Membosankan, satu kata yang Naima rasakan karena seharian ini hanya merebahkan diri di kasur mungilnya. Naima melongokkan kepalanya ke tralis jendela, melihat aktivitas jalan yang sedikit ramai dengan anak kecil yang bermain dan ibu ibu yang berkumpul, bersenda gurau, sambil menikmati jajanan.
Ponsel Naima bergetar, tanda video tertera disana. Naima merapikan rambut, membersihkan matanya memastikan tidak ada kotoran di kedua sudut mata hitamnya.
"Hai," Naima menyapa, wajah Albe yang sepertinya sedang di dalam mobil terlihat kaca di sampingnya. Rambut lelaki itu sudah tidak sepanjang saat Albe kecelakaan, semakin terlihat tampan, eh.
"Hai Nai, kamu tadi tidak kerja? Bukankah hari ini kamu masuk pagi?" sapa Albe, ia memberondong gadis itu dengan pertanyaan.
"Tidak Al, aku di kostanku. Hari ini aku ijin, ada apa?" tanya Naima membenarkan posisi duduknya dengan sedikit meringis. Hal itu tidak luput dari perhatian Albe, Albe sedang berada di depan Cafe Kita sengaja tidak masuk untuk menunggu Naima pulang. Namun hampir satu jam Albe memarkirkan mobilnya, Naima tidak kunjung keluar.
"Apa terjadi sesuatu Nai? Kamu terlihat kesakitan?" Albe memundurkan mobilnya dan keluar dari Cafe, dia akan mengunjungi Naima.
"Tidak, Al, aku baik-baik saja." ujar Nima meyakinkan Albe, hubungan Naima dan Albe masih biasa saja, ia memang sedikit merasakan getaran di hati jika berdekatan dengan Albe, entah mengapa. Albe juga semenjak pertemuan itu seperti hapal dengan jam kerja Naima. Selalu sudah berada di parkiran dan pasti akan mengantar Naima pulang siang ataupun malam. Sedikit aneh untuk gadis itu, tapi ia tak memusingkan.
"Kamu menginginkan sesuatu Nai?" tanya Albe, dia sedang fokus melihat kejalan.
"Tidak, Al. Aku tak menginginkan apapun, kamu lagi nyetir ya? Aku matiin ya, Al? Nanti kalau sudah sampai, kamu bisa menghubungi aku lagi," kata Naima bijak, teringat pria itu pernah mengalami hal buruk. Segera menutup panggilan dari Albe sebelum Albe mengiyakan, jika tidak pria itu akan menolak. Degupan jantung Naima bertalu-talu, sungguh mengganggu. Naima beranjak turun dari ranjang mengambil botol minum lalu menegukknya hingga tandas. Naima membersihkan diri, setelah itu dia berniat mencari makan.
Naima baru akan mengganti perban di lengan dan pahanya saat mendengar ketukan di pintu. Ia sedikit heran karena tidak pernah ada tamu untuknya selama ini, tapi Naima tetap beranjak dan membukakan pintu."Albe?" seru Naima terpana, melihat lelaki yang beberapa menit yang lalu menghubunginya berdiri di depan pintu kamar, kejutan yang tidak ia sangka. Rasa gugup melingkupi hatinya.
"Hai Nai. Aku kesini karena khawatir. Kamu kenapa?" seloroh Albe, alisnya mengernyit saat melihat luka di lengan Naima.
"Ga apa-apa, tadi pagi tertabrak sepeda saat mau nyebrang," jawab Naima dengan senyum terukir, lalu mempersilahkan Albe masuk, tapi tetap membuka pintu kamarnya.
"Biar aku bantu mengganti perbanmu." kata Albe menawarkan diri, karena melihat beberapa perban dan obat-obatan yang berserakan di atas ranjang.
"Tidak usah, aku bisa sendiri," Naima menolak dengan halus. Namun Albe bersikeras meletakkan plastik yang berisi kotak makanan ke meja kecil yang Naima fungsikan menjadi meja rias. Lalu mendekati Naima yang terlihat kesulitan mengoleskan obat pada lengannya.
Naima berjengit, seperti ada aliran listrik yang mengalir ke tubuhnya saat tangan besar Albe memegang lengannya. Sebenarnya Naima merasa canggung, ia hanya memakai kaos di atas lengan juga hot pan, yang saat ia duduk tersingkap memamerkan separuh paha mulusnya.
