naima segera masuk, menempelkan kartu yang sudah dia beli tadi di shuttle pertama tadi pagi. Gadis cantik itu hanya perlu top up esok jika saldo sudah habis, melewati Café Kita Naima memperhatikan bangunan megah tersebut. Ada harap yang ia rapalkan. Ternyata tidak jauh juga ada pemberhentian busway, dalam hati naima berdoa semoga secepatnya di beri kepastian.
Sesosok pria tinggi memakai topi masuk dan menempelkan kartunya, namun sepertinya tidak berfungsi. Petugas membantu mengecek, ternyata saldo kartunya tidak mencukup. Ganteng sih masa ga punya uang, Naima memperhatikan. Petugas memberi solusi untuk mengisi manual, sang pria sibuk mencari ke semua saku celananya. Apakah orang ini kecopetan? Untungnya bus dalam keadaan lengang. Naima menepuk pundak pria didepanya yang masih kebingungan.
“Silahkan pakai punya saya.” Naima menyerahkan kepada petugas dan di terima dengan senang hati.
“Terima kasih, saya baru sekali naik busway. Dompet saya tertinggal di tempat kerja.” Pria asing yang terlihat frustasi itu mengucapkan dengan sungkan, tak pernah dalam hidupnya dipermalukan seperti itu.
Naima meperhatikan dengan seksama, seperti pernah melihat wajah yang terlihat pucat itu. Akan tetapi ia ragu, benar pernah melihat atau hanya dejavu.
“Tidak apa-apa, santai saja.” Naima menyimpan kartunya lagi. Sang pria duduk tepat di seberangnya. Menatap dengan pandangan terima kasih, gadis dengan rambut panjang itu hanya tersenyum canggung. Merasa kasihan kalau pria asing itu tidak mempunyai uang.
“Apakah membutuhkan sesuatu lagi?” Naima mencoba bertanya.
“No thanks,” jawabnya singkat, Naima hanya mengangguk.
Naima turun di 2 shuttle berikutnya. Dia merasa ada yang menatap saat berdiri, ia mencoba mengabaikan. Gadis itu segera turun tanpa menyapa pria asing tadi. Jalan menuju indekost ternyata ramai jika sore hari, banyak pedagang menjajakan dagangannya. Naima segera membersihkan diri dan mengistirahatkan badan. Kaki yang pegal berkeliling hampir sepanjang jalan tak ia hiraukan, berniat mengistirahatkan setelah ini.
Tiga hari berlalu, tapi belum ada satupun panggilan. Ia memutuskan hari ini untuk mencari lowongan ke lokasi lain.
Berjalan menelusuri trotoar lebar dengan pemandangan gedung tinggi yang menjulang, angin pengap dan panas karena polusi mengerbangkan rambut Naima yang ia biarkan teruai. Seperti burung yang lepas dan bebas Naima berpetualang. Menjelajahi setiap sudut kota berharap lebih mengenal kota ini, walau sendiri tanpa ada yang Naima kenal disini.
Naima duduk sambil menikmati minuman yang dia beli, bersantai di bangku di sebuah taman kota. Menikmati angin yang berembus sepoi-sepoi. Tiba-tiba ponselnya bergetar, ia keluarkan benda pipih itu dari dalam tas mungilnya.
"Assalamu'alaikum, selamat siang." Naima menyapa melihat nomor yang tidak dia kenal, namun kode area jakarta tertera di depannya.
"W*'alaikumsalam. Apakah benar ini dengan Kakak Naima Ayundia?" Naima berdehem menetralkan kegugupannya.
"Iya benar kak."
"Baik, Kakak bisa besok bersedia datang ke Cafe Kita pada pukul 8 pagi?"
"Bisa kak bisa" Naima menjawab dengan bersemangat.
"Baik, besok silahkan datang dengan kemeja putih dan celana bahan hitam ya kak sepatu heels maksimal lima cm dengan rambut di cepol rapi. Apakah ada yang ditanyakan?"
"Sepertinya sudah cukup jelas, Kak."
"Baik, kalau begitu terima kasih atas waktunya. Kami tunggu kedatangannya. Selamat siang."
Rasanya Naima ingin sujud syukur sekarang juga, namun Naima tersadar dia berada di taman kota. Dia berfikir apa yang tidak dia punya untuk besok? Sepatu dengan heels? Mengingat ia tak memiliki semuanya, maka ia berencana berbelanja.Naima berinisiatif memasuki Mall yang tidak jauh dari taman yang dia datangi, mencari referensi untuk kehadiran besok. Wanita itu mengamati pelayan di bagian footcourt. Model sepatu yang mereka kenakan dan bentuk cepol atau tatanan rambut mereka.
Naima terkikik geli. Hidup di desa dan jarang masuk Mall tidak membuatnya seperti gadis udik. Rasa penasaran yang tinggi dan jiwa pekerja kerasnya melarang untuk abai terhadap perkembangan jaman. Walaupun bukan tipe terbaru, ponsel yang ia miliki cukup untuk menyimpan beberapa aplikasi yang dia anggap penting. Sosial media juga perlu untuk saat ini, berita dan informasi lebih up to date melalui lama itu.
