Di belahan dunia lain, dengan perbedaan waktu 12 jam dengan gadis yang masih bergelung dengan mimpinya. Pria tinggi dengan tas ransel kecil tersampir di pundaknya dan satu koper besar di samping kirinya, duduk dengan tenang di salah satu sofa gerai kopi terkenal yang sudah tersebar di seluruh penjuru mayapada. Wajahnya nampak menunjukkan lelah dan kantuk, serangan jetlag melandanya. Tentu saja waktu New York hampir jam 3 siang sedangkan waktu Jakarta 3 pagi. Untuk menghalau kantuk sambil menunggu adiknya menjemput Albe memesan segelas kopi. Adiknya Blair masih senior high school setelah mata pelajaran usai Blair berjanji menjemputnya.Jaka menghidupkan gawainya, membuka salah satu notifikasi dari gadis favoritnya. Albe tekekeh tertahan, menggigit bibirnya. Gadis itu akan mengungkapkan perasaanya jika ada sesuatu mengganggu egonya. Ada apa dengan uang yang dia kirimkan? a
Jaka menjejakkan kakinya ke bagian dapur Cafe Kita, Naima sedang sibuk dengan menu baru yang sudah diajarkan oleh Chef Adi. Semua orang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Hingga tidak menyadari kehadiran Jaka. Jaka hanya memperhatikan, setiap pekerja dapur yang bisa diajak kerjasama. Entah apa yang menjadi rencana pria sunda tersebut. Jaka memindai seseorang yang terlihat memperhatikan Naima dengan penuh minat, lelaki itu merotasikan matanya malas. Begitu mempesonakah Naima? Hingga banyak sekali yang menaruh hati pada gadis itu. Jaka memutar tumitnya meninggalkan dapur. Naima melihat sekilas Jaka yang masuk ke dapur, tapi saat gadis itu menoleh sang pimpinan sudah tidak berada di sana. Jaka memang seperti jelangkung, datang tak diundang pulang tak diantar. Setidaknya menyapa karyawannya dan memberi semangat akan jauh lebih bai
Pendar kekuningan menelusup masuk melalui celah sempit, seakan tak mau menyerah. Cahaya emas itu menyeruak masuk menyibak bulu lentik nan panjang kelopak serupa almond. Menari di netra coklat gelap dengan helaian laksana sutra merah berpencar pada sekeliling kelereng yang seharusnya bening. Jejak tangisan semalam masih membekas pada cakrawala gadis ayu yang masih setia mengungkung diri di peraduannya. Semangatnya mengabur, melayang, kepingan ingatan tentang sang pangeran yang dia rindukan. Namun malah asik bercumbu dengan wanita lain, membuat hatinya meriyut nyeri. Ini baru 2 hari, bagaimana jika 3 bulan? Hal apa lagi yang akan ia temukan atau akan ia alami? Demi menjaga pikiran dan hatinya tetap waras, hari itu ia bertekad tidak akan mengaktifkan ponselnya. Seperti biasa, ia bangkit membersihkan diri dan bekerja seperti biasa. Di tempat kerja, Naima ti
Daun yang berguguran, semilir angin kering yang dingin laksana hatinya yang sedikit mengeras, terhempas, karena mengharap. Bayangan paras lembut dan ayu yang setia menari-nari di pelupuk mata tanpa tahu untuk berlalu. Mengharap kekasih hati menghubungi, menyalurkan rasa rindu, menyebutkan nama dengan mesra. Seperti mengharap bintang yang menemani rembulan dalam rinai hujan, tak akan mungkin. “Ric, kenapa tidak tidur? Masih Jetlag?” Blaire mendekati Albe, mengucek matanya. Gadis itu baru saja dari pantry untuk mengambil minum, tapi netra hijau bening milik gadis jangkung itu melihat Albe yang gelisah di teras belakang rumah orang tua mereka. “Aku menunggu seseorang menelponku.” Albe memperlihatkan ponselnya yang hanya ia mainkan sejak tadi. “Kenapa tidak kamu dulu saja yang menelepon dia? Apakah itu Chloe?” Albe memandang Blaire, mengapa adiknya menyebut nama Chloe, wanita penghianat yang membuatnya mengikuti Jaka untuk menyembuhkan luka. “Maksud kamu? Aku sudah lama tidak berhubun