Dengan bantuan Albe, perban di lengan Naima berhasil di ganti dan tepasang dengan rapi. Namun Albe harus mati-matian menahan hasrat saat akan mengganti perban di paha. Ia berdecak melihat luka di paha samping berdekatan lutut. Albe menahan napas menyaksikan paha putih dan mulus Naima. Dia pria normal, walaupun di luar sana banyak gadis-gadis memakai hotpan Albe tidak pernah merasa desiran aneh dari tubuhnya. Albe mengangkat kaaki naima pada pahanya, lembut dan kencangnya kulit Naima membuat sengatan tak nyaman naik ke pangkalnya. "Shit!' geram Albe yang membuat Naima mengernyit bingung."Ada apa, Al?" tanya Naima, Albe hanya menggeleng.Dengan susah payah Albe menggantikan dan memasang kembali perban terakhir. hembusan napas kelegaan menjadi perhatian Naima. Jarak wajahnya dan wajah Naima, juga hembusan napas hangat gadis itu menerpa sisi wajahnya. Membuat Albe harus menggeram. Ingin melumat bibir merah alamami gadi itu. Tapi ia masih cukup waras.
"Tunggu sebentar ya, Al," ucap Naima, menurunkan kakinya dari paha Albe lalu berjalan ke kamar mandi di ujung ruangan, Naima memakai celana yang lebih sopan, Naima menyadari tatapan aneh Albe saat menggantikan perban pada bagian pahanya. Albe melirik Naima, yang sudah berganti dengan pakaian yang lebih sopan, Albe patut bersyukur tapi ia juga merutuk. Karena tak dapat menikmati pemandangan indah dari tubuh Naima. Ck, dasar ya lelaki memang begitu.
"Aku membawakanmu makanan, makanlah!" perintah Albe, menunjuk plastik di atas meja.
"Terima kasih Al, seharusnya kamu tidak perlu repot membawakan aku makanan segala," ucapNaima, sambil merapikan kotak obatnya dan menyimpan di atas lemari.
"Aku tidak kerepotan, kamu sendirian disini. Biarkan aku menjagamu Nai," pinta Albe terlihat tulus, iris lelaki itu menatap lekas pada Naima, dan itu membuat gadis yang menguncir rambut setangah kepala terpesona dengan kata-kata Albe. Apakah itu rayuan?
"Kamu sudah sering menolongku, jadi sewajarnya aku juga menolongmu," tukas Albe, membuat Naima sedikit kecewa, ternyata karena balas budi semata. Ia tersenyum, menatap lelaki bule itu lamat-lamat, yang juga sedang memperhatikannya. Wajah Albe semakin mendekat hembusan napas menerpa wajah Naima. Seperti magnet dua orang itu saling mendekat, bahkan Albe sudah memiringkan wajahnya. Tapi kesadaran membuat Naima berpaling.
"Al, kamu mau minum apa?" tawar Naima, ia bangkit menuju ke arah pintu bermaksud mengambilkan air minum untuk Albe. Pandangan Albe mengikuti kemana wanita itu melangkah, tertatih.
"Apa saja yang kamu sediakan aku pasti meminumnya." jawab Albe, tak tega jika menolak.
"Ok," Naima segera menuju pantry atau dapur, umum membuatkan teh untuk Albe. Sementara di dalam ruangan, Albe mencoba menetralkan degup jantungnya. Paras naima yang ayu tanpa sentuhan make up membuat Albe hampir kehilangan kendali.
Perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan, sejak penghianatan kekasihnya. Albe tidak pernah lagi menjalin hubungan dengan wanita. Ia berkencan dengan banyak wanita hanya untuk kesenangan semata, tidak ingin dan tak pernah melibatkan perasaan. Namun entah, saat bertemu Naima di busway dengan tanpa pamrih menolong dan menawarkan bantuan, seolah ia menemukan kedamaian, tatapan lembut Naima menentramkan hati, membaut jiwanya berdesir. Wanita cantik dan baik, kesan pertama yang Albe lihat dari sesosok Naima. Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Kamar yang kecil tapi nyaman, Naima menata dengan apik kamar kostnya. Ia betah.
"Silakan, Al, di minum," ucap Naima menyajikan teh untuk Albe pada meja kecil.
"Terima kasih cantik," senyum Albe tersungging.