Naima memang bukan dari keluarga berada, namun Almarhum kedua orang tuanya adalah orang yang modern. Menginginkan anak mereka menjadi pribadi yang mandiri dan mau bekerja keras dan tidak menutup mata pada perkembangan teknologi. Naima memang gadis kampung namun dia tidak lemah.
Mengunjungi stand sepatu, Naima memilih yang sesuai dengan seleranya dan juga harga yang masih ramah di kantongnya. Dia harus berhemat, tabungan peninggalan orang tuanya tidak banyak. Tidak bijak menghambur hamburkan untuk kondisinya saat ini.
Apa ia siap untuk hidup yang lebih baik?
Mentari pagi mengintip dari tirai tipis berwarna merah muda, sang gadis dengan rambut terurai di bantal tipis mulai membuka dua kelopak mata dengan netra coklat gelap. Suara keramaian pagi menyadarkan dari tidurnya. melirik ke arah jam di dinding kamarnya Naima segera beranjak, mempersiapkan diri untuk kegiatan pagi ini. Seporsi nasi uduk dengan semur tahu dan bala bala sebagai menu sarapan paginya, sarapan yang murah meriah di temani segelas teh hangat. Naima bersyukur untuk nikmat yang tuhan beri, tidak perlu mewah namun mengenyangkan. Setelah selesai, Naima bergegas menjemput peruntungannya. Semoga kebrtuntungan memang memihak kepada dirinya. Suasana pagi yang padat, begitupun jalan menuju Cafe Kita, padat merayap. Sempat terbersit rasa takut jika terlambat. Naima salah memperhitungkan waktu, hari kerja berbeda dengan hari libur. Naima melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya setengah delapan sudah terlewati. Naima berdoa dalam hati pekerjaan ini masih menj
Netra yang saling mengunci dalam berpandangan, jemari tangan yang terpaut, gemuruh yang bertalu diantara Naima dan Albe tak dapat dijabarkan dengan kata. Entah apa, seperti dua insan yang menanti begitu lama untuk sebuah pertemuan. Mereka tidak saling mengenal, tidak saling tahu. Hanya takdir yang membawa mereka pada garis waktu. "Ehhemmm, " Keduanya saling canggung, melepaskan tangan dengan enggan. "Saya tak menyangka, bisa kebetulan seperti ini," ucap Albe, masih sangat shock dengan kebetulan yang dia alami. Menggigit bibir sambil berpikir, harus bagaimana membalas pertolongan gadis rupawan di hadapannya. "Saya juga, saya pikir sesuatu yang buruk akan terjadi. Maaf saya meninggalkan anda dalam keadaan belum sadar," kata Naima tak tahu harus bersikap bagaimana. Biasanya dia akan santai, namun lelaki asing di hadapannya membuat ia salah tingkah. Malu karena menolong dengan setengah-setengah. "Oh tidak apa-apa, saya baik-baik saja. Tidak perlu ada yang harus disesalkan. Saya memang
Hidup tidak akan selalu mulus, dan berjalan sesuai dengan apa yang kita mau. Seperti halnya roda yang berputar, jika kita mengayuh dengan kekuatan penuh akan cepat naik, tapi akan cepat turun pula. Kayuhlah sesuai kemampuanmu tidak usah ngoyo atau berlebihan. Seperti pekerjaan, jika kamu melakukan dengan sungguh-sungguh niat yang baik dan ikhlas inshaallah akan berkah. Naima berjalan menyusuri trotoar menuju tempat kerjanya, hari ini pertama kali Naima merasa sangat ceroboh. Dari bangun yang sedikit lambat dari biasa, hingga tidak sempat sarapan. Juga Naima turun di satu shuttle lebih jauh dari yang seharusnya dia turun. Naima berjalan dengan langkah lebar dan terburu-buru. Rambutnya yang belum sempat dia cepol melambai-lambai seiring dengan langkah kaki yang memburu. Sabtu pagi jalanan tidak terlalu padat, IA sedikit berlari saat sudah mendekati tempatnya bekerja. Bulir-bulir keringat sebesar jagung menghiasai dahi. Naima berlari menyebrang, tapi nahas, dari arah yang s
Membosankan, satu kata yang Naima rasakan karena seharian ini hanya merebahkan diri di kasur mungilnya. Naima melongokkan kepalanya ke tralis jendela, melihat aktivitas jalan yang sedikit ramai dengan anak kecil yang bermain dan ibu ibu yang berkumpul, bersenda gurau, sambil menikmati jajanan. Ponsel Naima bergetar, tanda video tertera disana. Naima merapikan rambut, membersihkan matanya memastikan tidak ada kotoran di kedua sudut mata hitamnya. "Hai," Naima menyapa, wajah Albe yang sepertinya sedang di dalam mobil terlihat kaca di sampingnya. Rambut lelaki itu sudah tidak sepanjang saat Albe kecelakaan, semakin terlihat tampan, eh. "Hai Nai, kamu tadi tidak kerja? Bukankah hari ini kamu masuk pagi?" sapa Albe, ia memberondong gadis itu dengan pertanyaan. "Tidak Al, aku di kostanku. Hari ini aku ijin, ada apa?" tanya Naima membenarkan posisi duduknya dengan sedikit meringis. Hal itu tidak luput dari perhatian Albe, Albe sedang berada di depan Cafe Kita sengaja tid