Naima masih kepayahan membebat hatinya yang tersayat, air bening tak henti mengalir dari cakrawalanya. Dia belum berminat mengaktifkan ponsel, dia bukan ingin menghukum Albe. Namun menghukum dirinya yang dengan lancang menerima setengah hati orang yang menjanjikan bahagia. Namun 2 hari pernikahan yang ia dapat hanya nelangsa. Hati Naima tak semurah itu, mahar kalung 10 gram, uang 10 juta dan nafkah lahir 100 juta terlalu sedikit untuk jiwa dan hatinya yang rapuh. Karena kepingan kecewa yang berserakan tak akan bisa direkatkan kembali. Ketukan di pintu kamar membuat Naima harus beranjak. Melihat dari ekor mata jam sudah menunjukkan angka 17, berarti sudah 1 jam sejak kepulangan dari tempat kerja, hanya ia habiskan untuk menangisi lelaki yang belum tentu mengingat keberadaannya pada saat ini. Bunyi ketukan berisik menjadi berirama laksana gendang pantura, memaksa Naima segera bangkit dan menuju kamar mandi untuk mencuci wajah. Setidaknya air akan mengaburkan duka yang membekas. Memas
Kepergian Viran hanya meninggalkan gamang yang tak berkesudahan. Menebalkan hati, Naima meraih gawainya. Dengan degup jantung yang menderu, Naima menekan tombol panggil pada kontak yang bernamakan My Love. Alay memang, namun begitulah Naima memberi nama pada kontaknya. “Hallo,” Sapa Naima dengan suara pelan nyaris berbisik. “Thanks God! Baby, I miss you so bad.” Albe menggeram bahagia. “Bagaimana kabarmu?” Naima menahan napas, matanya memanas. “Aku baik, Babe, aku ingin melihat wajahmu.” Albe berkata dengan lirih. Ada jeda di sana, Naima terdiam. Albe mendesah, mengerti kemarahan gadis itu. Siapapun tidak akan menerima, begitu pula jika itu ada pada posisi Albe. Ia pasti akan lebih brutal meluapkan kekecewaannya. “Mungkin marah bukan kata yang tepat, aku tahu kamu kecewa, Babe. Tapi aku bersumpah itu masa lalu kami. Bukan kemarin, saat ini atau nanti. Aku tidak hanya meminta maaf, aku meminta pengampunan-mu, Baby,” ucap Albe dengan suara yang sama merana-nya dengan hatinya. “Al
Hai readerku sayang😘, maaf untuk bab 48 ada revisi. Karena sedang tidak enak badan, eh jadi ngawur tanpa edit ke publish. Untuk cover juga di ganti ya, kalau ga bagus bilang ke mamak otor ya. Nanti kita bikin yang bagus. Pokoknya kalian penyemangatku. Tanpa kalian apalah aku. Semoga bisa di maklumi ya, tetap tinggalkan reviewnya juga kritik dan saran. GA di bab 100 ya. Jadi jangan males komen soyong-soyongku ku🤗 nanti akan ada hadiah menarik. Kira-kira mau kalian apa ni? Pulsa atau koin aja? Nanti mamak otor pilih sesuai banyaknya komen. Ini udah mau bab ke 50 dong ya.. yeyyy ayo berhitung dan tinggalkan jejaknya.
Chapt 50. My Wifey "Siapa istrimu?" Seorang wanita paruh baya dengan rambut coklat madu menepuk dan memeluk pundak Albe dengan kasih sayang. Naima menutup wajahnya dengan buku yang seharusnya ia baca. Sementara Albe menggaruk kepalanya sambil melirik ke arahnya, seperti mendapat petunjuk. Wanita yang masih terlihat cantik itu mendekat ke arah ponsel Albe, "Halo manis, apa kabarmu?" Tanyanya dengan senyum dan suara yang ramah. Naima menegakkan badannya "Hello Ibu, kabar saya baik, terima kasih. Bagaimana kabar anda?" Naima membalas dengan senyum mengembang, mencoba menghilangkan gugup. "Oh, kamu manis sekali. Siapa namamu?" Wanita yang Naima tebak adalah ibu Albe terlihat santai dan baik, ia menarik kursi dan duduk menghadap kamera ponsel Albe, Jantung Naima semakin berpacu. Kegugupan menyerangnya, jika dengan Albe yang sudah fasih berbahasa Naima bisa santai. Dengan ibunya? Bahasa Inggris Naima tidak aktif, membuatnya semakin tidak nyaman. "Nama saya Naima Ibu, senang bertemu deng