"Apaan sih," elak Naima sedikit tersipu, tapi lantas mengalihkan pandangannya. Albe mengambil cangkir canti, seperti sang empunya.
"Sejak kapan kamu di Indonesia Al?" tanya Naima mencoba mencairkan suasana yang canggung, Albe menyesap tehnya, lalu meletakkan di meja di samping plastik makanan yang ia bawa.
"Sudah sekitar mmm ... hampir lima atau enam tahun, aku sedikit lupa," kata Albe dengan sedikit ekspresi di wajahnya yang terlihat lebih santai.
"Lumayan lama, bahasamu sangat lancar hanya sedikit saja aksen bulenya," Naima tidak hanya memuji, memang kenyataannya Albe sangat lancar berbahasa. Albe tersenyum, memperhatikan Naima dengan lekat.
"Iya teman-temanku banyak membantuku, awal aku disini mereka tidak pernah menggunakan English, sengaja membuat aku harus memahami dan belajar bahasa. Kalau tidak aku tidak akan mengerti apa dan siapa yang mereka bicarakan. Itu sangat membuatku tersiksa." tutur Albe mengingat awal ia di negara ini. Naima tertawa melihat raut Albe yang terlihat seperti putus asa pada saat itu.
"Memang harus seperti itu, kita juga kalau ke negaramu di sana orang tidak akan menyapa dengan bahasa kan?" kata Naima, Albe mengangguk setuju.
" Nai, maukah kau berjanji untukku?" pinta Albe, membenarkan posisi duduknya pada kursi yang ia duduki. Naima menatap Albe keheranan."Janji untuk apa?" Albe tersenyum melihat kebingungan Naima.
"Janji untuk selalu memberi kabar jika sesuatu terjadi padamu. Aku ingin menjadi orang yang pertama tahu tentangmu," kata Albe menjelaskan. Membuat Naima berbunga-bunga, mengulum bibir bingung harus berekspresi seperti apa.
"Aku tidak bisa berjanji Al, tapi pasti aku akan memberi tahumu," pungkas Naima, sadar dia memang tidak mempunya siapa-siapa disini. Dengan teman di tempat kerja Naima hanya akrab dengan Tiara dan Ajeng, tapi belum terlalu dekat.
"Aku akan pulang, sebenarnya ingin lebih lama. Namun aku harus bekerja," pamit Albe bangkit dari duduknya. Naima juga bangkit, mengantar Albe hingga ujung tangga.
"Jadi maksud kedatanganmu ini apa ya?" celetuk Naima mencoba bercanda.
"Ceritanya aku ngapel, tapi lupa hari dan waktu," balas Albe sambil mengedipka sebelah matanya. Membuat Naima terkekeh."Hati-hati Al, jangan ngebut," ucap Naima sebagai salam perpisahan, Albe yang sudah menuruni tangga berbalik.
"Aku akan berhati-hati untukmu, tapi kamu juga harus berhati-hati untukku," celetuk Albe dengan tanpa permisi mengecup sudut bibir Naima. Naima tekejut dengan perlakuan Albe, hingga dia lupa untuk menutup mulutnya yang menganga dengan tidak sopannya.