Perlakuan Albe terhadap Naima sore tadi membuat malam Naima menjadi tidak tenang, tidak dapat memejamkan mata dan selalu terbayang wajah pria bule yang tampan itu. Aduh, norak banget 'kan. Naima ingin menepis rasa suka pada Albe, tapi hatinya tidak dapat berbohong. Naima meraih ponselnya, mencari ikon aplikasi perpesanan melihat profil Albe yang sedang memegang barble dan memamerkan otot lengannya yang liat, darah Naima berdesir, kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya, menimbulkan rasa asing yang nyaman. Naima melemparkan ponselnya ke ujung kasur. Mencoba menetralkan degup jatung yang menggila. 'Dasar perawan gak laku!' sungut Naima dalam hati. Hanya memandang fotonya saja membuat ia salah tingkah, sungguh murahan sekali bukan. Bunyi pesan masuk membuat Naima meraih kembali ponsel yang sempat ia lempar dan membuka kuncinya, nama orang yang sedang dia pikirkan terpampang di depan layar. Niat hati ingin meredakan jantung yang berdisko ria, kini degupannya bertambah cepat d
Naima memandangi dua orang pria yang sedang mencari kata-kata yang tepat. Albe maju mendekati Jaka, dengan refleks Jaka memundurkan kakinya. Albe bisa sangat kejam, Jaka tidak mau menjadi sasarannya kali ini. "Hai bro, lama gak jumpa kemana saja?"Albe memeluk jaka sekilas, ketegangan di muka Jaka memudar. "Biasalah bro, lo tau cafe gue yang baru belum lama beroperasi jadi masih sibuk. Maklum patner gue lagi sibuk sama mainan barunya." Jaka melepaskan kaca mata gayanya dan menyimpan di saku kemeja. "Eh maaf, berarti gak usah Naima kenalkan lagi kan ya?" Naima menginterupsi, segera mengambil ke dapur dan membuatkan minuman untuk Jaka. "Jangan bilang kalau aku salah satu pemilik Cafe kita bro, aku ingin tahu Naima seperti apa." Albe berbisik di telingan jaka. "Lo mencurigai Naima?" Jaka membulatkan matanya tidak percaya. "Ck, kamu tahu sendiri kan. Wanita yang aku kenal mereka hanya menginginkan uangku saja, apalagi setelah tahu aku mempunyai usaha. Aku belum terlalu mengenal Naima,
Bukan hanya Naima, Albe pun terkejut dengan perlakuan DokterNindy. Dengan spontan Albe mendorong teman lamanya itu menjauh. Dokter Nindy terperanga dengan gerakan seduktif mantan teman kencannya itu, melihat ke belakang Albe. Ternyata Albe tidak sendir,i membuatnya sedikit gugup. Dia pikir pria itu sengaja ingin mengunjunginya setelah malam-malam panas mereka beberapa waktu lalu. "Silakan masuk!" ucap Dokter Nindy mempersilakan Naima yang masih mematung di depan pintu, sementara Albe mengusap tengkuknya merasa tidak nyaman. "Terimakasih, Dok," sahut Naima, lalu duduk di kursi yang disediakan. Albe menyusul duduk di samping Naima. "Apa kabar, Al? Dan?" sapa Dr. Nindy menggantungkan kalimatnya, ingin tahu gadis yang Albe ajak menemuinya. "Naima Dok." Naima menjawab dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya, Dr. Nindy menilai penampilan Naima yang sederhana dan tanpa make up. Bukan selera Albe, Dr. Nindy sedikit merasa lega. "Baik Nin. Aku kesini membawa Naima. Dia baru saja mengala
Naima menggambar tanda perboden dan menuliskan dengan huruf besar dan merah di buku hariannya. ALBERICO. Naima berharap dia bisa konsisten dengan niatan hati untuk mengurangi intensitas pertemuan atau komunikasi dengan pria asing tersebut. Karena itu tidak sehat untuk hati, tubuh bahkan jiwanya. Naima tidak memungkiri, Albe memberikan warna tersediri pada hari-harinya. Menimbulkan rasa yang belum pernah dia inginkan hadir untuk menghiasi hidup di usia muda. Naima selalu berfokus pada pendidikan juga orangtua sewaktu mereka masih hidup, percintaan dan hal sentimentil dengan lawan jenis bukan sebagai prioritas. Namun, entah mengapa sejak bertemu Albe, jiwa wanitanya seakan mendamba. Berawal dari kecupan singkat yang Albe berikan, Naima sering membayangkan hal erotis yang tiba-tiba muncul dalam benak perawan itu. Duh, jadi ternoda bukan? Naima menggeleng pelan, membayangkan fisik pria asing itu saja membuat darah berdesir tak nyaman. 'Sungguh murahn' batinnya. Tapi pesona Albe me