Perlakuan Albe terhadap Naima sore tadi membuat malam Naima menjadi tidak tenang, tidak dapat memejamkan mata dan selalu terbayang wajah pria bule yang tampan itu. Aduh, norak banget 'kan. Naima ingin menepis rasa suka pada Albe, tapi hatinya tidak dapat berbohong. Naima meraih ponselnya, mencari ikon aplikasi perpesanan melihat profil Albe yang sedang memegang barble dan memamerkan otot lengannya yang liat, darah Naima berdesir, kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya, menimbulkan rasa asing yang nyaman. Naima melemparkan ponselnya ke ujung kasur. Mencoba menetralkan degup jatung yang menggila. 'Dasar perawan gak laku!' sungut Naima dalam hati. Hanya memandang fotonya saja membuat ia salah tingkah, sungguh murahan sekali bukan. Bunyi pesan masuk membuat Naima meraih kembali ponsel yang sempat ia lempar dan membuka kuncinya, nama orang yang sedang dia pikirkan terpampang di depan layar. Niat hati ingin meredakan jantung yang berdisko ria, kini degupannya bertambah cepat d
Naima memandangi dua orang pria yang sedang mencari kata-kata yang tepat. Albe maju mendekati Jaka, dengan refleks Jaka memundurkan kakinya. Albe bisa sangat kejam, Jaka tidak mau menjadi sasarannya kali ini. "Hai bro, lama gak jumpa kemana saja?"Albe memeluk jaka sekilas, ketegangan di muka Jaka memudar. "Biasalah bro, lo tau cafe gue yang baru belum lama beroperasi jadi masih sibuk. Maklum patner gue lagi sibuk sama mainan barunya." Jaka melepaskan kaca mata gayanya dan menyimpan di saku kemeja. "Eh maaf, berarti gak usah Naima kenalkan lagi kan ya?" Naima menginterupsi, segera mengambil ke dapur dan membuatkan minuman untuk Jaka. "Jangan bilang kalau aku salah satu pemilik Cafe kita bro, aku ingin tahu Naima seperti apa." Albe berbisik di telingan jaka. "Lo mencurigai Naima?" Jaka membulatkan matanya tidak percaya. "Ck, kamu tahu sendiri kan. Wanita yang aku kenal mereka hanya menginginkan uangku saja, apalagi setelah tahu aku mempunyai usaha. Aku belum terlalu mengenal Naima,
Bukan hanya Naima, Albe pun terkejut dengan perlakuan DokterNindy. Dengan spontan Albe mendorong teman lamanya itu menjauh. Dokter Nindy terperanga dengan gerakan seduktif mantan teman kencannya itu, melihat ke belakang Albe. Ternyata Albe tidak sendir,i membuatnya sedikit gugup. Dia pikir pria itu sengaja ingin mengunjunginya setelah malam-malam panas mereka beberapa waktu lalu. "Silakan masuk!" ucap Dokter Nindy mempersilakan Naima yang masih mematung di depan pintu, sementara Albe mengusap tengkuknya merasa tidak nyaman. "Terimakasih, Dok," sahut Naima, lalu duduk di kursi yang disediakan. Albe menyusul duduk di samping Naima. "Apa kabar, Al? Dan?" sapa Dr. Nindy menggantungkan kalimatnya, ingin tahu gadis yang Albe ajak menemuinya. "Naima Dok." Naima menjawab dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya, Dr. Nindy menilai penampilan Naima yang sederhana dan tanpa make up. Bukan selera Albe, Dr. Nindy sedikit merasa lega. "Baik Nin. Aku kesini membawa Naima. Dia baru saja mengala
Naima menggambar tanda perboden dan menuliskan dengan huruf besar dan merah di buku hariannya. ALBERICO. Naima berharap dia bisa konsisten dengan niatan hati untuk mengurangi intensitas pertemuan atau komunikasi dengan pria asing tersebut. Karena itu tidak sehat untuk hati, tubuh bahkan jiwanya. Naima tidak memungkiri, Albe memberikan warna tersediri pada hari-harinya. Menimbulkan rasa yang belum pernah dia inginkan hadir untuk menghiasi hidup di usia muda. Naima selalu berfokus pada pendidikan juga orangtua sewaktu mereka masih hidup, percintaan dan hal sentimentil dengan lawan jenis bukan sebagai prioritas. Namun, entah mengapa sejak bertemu Albe, jiwa wanitanya seakan mendamba. Berawal dari kecupan singkat yang Albe berikan, Naima sering membayangkan hal erotis yang tiba-tiba muncul dalam benak perawan itu. Duh, jadi ternoda bukan? Naima menggeleng pelan, membayangkan fisik pria asing itu saja membuat darah berdesir tak nyaman. 'Sungguh murahn' batinnya. Tapi pesona Albe me
Naima memasuki Cafe dengan ringan dan ceria, tiga hari izin membuatnya merindukan rekan kerja juga suasana Cafe yang selalu ramai. "Nai!" teriak Ajeng berhambur memeluk Naima, mereka menjadi Akrab sejak pertama Naima di terima di Cafe itu. "Gimana lukanya? Udah sembuh? Parah gak sih?" seloroh Ajeng menggandeng lengan Naima menuju loker. Naima terkikik mendengar pertanyaan Ajeng. "Sudah mulai mengering, cuma masih belum sembuh. Oh ya, kayaknya seragamku beda deh Jeng, kata pak Jaka aku di dapur aja bantuin Chef Adi," kata Naima sambil membuka loker menyimpan tas juga jaketnya. Ajeng mengangguk. "Nanti aku carikan yang seragam dapur, Pak Jaka kemarin sudah ngasih tau aku. Oh ya, gimana sih kejadiannya. Aku penasaran banget. Untung ya muka cantik kamu gak kena aspal ... hehehe," canda Ajeng, Naima hanya tersenyum dan ikut tertawa. "Iya pokoknya mah masih aja untung Jeng, walaupun sakit," jawab Naima dengan tawa berderai. Bekerja memang lebih menyenangkan, tidak merasa bosan dan mati
Albe merasa frustasi, Naima benar-benar mengujinya. Panggilan teleponnya selalu berakhir di kotak suara, Jaka juga sudah tidak di ruangan, rekannya itu sering absen ke Cafe beberapa hari datang mereka meeting dan keperluan pekerjaan. Sisanya, nyaris tak pernah berbenturan. Pria itu seperti menghindar, tentu saja berbagai pikiran negatif bersarang di kepalanya. Albe mengambil kunci mobil berniat mengunjungi Naima, tapi belum sempat membuka pintu, Viran masuk dengan tergesa-gesa. "Al, kayaknya preman yang kemarin belum jera. Dia tetap meminta uang keamanan!" lapor Viran. Albe menyandarkan badannya di bufet file di belakangnya menatap Viran yang terlihat kelelahan. "Bukankah kamu sudah menghubungi petinggi di Polda? Pak Wito?" tanya Albe. Viran menggeleng pelan. "Sudah, Pak Wito sudah mengatakan semua akan dia urus masalah preman ini. Bahkan cek yang kita kasih sudah dia terima." jawab Viran dengan malas. Albe menghela napas. "Berarti Pak Wito belum bergerak, kamu telepon lah! sangat
"Nai!" Bu Siti memanggil Naima yang baru saja memasuki pagar. "Iya bu?" Naima mendekat ke ruangaan keamaan yang berada tepat disamping pagar. "Kamu dari mana? Aduh kasian Mas bule nungguin kamu berjam-jam lho." Bu Siti berekspresi sedih, Naima hanya bisa meringis. "Albe kesini bu?" Naima pura-pura tidak tahu. "Iya dari sore tadi sampai maghrib baru pergi, Ibu malah tadi sempet curiga kok gak ada suara. Takut kamu ngapa-ngapain sama mas bule hihihihi" ujar Bu Siti lalu tertawa. "Nai tadi makan lalu beli sabun ke mini market ,Bu, Nai gak tahu kalau Albe mau datang. Paket data Nai habis." Naima memberi alasan sejujurnya. "Lha kamu gak aktifin wifi kost apa?Cck kamu ini. Pantesan sampai lumutan pacarmu nungguin." Bu Siti masuk ke dalam ruangan, lalu keluar lagi memberikan kertas yang bertuliskan password wifi. Naima tersenyum geli, padahal memang sengaja dia matikan. "Bukan pacar Bu, Albe hanya teman saja kok." Naima menerima kertas yang di sodorkan Bu Siti. "Iya juga gak apa-apa N
"Hallo ...." setelah berperang dengan hati, pada akhirnya Naima menyerah dengan egonya. "Hai Nai, kamu kemana saja?" Albe mendesah lega. "Aku di kamarku Al, tadi kamu datang?" Naima menggigit bibir bawahnya. "Ya, tapi kamu tidak ada. Kamu pergi?" Suara Albe seperti merengek. "Tadi aku berbelanja ke mini market, beberapa kebutuhanku habis dan beli paket data." Naima menggerak-gerakkan kakinya. "Kakimu bagus!" Albe tersenyum sepertinya Naima tidak menyadari jika dia melakukan panggilan video. "Apa? Kaki?" Naima melihat ke arah gawainya, ia memang meletakkan gawainya di atas perut. Naima memejamkan mata, merasa malu akan kecerobohannya. Mengubah kamera kearah wajahnya. "Aku lebih suka pemandangan sekarang." Albe tersenyum penuh arti, akhirnya dia bisa melihat wajah yang dia rindukan. "Ya iyalah kakiku kan butek ... maaf tadi kepencet sepertinya." Naima memasang wajah biasa, namun sepertinya rona wajah bahagianya dapat terlihat dengan jelas. "Hahahaha No, kakimu indah tapi kamu le